web media jatim
Brosur UIJ Sosial Media-01

Gelap Terang Giliraja

Media Jatim
Giliraja
Imron Rosyadi

Listrik bukan sekadar aliran daya yang menggerakkan mesin dan menyalakan lampu. Ia adalah denyut halus peradaban, cahaya yang memisahkan zaman kegelapan dari dunia yang tercerahkan.

Di dalamnya bersemayam hakikat kemajuan, penanda hadirnya negara, dan simbol kehadiran yang paling sunyi namun paling menentukan dalam hidup sehari-hari.

Janji Wakil Bupati Sumenep—yang menjadi proksi dari Pemerintah Kabupaten Sumenep—dan PLN Madura untuk menghadirkan listrik 12 jam mulai Mei 2025 memberi secercah harapan.

Namun kenyataannya, alih-alih bertambah terang, Pulau Giliraja justru masih terjebak dalam kondisi listrik yang menyala seadanya—tujuh jam dalam sehari.

Bahkan, akibat gangguan generator yang terbakar pada salah satu mesin pembangkit, masyarakat harus menghadapi pemadaman bergilir tanpa kepastian hingga waktu yang tidak jelas. Surat pemberitahuan resmi dari PLN, lengkap dengan dokumentasi generator yang rusak, memperpanjang daftar alasan teknis yang berulang.

Meski demikian, secercah titik terang tampak melalui perkembangan terbaru yang disampaikan Manajer PLN UP3 Madura. Generator yang rusak tersebut sedang diperbaiki, dengan sparepart yang dijadwalkan tiba dalam beberapa hari.

PLN juga tengah menambah satu unit mesin PLTD baru—dari lima menjadi enam unit. Semula listrik direncanakan menyala 12 jam mulai 7 Mei, tetapi karena berbagai kendala teknis, realisasinya diundur hingga paling lambat 15 Mei 2025.

Baca Juga:  Mengeja Tri Motto PMII

Kendala teknis tentu dapat dipahami. Namun yang harus mendapat sorotan adalah pola komunikasi yang dibangun pemerintah dan PLN kepada publik. Gangguan teknis boleh saja terjadi, tetapi publik berhak mendapat informasi terbuka, rinci, dan akuntabel terkait hambatan dan solusi yang sedang dijalankan.

Persoalan listrik ini bukan semata masalah mesin yang rusak atau gangguan teknis sesaat. Ini adalah persoalan hak dasar warga negara.

Listrik bukan lagi barang mewah yang boleh dinikmati sebagian orang dan diabaikan sebagian lainnya. Ia adalah kebutuhan esensial, pondasi dasar kehidupan masyarakat yang sudah sepantasnya diberikan secara layak, bukan sebagai belas kasihan atau sekadar janji kampanye yang manis.

IMG-20250502-WA0029
IMG-20250502-WA0027
IMG-20250502-WA0028
IMG-20250502-WA0031
IMG-20250502-WA0030

Ketidakmampuan pemerintah dan PLN untuk merealisasikan janji mencerminkan problem klasik: komunikasi yang tidak transparan, manajemen yang lemah, serta janji politik yang jauh dari realitas. Gangguan teknis memang bisa terjadi kapan saja, tetapi yang tidak dapat diterima adalah pola komunikasi yang tidak jelas dan tidak jujur. Masyarakat Giliraja membutuhkan lebih dari sekadar penjelasan formal, melainkan kepastian konkret.

Mengelola kebutuhan dasar publik seperti listrik seharusnya didekati dengan paradigma pelayanan, bukan sekadar proyek. Ini bukan hanya persoalan untung-rugi finansial, melainkan soal bagaimana menciptakan kehidupan yang lebih manusiawi bagi masyarakat kecil di ujung kepulauan.

Baca Juga:  Kejari Sumenep Segera Limpahkan Kasus Ayah Rudapaksa Anak Tiri di Giliraja ke Pengadilan

Pemadaman bergilir bukan hanya mematikan lampu, tetapi juga mematikan harapan, semangat, dan optimisme masyarakat yang terus-menerus dijanjikan kehidupan lebih baik. Dalam gelapnya malam yang rutin dialami, pertanyaan besar selalu hadir: sampai kapan janji terang itu akan benar-benar menjadi nyata?

Masyarakat Pulau Giliraja berhak atas pelayanan publik yang bermartabat, transparan, dan akuntabel. Sudah waktunya pemerintah daerah berhenti bersembunyi di balik dalih teknis, keluar dari zona nyaman birokrasi, dan sungguh-sungguh memperjuangkan pemenuhan kebutuhan listrik yang layak bagi masyarakat.

Jika komitmen menghadirkan listrik 12 jam belum bisa segera direalisasikan sepenuhnya, setidaknya pemerintah dan PLN harus memberi kepastian mengenai target waktu dan proses perbaikannya. Jangan biarkan masyarakat terus-menerus meraba dalam gelapnya ketidakjelasan kebijakan. Jangan biarkan janji pemerintah menjadi ironi yang semakin menjauhkan masyarakat dari rasa percaya terhadap para pemimpinnya.

Sebab, dalam terang ataupun gelap, yang teruji adalah integritas pemimpin daerah dalam menjalankan amanah publik. Amanah itulah yang saat ini tengah dinanti pemenuhannya di Pulau Giliraja.(*)

_____

*penulis adalah Imron Rosyadi. Warga Giliraja, Sumenep. Mahasiswa Magister Ekonomika Pembangunan UGM.