Tokoh  

Abah Junaedi, Sosok Populer yang Rendah Hati

Media Jatim

MediaJatim.com, Jember-KH Junaedi Al-Baghdadi, nama lengkapnya. Tokoh yang satu ini dikenal dengan gaya dakwahnya yang humoris. Bahkan saat mengisi pengajian, tak segan-segan ia melantunkan sebuah lagu untuk menghibur sekaligus ‘menuntun’ jamaah. Pilihan lagu itu biasanya disesuaikan dengan tema ceramah yang tengah dikupas.

Lelaki yang akrab disapa dengan Abah Junaedi itu tergolong sosok yang rendah hati. Ini bisa dilihat dari kehidupananya sehari-hari, dan caranya bergaulnya yang tidak eksklusif. Pintu rumahnya selalu terbuka untuk siapapun dan dari kalangan manapun.

Satu lagi yang menjadi ciri khas Abah Junaedi, yaitu kedermawanannya, baik kepada orang di sekitarnya maupun tamunya yang datang.

“Saya memohon kepada Allah agar bisa menjadi ‘kran’ bagi orang lain,” tukasnya.

Abah Junaedi dikenal sebagai pimpinan majelis manaqiban Syekh Abdul Qadir Jaelani di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Setiap Sabtu malam, ia menggelar dzikir (manaqiban) di kediamannya, Pesantren Al-Baghdadi, Dusun Kelor, Desa Amansari, Kecamatan Rengasdengklok. Namun malam Sabtu kliwon merupakan ‘puncak’ manaqiban tersebut, yang dihadiri ribuan jamaahnya. Mereka datang tidak hanya dari Jakarta dan sekitarnya, tapi juga dari Lampung, Kalimantan dan sebagainya.

Baca Juga:  Durhan, Doktor ke-587 di UIN Sunan Ampel Surabaya

Kendati dikerubuti ribuan jamaah, Abah Junaedi tak pernah menepuk dada. Apa yang dilakukannya terkait dengan manaqiban, sama sekali bukan diniatkan untuk mengejar popularitas ataupun keramat (kehormatan). Menurutnya, keramat itu datang dari Allah, tidak bisa direkayasa. Siapapun yang mengejar keramat, akan hancur dengan sendirinya.

“Demi Allah kalau apa yang saya lakukan ini untuk mengejar keramat, mudah-mudahan ilmu saya dicabut oleh Allah,” tegasnya.

Tokoh kelahiran Jember, 15 Agustus 1970 itu memang type orang yang tidak gila hormat. Ia tidak mau dihormati secara berlebihan dan tidak suka menghormati orang berlebihan.

Menurutnya, menghormati guru adalah suatu keharusan sebagaimana menghormat orang lain juga. Tapi jika penghormatan itu sudah mengarah kepada kultus individu, itu sangat ia tentang.

“Saya tidak melarang orang menghormati saya, tapi jangan belebihan. Saya juga wajib menghormati guru saya, tapi tidak boleh berlebihan, apalagi sampai dikultuskan. Yang wajib dikultuskan adalah Allah dan Rasul-Nya,” jelasnya.

Baca Juga:  Pemberdayaan Petani, Obsesi Panjang Sang Aquarius

Bicara popularitas, Abah Junaedi-lah orangnya. Tamu-tamu yang datang yang ke rumahnya, selain rakyat biasa, juga banyak dari kalangan berpunya. Mulai dari kalangan artis, hingga pengusaha dan pejabat tinggi negara, sering mengunjungi kediamannya. Abah Juanedi kerap dipanggil Presiden Jokowi. Sudah tak terhitung berapa kali ia datang ke istana negara untuk menghadap sang presiden. Begitu juga sebaliknya, Presiden Jokowi pernah mengunjungi rumahnya.

“Tapi saya tidak pernah memanfaatkan kedekatan saya dengan Pak Presiden. Saya tidak pernah minta apa-apa. Dikasihpun tidak mau,” jelasnya.

Apa yang dipertontonkan Abah Junaedi adalah sebuah sikap yang layak ditiru. Ia tidak memakai jurus aji mumpung dalam berhubungan dengan pejabat tinggi negara. Demikian juga dengan orang lain, Abah Junaedi juga tak berkenan mamanfaatkan kecuali dalam posisi simbiosis mutualisme. Itulah Abah Junaedi.

Reporter: Aryudi AR

Redaktur: A6

Respon (1)

Komentar ditutup.