Opini  

Nyalase, Tradisi Ziarah Kubur Ala Orang Madura Saat Lebaran

Media Jatim

Oleh: Gafur Abdullah*

Sebagai bagian dari Indonesia yang dikenal kaya akan tradisi dan budayanya, Madura memiliki tradisi yang begitu unik. Mungkin, bicara budaya Madura, orang menyebutnya karapan sapi, sapi sonok, saronen dan lainya. Sedang tradisi salah satunya adalah rokat tase’ yang dilakukan masyarakat pesisir.

Bicara tradisi Madura di momentum hari raya idul fitri dan idul adha atau tellasan kata orang Madura, ada tradisi ziarah kubur. Orang Madura menyebutnya Nyalase. Tradisi ini biasanya dilakukan seusai melaksanakan shalat id. Ada yang melakukan bersama-sama sekampung, ada yang hanya keluarga besar, dan ada yang melakukan bersama keluarga kecilnya bahkan lintas kampung dan lintas desa. Tapi dengan catatan, masyarakat yang mengikuti tradisi di satu pekuburan itu memiliki family yang meninggal dan dikuburkan di sana.

Nyalase ini dilakukan masyarakat NU kultural dan struktural. Terlebih masyarakat NU yang tinggal di pedesaan. Tapi tidak semuanya melakuan tradisi nyalase ini.

Saya menjadi saksi sekaligus mengikuti pelaksanaan tradisi ini di dusun Bates, desa Ragang, Kec. Waru, Kab. Pamekasan yang tak lain tanah kelahiran penulis.

Pelaksanaan Tradisi Nyalase

Bagi masyarakat Ragang, nyalase ini dilakukan secara bersamaan. Biasanya, dikomandani tokoh agama yang sekaligus menjadi imam shalat id di masjid setempat. Jika ada yang kejauhan, mereka tetap melaksanakan tapi dengan cara menyusul.

Tidak ada aturan mengikat bagi masyarakat untuk melakukan tradisi ini. Kata orang Madura, Sakencengah (Bebas) mengikuti atau tidak.

Dari sisi tujuan, nyalase ini sejatinya tak ada bedanya dengan ziarah kubur yang dianjurkan oleh agama Islam. Jelas, dalam salah satu sempalan sabda nabi adalah tujuannya untuk mengingat mati dan mendoakan ahli kubur.

Baca Juga:  Jokowi-Ma’ruf Amin, Interpretasi Umara dan Ulama?

Dalam pelaksanaan nyalase ini, rentetan kegiatannya berbeda dengan Ajhiyân Makam (mengaji di tengah pekuburan). Bedanya adalah; Ajhiyân Makam dilakukan khataman Qur’an yang dibaca secara bergantian dengan dibagi-bagi tiap jusnya, dipungkasi dengan makan bersama. Sedang pada tradisi nyalase ini hanya yasinan dan tahlilan.

Dari sisi waktu, Ajhiyân Makam dilakukan pada saat masyarakat yang umumnya berprofesi sebagai petani tidak sedang sibuk dengan bercocok tanam Khususnya padi. Biasanya, dilaksanakan pada saat padi sudah mulai mengandung atau bakal buah. Sedang nyalase ini dilaksanakan seusai shalat id.

Pada Ajhiyân Makam, hanya dilaksanakan para kaum adam. Kaum perempuannya hanya datang pada saat akhir acara untuk membawa nasi sekaligus mempersiapkan makan bersama. Kehadiran perempuan pada tradisi nyalase ini beda. Perempuan datang bersamaan dengan kaum lelaki. Yasinan dan tahlilan bersama. Yasinan tahlilan selesai, mereka pulang bersama-sama.

Hilmah Nyalase

1. Membaca Quran

Membaca Qur’an (yasinan) di sekitar pekuburan memang tak ada anjuran dalam Islam. Namun demikian, dalam tulisan ini saya mencoba memberikan penjelasan-dengan keyakinan- bahwa, insyaallah juga akan mendapat pahala dari membacanya. Kaitannya dengan konteks keindonesiaan, pembacaan surat yasin pada tradisi ini bagian dari Islam Nusantara. Dengan harapan, warga kubur mendapat barokah dari yasinan itu.

2. Tahlilan

Tak asing lagi, tahlilan sudah menjadi ciri khas Islam Nusantara. Di kalangan organisasi keislaman, Nahdlatul Ulama adalah penjaganya. Sebagian besar, masyarakat Madura yang melaksanakan tradisi ini adalah masyarakat NU. Baik secara struktural maupun kultural.

Baca Juga:  Warna NU dalam Kekuasaan

3. Ziarah Kubur

Sepenggal sabda Rasulullah adalah, orang yang paling atau bisa dikatakan cerdas apabila sering mengingat kematian. Dalam pemahaman sederhana, orang yang datang ke pekuburan pasti ingat bahwa yang dalam kuburan itu pernah hidup. Ia pasti sadar, besok, lusa atau waktu yang ajal memang tak ada yang tahu ia pasti meninggalkan dunia ini.
Dalam konteks nyalase ini, dapat dipahami bahwa tradisi menjadi salah satu cara masyarakat yang melaksanakan agar cerdas dengan mengingat kematian itu.

4. Silaturahim Tetap Terjalin

Menjalin atau menjaga tali silaturahim adalah kewajiban umat Islam. Tak hanya seagama, dengan pemeluk agama lain pun wajib menjalin silaturahim itu. Namun dalam garis kemanusiaan. Sayyidina Ali Bin Abi Tholib berkata, “Saudara manusia ada dua. Satu dalam hal keagamaan. Dua dalam hal kemanusiaan”.

Dari kutipan petuah Pintu Ilmu sekaligus menantu Rasulullah itu dapat dipahami bahwa, kita wajib menjaga tali silaturrahim ini agar tidak putus.

Nyalase, juga bagian dari menjaga silaturahim ini. Pasalnya, pada pelaksanaan tradisi ini hampir semua orang satu kampung bahkan lintas desa, berkumpul berbaur dalam acara ini.

Pamekasan, Idul Fitri 1440 H.

*) Penulis freelance di berbagai blog dan website plus penyuka tradisi dan kebudayaan Indonesia. Lahir di tanah Pulau Garam. Mahasiswa akhir IAIN Madura.