Telepon dari Guru dan Debat Publik yang Tak Begitu Berguna

Media Jatim
Ongky Arista UA
Ongky Arista UA

Suatu pagi, saya ditelepon seorang guru yang menjabat kepala dinas–tidak perlu saya sebut nama dan dinas apa.

InShot_20241111_121036630
InShot_20241111_154314461

Singkat kisah, saya diajak keliling pinggiran Kota Pamekasan. Singkat kisah, kita berbincang soal politik. Singkat kisah, sampailah pada sebuah pertanyaan begini;

“Apakah debat publik memengaruhi pikiran warga untuk memilih?” tanya dia.

“Iya, memengaruhi. Memengaruhi pemilih rasional,” jawab saya dengan penuh ragu-ragu.

Lalu, saya berpikir dan bertanya, apakah benar debat publik pilkada memengaruhi arah pikiran bahkan pilihan warga?

Jawabannya bisa iya, memengaruhi. Memengaruhi pemilih rasional. Pemilih yang mau berpikir. Pemilih yang memilih karena pikirannya sendiri. Pemilih yang berpijak pada pendapatnya sendiri, pertimbangan diri sendiri dan karena melihat figur calon secara langsung tanpa embel-embel dan bersandar pada figur lain.

Pemilih rasional adalah pemilih yang kritis. Pemilih ini cenderung obyektif. Mereka memiliki kemampuan untuk mengoreksi. Mereka tidak fanatik pada satu calon. Mereka umumnya tidak langsung menjatuhkan pilihan pada satu calon. Mereka masih menimbang-nimbang.

Mereka juga mampu melihat secara jernih mana calon berwawasan atau tidak. Mana calon yang textbook dan tidak. Mana calon yang cacat moral dan tidak. Mana calon berpengalaman dan tidak. Mereka menelusuri track record calon. Mereka menghargai rekam jejak sebagai fakta.

Baca Juga:  Jalan Terjal Pelayan Raja

Mereka menyelisik perangai si calon. Mereka mencari tahu seluk-beluk si calon dari sumber terpercaya. Mereka menganalisis sumber informasi dan seterusnya.

Dan bagi mereka, debat publik menjadi salah satu hal penting dan bisa mengubah arah pikiran dan bahkan pilihan mereka.

Dinas lingkungan hidup kabupaten sumenep_20241112_113109_0000

Akan tetapi, jawabannya bisa juga tidak. Debat publik tidak memengaruhi pilihan timses. Tidak memengaruhi para pemilih fanatik. Pendukung fanatik. Pemilih tidak rasional. Pemilih yang memilih karena patron atau figur lain di luar figur calon di pilkada.

Hari ini, masih banyak ditemukan kelompok yang memilih calon karena kefiguran orang lain. Misal, karena kiai A memilih calon B, maka warga ikut memilih calon B. Memilih calon bupati karena taat pada kiai. Taat pada guru.

Baca Juga:  Melalui Program Abdimas, Mahasiswa dan Dosen UTM Bantu Kembangkan Potensi Desa Bunder Pamekasan

Pemilih fanatik memilih calon B karena perantara. Tidak melihat langsung figur B. Pemilih semacam ini disebut fanatik. Karena pilihannya bergantung pada orang lain. Tidak mandiri. Tidak hasil berpikir sendiri. Dan pada umumnya, pilihan yang digantungkan pada orang lain bersifat tertutup, tidak bisa diganggu gugat dan tidak korektif dan kritis karena dasarnya adalah tunduk dan taat.

Pemilih semacam ini tidak akan bisa mengoreksi kesalahan-kesalahan calon yang dia pilih. Karena dia tidak sedang memilih calon secara langsung. Tidak melihat calon secara langsung. Mereka menyandarkan pilihan kepada orang lain dan tidak kepada calon langsung.

“Lebih baik kalah bersama guru, daripada mengalahkan guru atau menang namun melawan guru,” kata sebagian mereka.

Lalu, pertanyaan berikutnya, lebih banyak mana pemilih rasional dan fanatik?

Jawaban dari pertanyaan di atas bisa kita lihat di lingkungan masing-masing sebagai fenomena.

Yang mayoritas di antara dua hal di ataslah yang kemudian menyusun sendi demokrasi kita hari ini. Apakah demokrasi fanatik, atau demokrasi rasional.(*)

_____
*penulis adalah Ongky Arista UA. Pemimpin redaksi mediajatim.com sekaligus Ketua Forum Wartawan Pamekasan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *