Tulisan ini bukan ceramah. Apalagi upaya menggurui seorang kepala dinas yang akan segera memasuki masa pensiun.
Ini hanya catatan ringan. Hasil dari satu perjumpaan yang membekas. Sebuah percakapan yang membawa saya pada permenungan tentang makna usia, kuasa, dan kebijaksanaan.
Pada 2 Mei 2025, saya melakukan wawancara dengan Kepala Disbudporapar Kabupaten Sumenep. Topik yang diangkat sederhana: kamar mandi rusak di wisata Pantai Lombang.
Isu ini sering dikeluhkan pengunjung. Sebagai jurnalis, saya merasa perlu menelusuri penyebabnya langsung ke dinas yang membidangi.
Namun, wawancara yang seharusnya berlangsung khidmat justru berkembang menjadi ruang ledakan emosi.
Pertanyaan yang saya ajukan mendapat respons yang tidak biasa, bahkan, menyudutkan posisi saya sebagai jurnalis.
Saya dianggap datang hanya untuk mencari-cari kesalahan karena Media Jatim pernah menulis kendaraan dinas Bupati dan Wakil Bupati Sumenep yang tidak membayar pajak dan pelat nomor yang dipakai tidak sesuai dengan data kepolisian.
Padahal, maksud saya sederhana, yakni menjernihkan informasi di lapangan. Jika memang ada alasan logis mengapa fasilitas dasar itu belum juga diperbaiki, tentu akan saya catat dan sampaikan kepada publik–sebagai berita.
Dalam perjalanan pulang dari Kantor Disbudporapar Sumenep, saya teringat sebuah kalimat dari dosen filsafat saat di bangku kuliah.
Semakin tua, seharusnya manusia semakin bijaksana. Hidup yang panjang telah mengajarkan banyak hal.
Tapi, benarkah usia secara otomatis melahirkan kebijaksanaan? Atau justru usia hanya memperjelas karakter dasar yang sejak lama tak pernah benar-benar diolah?
Bagi saya, kebijaksanaan tak lahir semata dari waktu yang panjang, tetapi lahir dari kemampuan untuk menahan gejolak emosi, mendengar dengan terbuka, serta membedakan mana kritik dan mana mencari-cari kesalahan. Kedewasaan berpikir seperti ini, seharusnya dimiliki setiap pejabat publik.
Saya tidak tahu apakah tulisan ini akan sampai ke meja Kepala Disbudporapar Sumenep. Saya tetap menaruh hormat kepada siapa pun yang telah mengabdikan diri di jalur kepemerintahan. Tetapi, rasa hormat itu tidak lantas menutup ruang untuk bertanya, menggali, dan mengkritisi.
Dalam praktik kerja jurnalistik, saya percaya bahwa media tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi. Media juga merupakan kontrol publik, jembatan komunikasi, dan sekaligus alarm sosial ketika ada yang perlu dibenahi. Berita kritis yang dilontarkan media bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan, melainkan mengingatkan.
Sayangnya, dalam sejumlah konteks pemerintahan, kritik kerap dianggap sebagai bentuk permusuhan. Wartawan dianggap lawan, bukan mitra dialog.
Padahal, dalam negara demokratis, kritik merupakan bagian penting dari sistem koreksi. Pemerintah yang baik tidak hanya ditandai oleh keberhasilan dalam membuat kebijakan, melainkan juga oleh kesediaannya mendengar dan mengevaluasi. Pemerintah yang alergi terhadap kritik justru memperlemah kepercayaan publik.
Kasus kamar mandi Pantai Lombang Sumenep yang rusak mungkin terkesan remeh, tetapi dari situ saya melihat lebih jauh bahwa sikap pejabat terhadap media bisa mencerminkan bagaimana mereka memaknai dan memakai kekuasaan.
Sebagai jurnalis, saya datang bukan untuk menyudutkan, melainkan untuk memahami. Tugas saya adalah mencatat fakta, menyampaikan suara-suara yang tidak terdengar, dan mempertanyakan hal-hal yang luput diperhatikan.
Termasuk, barangkali, pertanyaan kecil: sampai kapan kamar mandi di Pantai Lombang dibiarkan rusak? Atau sudah berapa lama toilet itu dibiarkan rusak?
Jika ruang kritik terus disempitkan, dan suara media tak lagi didengar, maka sesungguhnya yang kita pertaruhkan bukan hanya kebebasan pers, tetapi juga masa depan pelayanan publik.(*)
_____
*penulis Moh. Syamsul Arifin, wartawan Media Jatim di Kabupaten Sumenep.