Figur di Era Keemasan Media
Konfigurasi calon di Pilkada Pamekasan 2024 di era keemasan media setidak-tidaknya ditandai dengan sebuah baliho; statement; dan kemunculannya di media massa–termasuk di media sosial.
Munculah figur Kiai Kholilurrahman. Balihonya ada. Statement-nya ada. Dia juga muncul di media massa. Muncul juga Achmadi. Balihonya ada dan dia mengaku siap.
Lalu menyusul kemunculan Mohammad Sahur, Firmansyah Ali, Fattah Jasin, Rudy Susanto dan sejumlah figur lain.
Statement kesiapan mereka di media, dan baliho mereka yang dipasang di muka umum, secara sederhana saya maknai sebagai konfigurasi calon di Pilkada Pamekasan 2024.
Mereka ingin memberi kode kepada masyarakat bahwa mereka adalah seorang figur yang oleh diri mereka atau tim mereka dianggap “layak” dan “mampu” menjadi calon bupati atau wakil bupati.
Konfigurasi calon di era keemasan media ini bisa bermakna setidaknya tiga hal. Pertama, untuk test the water. Kedua, niat dan tekad yang serius. Ketiga, mereka hadir sebagai sebuah “konten”.
Makna pertama dan ketiga saya kemukakan sebab sampai detik ini, partai pemenang di Pemilu 2024–yang masing-masing tidak bisa berdiri sendiri–masih saling berbisik. Belum satu pun partai yang melepaskan rekomendasi.
Baru beberapa yang mulai penjaringan bakal calon. Yakni Demokrat dan PDIP. PKB belum muncul. PBB pun belum mengumumkan kepada siapa rekomnya. Pun Nasdem, PAN, Golkar, PKS, Gelora, Gerindra dan seterusnya.
Sementara PPP, alih-alih memantapkan satu nama, partai yang punya jatah ketua dewan ini justru melepas liar empat nama figur: Baidowi, Achmadi, Rasyid dan Halili.
Saya bertanya kepada seorang teman jurnalis, “Partai belum mengeluarkan rekomendasi, mengapa begitu banyak figur yang muncul?”
Rekan saya menjawab begini: “Hari ini, hari keemasan media. Media bisa membentuk apa yang disebut figur di kepala masyarakat. Hari ini, siapa saja bisa muncul menjadi figur, dengan baliho, pamflet, dengan berita, dengan media sosial, dan siapa yang muncul di media hari ini belum dipastikan akan mencalonkan secara serius, karena di antara mereka bisa saja hanya untuk cek ombak dan untuk menikmati dirinya muncul sebagai konten di publik.”
Dari jawaban itu saya kemudian mengambil sedikit kesimpulan, bahwa di era keemasan media, semua orang secara terbuka dan bebas dan dengan amat-sangat mudah bisa menjadi figur dan menfigurkan diri di Pilkada Pamekasan 2024.
Di tengah era keemasan media ini pula bahkan yang kalah di Pileg 2024 kemarin tetap bisa menfigurkan dirinya sebagai bakal calon bupati, misalnya, politisi PPP bernama Achmadi dan Zainal dari PKB.
Konfigurasi calon semacam ini di satu sisi telah merombak dominasi satu dua figur tertentu di Pilkada Pamekasan 2024 sebab semua orang bisa dan bebas serta berdaulat diri untuk menjadi figur.
Di sisi yang lain, Pilkada Pamekasan 2024 terkesan seolah-olah pertunjukan konten–atau lebih kasar sebagai “lelucon”.
Tetapi Ini Bukan Lelucon Biasa
Siapa pun yang muncul ke publik, rasa-rasanya bukan lelucon dan sekadar konten. Betapapun misalnya di antara mereka nanti tidak benar-benar mencalonkan diri, ya, itu hal lain.
Kita mulai dari Kiai Kholil. Dia punya pengalaman di birokrasi dan basis massa hingga akar rumput. Dia tetap hadir untuk masyarakat di pengajian-pengajian dari dulu hingga kini.
Firmansyah Ali juga punya pengalaman birokrasi dan, orang mengenalnya sebagai keponakan Mahfud MD, bayangkan!
Lalu, Rudy Susanto, juga seorang birokrat kawakan dan pengusaha. Orang telah mengenalnya sejak kontestasi Pilkada 2018.
Achmadi, punya pengalaman sebagai anggota DPRD. Juga punya basis massa yang fanatik–meskipun kalah di Pileg 2024 di Dapil IV.
Kemudian Sahur. Dia politisi yang cukup piawai menjaga basis suaranya. Sebelumnya, dia terpilih jadi dewan 2019-2024 Kota Gerbang Salam dari PPP.
Lalu, pindah pun dia ke PDIP tetap terpilih menjadi anggota DPRD 2024-2029. Dia juga dekat dengan SDM pendamping PKH se-Pamekasan karena adik kandungnya menjabat Korkab PKH Jatim IV.
Lalu, Fattah Jasin. Birokrat kawakan ini juga tidak bisa disepelekan, tentu! Namanya malang-melintang di Jawa Timur, lalu pernah bertarung namun kalah di Pilkada Sumenep dan sempat duduk di kursi empuk Wabup Pamekasan pengganti antarwaktu Raja’e.
Baru-baru ini, muncul Kiai Taufik. Baliho idulfitrinya bertebaran di mana-mana. Dan, Demokrat telah mengonfirmasi bahwa relawan Kiai Taufik telah mengambil formulir penjaringan bakal calon bupati untuk orang nomor satu di NU Pamekasan ini.
Tentu, Kiai Taufik juga tidak bisa dikesempingkan. Dia punya basis massa Nahdlatul Ulama (NU) struktural. Dia akademisi juga tokoh pesantren.
Figur yang belum muncul semarak, seperti Ismail, Rasyid Fansori, Baidowi, Totok Hartono, Afandi, Halili, Baddrut Tamam dan nama-nama lain yang belum disebutkan juga tidak bisa disepelekan.
Di era keemasan media, bisa saja di waktu yang pendek ini muncul figur yang tiba-tiba muncul, viral, dan mendapat dukungan tidak terkira di media massa lalu memantik dukungan masif dan mendapat rekomendasi partai politik.
Bukan tidak mungkin, sekali lagi, sebab kapan saja adagium “No Viral No Justice” berubah menjadi “No Viral No Vote”
Membalik Konfigurasi Pilkada 2024
Saya bertemu Ismail, Ketua DPC Demokrat, di kediamannya beberapa hari lalu. Saya berdiskusi dengannya cukup lama. Yang terekam sekitar 44 menit 30 detik.
Ismail, salah satu figur yang juga diperhitungkan. Basis massanya stabil. Dia juga cukup sering muncul di media sosial. Dorongan kepadanya untuk maju juga banyak.
Bahkan, beberapa orang mengatakan bahwa dia sosok yang komitmen. Dan, selama ini, dia dikenal sebagai politisi yang santun. Lebih dari itu, Ismail juga diterima di kalangan pengusaha dan tokoh pesantren.
Lalu saya bertanya kepada dia, “Mengapa tidak mem-branding diri, masuk bursa Pilkada 2024?”
Begini kemudian jawaban Ismail:
Bagi saya, politik kekuasan dan politik pengabdian tidak ada bedanya. Kata orang, saya tidak punya resistensi. Nyambung ke lintas tokoh. Namun entah, dalam hati saya tidak pernah ada ambisi “kekuasaan”. Karena satu sisi saya menyadari diri sebab syarat rukun pribadi saya harus terpenuhi dulu. Tidak bisa kemudian hanya kata orang baik, kemudian mau maju. Fatsun politik saya begitu. Dan, bagi saya, urusan menjadi figur tidak bisa didorong-dorong oleh siapa pun.
Ismail melanjutkan:
Demokrat dan beberapa partai sedang tidak membahas figur terlebih dulu. Tetapi membahas gagasan tentang Pamekasan lebih awal. Bukan figur. Jadi, kami membahas bagaimana Pamekasan ke depan. Apa yang harus dibenahi. Apa yang harus diprioritaskan. Apa yang harus diprogramkan. Nah, begitu pertanyaan ini terjawab dan membentuk gagasan utuh untuk daerah, maka kita cari figurnya, kita cari figur yang siap melaksanakan apa yang sudah dibahas. Ada enam partai yang selama ini intens diskusi gagasan yakni PPP, PBB, Demokrat, Golkar, PAN dan PKS. Kita tidak membicarakan figur dulu.
Saya bertanya lagi ke Ismail, apa saja pekerjaan bagi Pamekasan? Lalu begini jawaban dia:
Pertama, Pamekasan harus lebih fokus. Tidak terlalu banyak prioritas. Kita belajar ke Sampang. Di Sampang, pemerintahnya fokus. Misal infrastruktur, fokuslah ke situ. Selama ini, prioritas kita amat sangat banyak. Kedua, kepala daerah harus jeli memproteksi anggaran. Ibarat kata, kepala daerah harus benar-benar tahu anggaran ban mobil di masing-masing dinas. Tahu apa yang perlu dan tidak perlu. Ketiga, mengkaji detail sedetailnya draf APBD dan tidak seolah-olah hanya mengkopi paste yang ada di tahun sebelumnya.
Penutup
Saya setuju apa yang disampaikan Ismail. Bahwa, yang dirumuskan terlebih dahulu adalah gagasan pembangunannya untuk Pamekasan. Bukan figurnya. Sekali lagi, bukan figurnya.
Begitu gagasan ini dianggap layak, maka saringlah figur, siapa yang bisa dan mampu melaksanakannya.
Itulah yang saya maksud dengan membalik konfigurasi calon di Pilkada Pamekasan 2024: saat Anda dan kita semua mendahulukan untuk membahas gagasannya daripada mendorong-dorong figur seperti gerobak sate yang cari pelanggan.(*)
_____
*Penulis Ongky Arista UA, Ketua Forum Wartawan Pamekasan.