Budayawan Bangkalan Minta Jangan Anggap Carok sebagai Tradisi: Itu Bisa Membenarkan Kekerasan!

Media Jatim
Carok
(Dok. Media Jatim) Budayawan Bangkalan R Muhammad bin Rachmad saat mengisi kegiatan Bincang Budaya di Gedung Cakra Universitas Trunojoyo Madura (UTM) pada 28 September 2024 lalu.

Bangkalan, mediajatim.com — Beberapa bulan terakhir, Bangkalan selalu mengalami tragedi berdarah. Peristiwa kekerasan memakai senjata tajam (Sajam) ini, meresahkan berbagai lapisan masyarakat.

Untuk merespons situasi ini, Polres Bangkalan, akademisi dan sejumlah tokoh masyarakat setempat menggelar Peletakan Senjata Tajam di Pendopo Agung, Jumat (13/12/2024) kemarin.

Aksi ini dilakukan untuk menyampaikan pesan bahwa kekerasan dalam bentuk apa pun yang menggunakan Sajam, utamanya carok, harus dihentikan.

“Semua yang hadir di acara ini sepakat bahwa carok bukan lagi tradisi Madura, jadi harus dihentikan karena masyarakat Madura cinta damai,” ucap Wakapolres Bangkalan Kompol Andi Febrianto Ali, Jumat (13/12/2024) lalu.

Baca Juga:  Kuota Pupuk Subsidi Naik, DPRD Bangkalan Minta Pemprov Jangan Ada Pemangkasan Lagi

Tidak disangka, respons Polres serta tokoh masyarakat Bangkalan ini menuai sorotan dari kalangan budayawan.

Budayawan Bangkalan R Muhammad bin Rachmad membantah bahwa kekerasan fisik yang selama ini sering terjadi adalah carok.

Peristiwa kekerasan yang kerap kali terjadi di Bangkalan belakangan ini, tutur Muhammad, adalah perkelahian, pembunuhan, atau penganiayaan.

“Sekarang banyak main belakang, bahkan juga pengeroyokan. Jika itu dikatakan carok, maka jelas ada pergeseran makna di sini. Sama dengan penyebutan semua pusaka yang disebut keris, padahal tidak begitu,” jelasnya, Senin (16/12/2024).

Kata Muhammad, carok adalah perkelahian satu lawan satu dan sama-sama menggunakan senjata berupa celurit.

Baca Juga:  KAHMI Jatim akan Prioritaskan Usulan Pembentukan Lazizka

“Tapi yang juga harus dipahami bahwa carok bukanlah tradisi. Carok itu adalah salah satu cara penyelesaian terakhir sebuah masalah. Bukan kemudian satu-satunya cara menyelesaikan masalah,” paparnya.

Karena, lanjut Muhammad, Indonesia adalah negara hukum. “Artinya untuk menyelesaikan berbagi perkara tidak melulu harus carok, bisa dengan musyawarah, negosiasi dan sejenisnya,” ujarnya.

Menurut Muhammad, peribahasa Madura ‘ango’an pote tolang etembhang pote matah’ (lebih baik putih tulang daripada putih mata) juga harus direvisi.

“Hal ini semua penting, agar tidak selalu menjadi andalan bagi siapa pun untuk membenarkan tindakan kekerasan atau carok,” pungkasnya.(hel/faj)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *