Psywar tak bermusim yang ditebarkan oleh dua kelompok bernama cebong dan kampret akan terus menemukan tempat. Apalagi menjelang pemilihan presiden dan wakil Presiden 2019. Eksistensinya akan semakin tajam dan frontal di tengah masyarakat lebih lebih di media sosial. Dua kelompok yang tidak henti henti bertikai ini menciptakan paranoid dan sinisme antar satu dengan lainnya.
Fenomena ini berawal saat Pilpres 2014 yang mempertemukan Jokowi dengan Prabowo. Pertarungan sengit yang sama sama memiliki pendukung fanatik melahirkan polarisasi dukungan yang semakin mengkristal sampai saat ini. Sehingga memunculkan labelisasi cebong bagi pendukung Jokowi dan Kampret untuk yang anti Jokowi.
Kondisi ini terus bermetaformosis dan semakin parah saat kasus penistaan Al- Qur’an oleh Ahok mencuat ke permukaan versus aksi 212 dll. yang tensinya hingga berlanjut dalam Pilgub DKI. Kondisi ini jika diibaratkan pertandingan sepak bola maka skor kemenangan satu sama untuk Cebong dan Kampret, walaupun beda level. Pilpres 2014 dimenangkan Cebong karena pemenangnya Jokowi dan Pilgub DKI 2017, dimenangkan Anies Baswedan tentu dalam hal barisan Kampret yang merasa bahagia.
Menangkal Barbarisme Politik
Sebenarnya menonjolkan identitas dan menemorsatukan jagoan masing masing dalam sebuah kontestasi politik tidaklah menjadi persoalan selama tidak saling menyakiti, saling menghina, saling caci maki satu sama lain.
Mengidolakan seseorang, mulai dari orang terdekat hingga figur publik seperti artis, seorang tokoh atau politisi adalah sesuatu yang wajar dan normal. Yang penting bisa menjaga pola komunikasi yang baik, mendidik dan cerdas dalam menyikapi perbedaan.
Maraknya hoax dan ujaran kebencian di Medsos sebagai tanda bahwa sedang terjadi krisis cara berpikir sehat. Bahkan kondisi ini tidak hanya di alami oleh orang awam, tetapi juga termasuk akademisi, dosen, tokoh masyarakat dan bahkan yang oleh sebagian kelompok dikatakan Ulama’, hanya karena terjebak dalam dukung mendukung dan fanatisme golongan. Sehingga banyak anekdot logika terbalik yang diperlihatkan bahkan oleh sekaliber profesor sekalipun.
Saat ini kita seperti menonton drama bagaimana menjadi pengiklan nomor wahid untuk sang junjungan. Kadang tidak malu memberikan sanjungan menyamai seseorang nabi dan tidak merasa bersalah saat merendahkan lawannya melebihi binatang.
Kita seperti tidak sadar bahwa fanatisme sektoral dan kesukuan adalah salah satu faktor yang dominan lahirnya konflik dan perpecahan. Dan perpecahan hanya akan mengakibatkan rasa persaudaraan dan persatuan bercerai berai.
Ironisnya akhir-akhir ini berbagai macam komentar yang bernada negatif, bahkan menghujat melalui kata-kata kotor yang tidak pantas untuk di ucapkan seperti menjadi ruh pendukung yang pro Jokowi maupun yang tidak. Gelombang perang netizen di medsos semakin bergemuruh menyongsong Pilpres 2019. Hate speech dan kata kata sampah tumbuh subur akibat perbedaan diametral soal pilihan .
Untuk itulah, para kandidat dan tim pemenangan, wajib mengarahkan tim media sosial untuk mengisi laman dunia maya atau yang sejenis hanya dengan adu visi misi, program dan kampanye yang p edukatif dan persuasif.
Etika dan kesantunan dalam mendukung calon pemimpin harus menjadi prioritas. Mendukung tampa menghujat kemudian memilih dengan cara cerdas.
Begitu pula dengan para elit politik. Mereka harus dapat menjadi pemandu dalam memahami tujuan pemilu sekaligus menjadikan masyarakat sadar politik. Sehingga pemimpin yang di dapat dari pesta demokrasi benar benar sesuai harapan masyarakat.
Jadi pendukung maupun simpatisan itu hendaknya jangan terlalu fanatik. Politik itu dinamis dan penuh drama. Pada saat yang sama orang yang kita dukung dan orang yang kita benci tanpa kita tahu dibalik layar mungkin sedang lagi duduk satu meja sambil senyam senyum untuk berkoalisi.
Ali bin Abi Thalib Karramallahu wajhah, mengingatkan. “Cintailah orang yang kamu cintai sekedarnya, bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti harus kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekedarnya, bisa jadi di suatu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.”
Oleh karena itu, bagi rakyat kecil seperti saya mikirin asap dapur supaya tetap mengepul dan piring agar selalu terisi dengan menu bergizi jauh lebih bernilai dari pada larut dalam hingar bingar dukung mendukung ala Cebong dan Kampret yang tak berkesudahan.
Berhentilah saling merendahkan dan menistakan antar sesama yang sebangsa dan setanah air apalagi yang seiman. Berekspresilah dengan cara yang lebih mulia dan bermartabat, karena kita diciptakan sebagai sebaik baiknya mahkluk.
Toh akhirnya siapa yang menang dalam Pilpres 2019 mendatang sudah tertulis di lauhul Mahfudz. Kita tinggal menunggu waktu bagaimana rakyat memberikan mandat kembali pada Joko Widodo bersama KH. Ma’ruf Amin Amin sebagai Presiden dan Wakil kembali atau bisa jadi sudah waktunya Bangsa ini punya Presiden baru seperti Prabowo Subianto yang didampingi Sandiaga Sholahuddin Uno.
Wallahu A’lam,…
Oleh: Abba Ibnu Zumra
Alumni Ponpes Annuqayah Sumenep Madura
Biarkan hati nurani yang memilih tanpa campur tangan orang lain.