Catatan Peristiwa
Pada 2023, saya bertemu dengan Fauzi di sebuah hotel di Sumenep. Dalam sebuah acara. Tidak bertemu secara khusus.
Dia memberi sambutan di atas podium. Dalam sebuah acara ulang tahun salah satu perusahaan media di Madura.
“Kritikan-kritikan itu juga penting, selama itu memang benar,” begitu kira-kira kata Fauzi di atas podium.
Dia menyampaikan itu dalam konteks kerja pers. Bahwa, pers yang memuat kritik melalui pemberitaan tidak perlu diprotes apalagi sampai dicoret kerja samanya oleh pemerintah kabupaten.
Kata Fauzi, kritik juga berguna untuk perbaikan pemerintah daerah. Kritik adalah tonikum bagi pemerintah.
Saat itu, saya merasa terkesan. Bisa-bisanya seorang bupati secara lugas berkata penuh bijaksana bahwa kritik juga berguna untuk pemerintah daerah.
Saya tiba-tiba yakin bahwa Fauzi Wongsojudo merupakan seorang yang bijaksana saat dia menyampaikan begini:
“Karena produk pers itu pasti ada faktanya, dan itu harus ditoleransi,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Fauzi juga menyinggung bahwa berita yang kritis itu juga penting baginya untuk mengevaluasi jajarannya.
“Sebab itu juga (dari berita, red) akhirnya saya bisa mengevaluasi kerja kepala dinas,” tuturnya.
Lebih dari itu, kata Fauzi, produk tulisan pekerja pers profesional itu mahal, sebab, mereka harus turun ke lapangan, membangun jejaring di lapangan dan menggali data.
“Kita harus paham-paham juga pada persoalan begini,” katanya.
“Dan jika ruang gerak pers sempit, maka program pemerintah tidak akan tersampaikan dengan baik,” tambahnya, penuh bijaksana.
Menelan Ludah Sendiri
Apa yang secara bijaksana disampaikan itu ternyata diingkari. Ibarat kata, menelan ludah sendiri. Pada praktiknya, Bupati Sumenep dua periode ini antikritik.
Jelang pelaksanaan Pilkada 2024 kemarin, salah satu media diberi ultimatum. Media tersebut akan dihapus kerja samanya di Diskominfo untuk anggaran 2025 karena telah menyoroti kerja pemerintahan pada masanya dan dianggap berpihak kepada kubu Kiai Fikri-Unais.
Ultimatum itu dilontarkan orang dekat Fauzi kepada media dimaksud pada awal November 2024.
Pada 2025, usai Fauzi-Imam dilantik, media tersebut berpikir positif bahwa ultimatum itu hanya upaya menakut-nakuti dan gurauan angin.
Pihak media berpikir positif, bahwa tidak mungkin seorang bupati terpilih dua periode memiliki pikiran yang tidak bijaksana dan serampangan semacam itu.
Pihak media juga berpikir positif bahwa Fauzi sosok yang mau dikritik. Apalagi, Fauzi punya rekam jejak sebagai mantan wartawan.
Jadi, karena masih berpikir positif, pada suatu hari pihak media tetap membawa proposal kemitraan ke Diskominfo Sumenep sebagaimana berjalan pada 2024 sebelumnya.
Dengan tidak disangka-sangka, proposal media ini ditolak. Salah seorang staf Kominfo Sumenep kira-kira berkata begini: “Atas arahan bapak, jangan dulu. Proposalnya pegang dulu.”
Kru media balik kanan. Dengan tenang dan santai saja. Proposal itu tetap di tangan kru media tersebut. Media ini tentu kecewa. Karena terlanjur berpikir positif.
Akan tetapi dari penolakan tersebut akhirnya media ini tahu bahwa setidak-tidaknya telah terbukti bahwa pada praktiknya, Fauzi seorang bupati yang antikritik. Berkebalikan dari apa yang disampaikannya di podium saat itu.
Waktu berlalu. Peristiwa Diskominfo Sumenep itu telah dilupakan. Sebagai perusahaan media, media tersebut tetap secara konsisten menerbitkan berita. Sesuai kadar faktanya. Tidak kritis. Biasa-biasa saja. Datar-datar saja.
Media tersebut menerbitkan berita dengan judul begini: “Pemkab Sumenep Akan Pakai APBD Rp700 Juta untuk Bagi-Bagi Sarung dan Mukena”.
Judulnya hampir sama dengan yang dimuat kompas.com: “Pemkab Sumenep Siapkan Rp 700 Juta untuk Bagi-bagi Sarung dan Mukena”.
Lalu, seorang aparatur mengontak media tersebut dan berkata begini via pesan pendek:
“Gara-gara berita ini saya dimarahi bapak bupati. Saya minta berita ini di-takedown saja.”
Tentu, fakta-fakta ini menguatkan sikap ambivalen Bupati Sumenep. Menerima kritik yang faktanya antikritik. Tidak mencoret media yang pada praktinya mencoret media. Memantik kebijaksanaan yang faktanya berkebalikan.
Polarisasi Pers yang Membahayakan
Sebagai mantan wartawan, Achmad Fauzi semestinya pernah membaca 9 elemen jurnalisme dalam buku Bill Kovach dan Tom Rosenstiel berjudul: Sembilan Elemen Jurnalisme.
Dalam buku ini disebut bahwa salah satu peran vital pers adalah menjadi pemantau jalannya kekuasaan.
Fakta-fakta anggaran pemerintah perlu ditulis agar masyarakat bisa bersama-sama memantau. Seperti pembangunan tugu keris, jalan rusak, pengadaan sarung Rp700 juta dan yang serupa.
Jika Fauzi lebih jauh berpikir, tentu dia akan paham, bahwa berita hakikatnya tidak lahir sebagai kritik.
Berita lahir sebagai fakta yang diungkap. Bila fakta yang diungkap ini dianggapnya sebagai kritik, dan saat dikritik lalu salah satu media dicoret, hemat saya, itu adalah kebijakan yang serampangan dan kekanak-kanakan untuk dilakukan figur sekelas bupati.
Kebijakan coret-mencoret itu menjadi fakta betapa Bupati Sumenep antikritik. Pemimpin yang antikritik akan menciptakan pendidikan pers yang mengerdilkan.
Padahal seharusnya, Fauzi di periode keduanya ini telah kebal dan lebih bisa menerima kritik, bukan justru sebaliknya.
Dampak dari sikap yang antikritik ini akan memicu pekerja pers terpolarisasi ke dalam dua kubu. Kubu penyokong pemerintah dan nonpemerintah. Kubu yang memuji mati-matian dan mengkritik mati-matian.
Pemerintah Sumenep di dalam konteks ini telah ikut menjadi penyebab lahirnya dua kubu pekerja pers yang kurang sehat.
Fauzi yang mantan wartawan justru tampak menjadi figur yang tidak memahami kerja wartawan. Bahwa pers seharusnya berdiri kokoh pada fakta-fakta. Bukan terjerembab pada kubu pemerintah atau nonpemerintah.
Pers harus dibiarkan menulis fakta baik dan mengungkap fakta buruk. Pers seharusnya jadi mitra pemerintah yang terbuka dan kritis serta obyektif: fakta baik ditulis untuk jadi motivasi sementara fakta buruk juga ditulis agar jadi bahan evaluasi.
Dan, seharusnya, Fauzi menjadi figur yang memahami itu, dan kembali pada kata-katanya sendiri yang dilontarkan pada Juni 2023:
“Karena produk pers itu pasti ada faktanya, dan itu harus ditoleransi.”
Semestinya dia juga memahami dan bisa meresapi perkataannya sendiri:
“Dan jika ruang gerak pers sempit, maka program pemerintah tidak akan tersampaikan dengan baik.”
Tetapi bisa saja bupati lupa pada kata-katanya sendiri. Bupati memiliki banyak urusan. Banyak pikiran. Banyak rapat dan seterusnya.
Tentu, masyarakat harus selalu memaklumi karena orang nomor satu di daerah pasti sibuk, dan orang sibuk berpotensi melupakan kata-katanya sendiri.(*)
_____
*penulis bernama Ongky Arista UA, lahir di Sumenep. Wartawan mediajatim.com