Opini  

Buku dan Masa Depan Anak

Media Jatim

Oleh: Abdul Wahid

Anak-anak adalah makhluk kecil yang memiliki dunia yang luar biasa: indah, suci, polos, dan lugu. Di balik itu semua, mereka sebenarnya menyimpan suatu potensi besar dan amat beragam. Mereka adalah para “filsuf cilik” (faylasuf shaghîr) sebagaimana pernah dinyatakan oleh Hamid Abdul Hamid. Mereka adalah “seorang penemu” sebagaimana dinyatakan dalam sebuah pepatah in jedem Kind steckt ein Erfinder (dalam setiap anak tersembunyi seorang penemu).

Para psikolog juga seperti sudah sepakat bahwa anak-anak sebenarnya telah memiliki kemampuan untuk berpikir lebih jauh tentang konsep-konsep filosofis seperti keadilan, cinta, dan eksistensi dari “wujud tertinggi” (The Supreme Being). Bahkan Marsha Sinetar menemukan bahwa banyak sekali anak-anak yang memiliki “pancaran cahaya kesadaran dini” (the early awakening child); Sebuah potensi potensi besar untuk mendemonstrasikan kemampuannya untuk melampaui segala bentuk kesulitan dalam rangka walk in truth.

Pendampingan Masa Depan Anak

Potensi dahsyat anak-anak seperti digambarkan di atas, senantiasa menunggu tangan-tangan bijaksana kita, orang tua dan siapa saja, untuk bisa berkembang secara baik hingga mencapai puncak yang maksimal di masa yang akan datang.

Dalam banyak hal, anak-anak memang membutuhkan bimbingan dari orang dewasa (terutama orangtua dan pendidik) sehingga arah perkembangan potensi mereka menjadi lebih jelas, sesuai dengan bakat yang dimiliki. Sayangnya, masih saja terdengar berita-berita yang mengabarkan tentang kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak, bahkan oleh orang yang paling dekat dan dipercaya: guru dan orangtua dan teman.

Fenomena kekerasan yang menimpa anak-anak, baik kekerasan psikologis yang berupa pemaksaan dan penindasan, bahkan kekerasan seksual sebagaimana banyak diberitakan dalam beberapa hari terakhir, seperti menjadi pemandangan yang tak pernah usai. Ribuan kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan dan ditangani oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia semakin menguatkan fenomena tragis tersebut. Masa depan anak-anak menjadi terancam oleh prilaku orang dewasa.

Ketidakpedulian para orangtua terhadap masa depan anak-anak mereka, dengan alasan apapun, merupakan kejahatan besar yang akan berdampak besar pula, tidak hanya terhadap masa depan mereka, tetapi juga terhadap masa depan bangsa. Sebab mereka akan menjadi pengganti generasi tua di masa yang akan datang. Mereka adalah “ayah dan ibu masa depan” (abun wa umm al-mustaqbal). Pengalaman pahit di masa kecil akan menyisakan trauma dalam kehidupan mereka. Kesalahan dalam mendidik dan mengawasi mereka merupakan “kesalahan mengalir” yang akan terus menjadi momok dalam sejarah hidup mereka.

Baca Juga:  Seni Politik dalam Perspektif Filsafat

 Menanamkan Cinta Buku

Pada sekitar tahun delapan-puluhan, Neil Postmann, seorang sosiolog Amerika,  sudah pernah memprediksi bahwa seiring dengan kemajuan teknologi, anak-anak akan kehilangan masa kanak-kanaknya. Berbagai tontonan yang disajikan oleh televisi dan media elektronik yang lain, semakin memaksa anak-anak untuk menjadi dewasa sebelum saatnya. Sindhunata pernah menyatakan bahwa gejala menipisnya perbedaan antara orang dewasa dan anak-anak merupakan gejala yang secara tersembunyi sangat membahayakan peradaban kita (Sindhunata, 2000: 10).

Data yang dilansir oleh UNESCO tahun 2012, menunjukkan bahwa perbandingan orang Indonesia  yang suka  membaca dan tidak adalah satu banding seribu. Pernyatan tersebut  dikuatkan oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa 91.68% orang Indonesia gemar menonton TV dan hanya 17.6% persen yang suka membaca (Kemendikbud, 29 Mei 2015).

Data-data di atas menunjukkan bahwa anak-anak kita sedang berada  dalam cengkraman tangan-tangan kuasa media audio-visual seperti TV, termasuk media elektronik lainnya. Fenomena ini menjadi ancaman besar bagi pengembangan tradisi literasi yang merupakan kunci utama bagi kemajuan bangsa.

Saat ini masih ada jutaan anak Indonesia yang bisa kita selamatkan dengan segera mungkin mengembalikan mereka pada dunia buku, dengan tetap mempertimbangkan kondisi psikologis mereka. Menanamkan kecintaan terhadap buku memang bukan pekerjaan yang mudah. Akan tetapi hal tersebut bukan sesuatu yang tidak bisa dikerjakan.

Gerakan “10 Menit Membacakan Cerita untuk Anak” yang dicanangkan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, dan diluncurkan di perpustakaan Kemendikbud (Republika, 30 Mei 2015) merupakan suatu langkah strategis untuk mengembalikan anak-anak Indonesia pada dunia yang lebih baik, demi  menjadi manusia unggul di masa depan. Gagasan cerdas ini tentu perlu mendapat apresisasi yang hangat dari kita semua, terutama para pendidik dan orangtua, dengan mengambil langkah kongkrit.

Baca Juga:  Anarko Sindikalis di Tengah Covid-19

Menyediakan buku anak-anak yang menarik dan mendidik, mendampingi mereka saat belajar, dan berdongeng secara konsisten dan kontinyu merupakan hal penting yang selama ini seringkali diremehkan oleh orangtua. Banyak sekali kearifan yang kita miliki menjadi sirna karena tradisi berdongeng atau membacakan hikayat oleh orangtua pada anak-anak sudah digantikan oleh TV dan media elektronik yang lain. Cerita sebelum tidur yang banyak dilakukan oleh orangtua zaman dulu sudah terkikis sehingga banyak anak-anak yang akhirnya tertidur di depan TV.

Selain itu, orangtua mesti juga tampil menjadi orang-orang yang mencintai buku dan gemar membaca, sehingga bisa disaksikan secara langsung oleh anak-anak. Pendekatan keteladanan semacam ini tentu memiliki efek yang lebih dalam dibandingkan dengan hanya menyuruh anak-anak untuk belajar, sementara situasi dalam keluarganya sama sekali tidak mendukung proses tersebut. Bahkan tidak jarang, orangtua ‘bertengkar’ dengan anak-anaknya karena berebut remote TV, untuk dapat menonton acara kesukaan masing-masing. Bagaimana ajaran dan seruan orangtua akan didengar oleh anak-anaknya jika mereka sendiri tidak memberikan contoh yang baik dan kongkrit.

Mengembalikan anak-anak kepada dunia buku merupakan hal mendesak yang tidak bisa ditawar dan ditunda lagi. Semakin dini kita memulai semakin banyak yang bisa kita selamatkan. Sebab, apa yang mereka dengar, saksikan, dan alami di masa kanak-kanak akan menjadi hipnoterapi bagi mereka. Ini amat penting disadari, sebab 88% perilaku seseorang digerakkan oleh alam bawah sadarnya. Sedangkan alam bawah sadar ini tersusun dari rekaman masa lalu.

Saatnya kita semua, terutama para orangtua, menyelamatkan bangsa ini dengan memberikan yang terbaik bagi calon penerus bangsa: anak-anak. Yang penting, bukan seberapa lama kita mendampingi mereka untuk mencintai buku, tetapi sebarapa besar komintmen dan  konsistensi kita dalam melakukannya. Ini semua kita lakukan karena kita mencintai dan menghormati aset negara yang tak ternilai tersebut dan ingin menjadikan mereka sebagai manusia yang sesungguhnya. Manusia yang manusiawi. Bukan manusia yang menjadi predator bagi manusia yang lain.[]

Abdul Wahid

Pendidik di  INSTIKA Guluk-guluk Sumenep;