Video Hanifah Mengadu ke Dedi
Sambil mengupas bawang merah untuk goreng telor, saya scroll tiktok. Muncul seketika di beranda video seorang siswi bernama Hanifah.
Dalam video, Hanifah mengaku mendapatkan PIP Rp1,8 juta kepada Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Ayah Hanifah seorang ASN di BKKBN.
“Kita gak dibolehin nolak,” kata Hanifah.
“Harusnya orang tua kamu nolak, karena ASN. PIP untuk orang miskin dan rentan miskin,” kata Dedi.
“Iya, kita sudah nolak. Cuma sama pihaknya kita harus tetap menerima,” timpal Hanifah.
Dalam video berdurasi 4 menit 21 detik yang diunggah akun @dedimulyadiofficial itu, Dedi secara terang-terangan bertanya kenapa Hanifah berani speak up.
“Apa yang buat kamu berani? Kamu gak takut?” tanya Dedi.
“Gak sih, karena aku merasanya itu gak ada salahnya. Kita kasian kepada anak-anak yang membutuhkan. Soalnya ada temen kita yang benar-benar membutuhkan,” jawab Hanifah.
Transformasi Cara Pemerintah Mendengar dan Bersikap
Saya tidak ingin mengulas tentang Dedi yang sidak ke SMA Negeri 7 Cirebon, lalu bertemu Hanifah yang memberikan pengakuan sebagai penerima PIP dan PIP-nya dipotong sekitar Rp200 ribu untuk partai, dan seterusnya. Itu hal lain berkonteks rasuah.
Saya ingin membahas tentang pola pemerintah mendengar, bersikap dan mengubah kebijakan. Lokomotifnya adalah Dedi Mulyadi.
Dedi sosok yang pandai bermedsos. Follower tiktoknya 4,6 juta. Total like di akunnya 93,5 juta. Konten terpopulernya ditonton 78,9 juta.
Di Instagram, Dedi memiliki 2,5 juta pengikut. Total konten yang diposting berjumlah 6.513. Kontennya juga ditonton jutaan pengguna.
Di Youtube, Dedi sudah terjun sekitar 8 tahun lalu. Video terpopulernya ditonton 10 juta pengguna. Dan, subscriber-nya 6,29 juta. Total video publik yang diunggahnya 4,2 ribu buah.
Sebagai pejabat, Dedi menjadikan akun medsosnya sebagai mimbar pengaduan masyarakat dan menyampaikan sikapnya.
Masyarakat yang mengadu pun tidak hanya didengar Dedi. Tapi juga jutaan warga Indonesia menyimaknya. Dedi menjadikan masyarakat yang mengadu sebagai konten di akunnya.
Kegiatan Sidaknya juga dijadikan konten. Kegiatannya turun ke sungai. Bertemu warga. Menindak bangunan-bangunan yang melanggar. Melakukan protes. Sikap-sikap tegasnya. Semua dikontenkan oleh Dedi. Dengan penuh berani. Tanpa takut sama sekali.
Apa yang dilakukan Dedi telah membuat masyarakat yang tertindih oleh kebijakan pemerintah berani ngomong dan mengadu terang-terangan. Apa yang diadukan masyarakat kepada Dedi juga ditindaklanjuti secara jelas dan lugas.
Misal saat petugas Damkar Depok Sandi Butarbutar mengadu ke Dedi lantaran fasilitas Damkar yang minim hingga soal tidak diperpanjang kontrak kerja sebab Sandi kerap protes.
“Sebentar lagi Walikota Depok dilantik. Sudah ngomong, kok, kepada Walikota Depok. Udah nanti tinggal diperpanjang lagi. Selama Sandi mau bekerja dengan baik dan mau memposisikan sebagai pegawai,” kata Dedi, memberikan sikap.
Saya membayangkan, pola pemerintahan daerah kabupaten atau kota berjalan demikian. Pengaduan masyarakat dipublikasi di akun official bupati dan wakil bupati.
Tujuannya agar pengaduan masyarakat dapat didengar masyarakat luas sehingga memantik munculnya pengaduan-pengaduan lain yang selama ini terpendam jadi gunung es dan rahasia umum daerah (RUD).
Sebagai warga Pamkeasan, saya pun ingin bertanya, apakah itu bisa dipelajari lalu dilakukan oleh Bupati dan Wakil Bupati Pamekasan?
Misalnya, bupati atau wakil bupati menerima pengaduan perusakan trotoar, jalan rusak tahunan, banjir, dugaan pemotongan THR, kasus pedagang pasar dipukul kepala pasar, dugaan jual beli kios, tata kelola PKL, sengketa SHM laut Jumiang dan baru-baru ini pesta petasan yang memakan korban di Kecamatan Proppo.
Pengaduan-pengaduan itu lalu dikontenkan. Di dalam konten itu, bupati secara tegas bersikap dan sikapnya terhadap persoalan yang diadukan masyarakat bisa jadi catatan jejak digital publik.
Bisakah Bupati Pamekasan Belajar kepada Dedi Mulyadi?
Rasa-rasanya apa yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi itu tidak sulit dipelajari. Tinggal bentuk tim media yang melek konten. Memahami undang-undang ITE. Beli alat-alat perekam yang kompatibel.
Saya kira alat-alat tidak akan terlalu mahal–masih jauh lebih mahal Vellfire VIP Hybrid Rp1,8 miliar dan Hyundai Palisade XRT Rp1,2 miliar.
Tentu juga saya kira, tampil dalam konten itu soal sepele dan mudah saja. Apalagi, di jaman yang segala sesuatunya harus terbuka, pemerintah tidak cocok lagi main petak umpet dengan masyarakatnya.
Tinggal, bagaimana pemerintah berani tampil. Melepas belenggu-belenggu. Melepas segala beban historis.
Bupati berdiri sebagai bupati. Wabup berdiri sebagai wabup. Tegas dan berani. Berada dalam regulasi yang benar.
Dan, jadikan pendapa dan medsos official pemkab serta media yang ada sebagai mimbar pengaduan masyarakat dan mimbar bersikap untuk kemajuan daerah.(*)
_____
*penulis adalah Ongky Arista UA, jurnalis Media Jatim dan Ketua Forum Wartawan Pamekasan.