Jember, mediajatim.com — Pekerja Migran Indonesia (PMI) kerap menghadapi banyak masalah. Salah satunya, mereka bekerja tidak sesuai kontrak lantaran berangkat ke luar negeri melalui calo.
Salah seorang mantan PMI asal Desa Sabrang, Kecamatan Ambulu, Mariya Ulfa, menuturkan bahwa bekerja di luar negeri kerap tidak sesuai kontrak.
“Karena proses perekrutan hingga pemberangkatan semuanya diatur oleh calo. Saya nggak tahu kontraknya seperti apa dan baru saat mau berangkat saya tanda tangan. Dan waktunya sangat mendesak banget,” terangnya dalam acara rembuk tematik Migrant CARE Jember di Royal Hotel n’ Resto, Jumat (13/12/2024).
Perempuan yang pernah bekerja lima tahun di Arab Saudi dan dua tahun di Dubai ini mengaku belum mengetahui seperti apa prosedur resmi menjadi PMI, sebab, dirinya berangkat melalui calo.
“Sebelum ada Desa Peduli Buruh Migran, saya nggak tahu cara bermigrasi yang aman,” sambungnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo dalam sambutannya pada rembuk tematik yang bertajuk “Perencanaan Pembangunan Perempuan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya” menyebut bahwa keberadaan PMI memang kerap dimarjinalkan.
“Kita ingin mendorong kebijakan-kebijakan yang berpihak pada pekerja migran. Karena pekerja migran sering termarjinalkan dalam kebijakan publik,” terangnya kepada peserta forum rembuk tematik yang dihelat Migrant CARE Jember via zoom, Jumat (13/12/2024).
Sementara data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), penempatan PMI pada periode November 2024 berjumlah 21.306 orang.
PMI laki-laki 7.258 jiwa (34,07 persen) dan PMI perempuan 14.048 jiwa (65,93 persen). Mayoritas dari mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga, dan sebagian lagi di pabrik.
Pada kesempatan yang sama, Koordinator Migrant CARE Jember Bambang Teguh Karyanto menyebut bahwa agenda rembuk tematik ini telah dilaksanakan selama tiga tahun berturut-turut.
Kegiatan ini dilaksanakan sebagai bentuk partisipasi bermakna untuk memastikan hak-hak pekerja migran terakomodir dalam dokumen perencanaan pembangunan.
“Dalam hal-hal strategis kami ingin berkontribusi terhadap perencanaan pembangunan yang inklusif (terbuka, red),” katanya.
Pembangunan inklusif yang disebutkan meliputi klaster sosial, klaster tata kelola, dan klaster ekonomi bagi PMI.
“Setelah Pilkada 2024 ada satu kewajiban bagi bupati terpilih untuk menyusun dokumen Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang itu mem-break down dan menerjemahkan dari visi-misi bupati,” tegasnya.(den/ky)