Oleh: Imam Khuroydi*
Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi yang selalu mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya, hal tersebut telah dijamin oleh negara dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Namun saat ini demokrasi Indonesia lagi-lagi dihebohkan dengan dibentuknya sebuah peraturan baru yakni, Omnibus Law, setelah beberapa saat yang lalu sistem demokrasi juga tengah heboh oleh adanya pembaharuan RUU KUHP, KPK, Pertanahan, dan PKS yang telah diperdebatkan oleh berbagai lapisan masyarakat. Situasi tersebut menggiring opini positif dan negatif, namun tidak sedikit masyarakat yang berpendapat bahwa era transisi ini belum bisa menjamin sistem demokrasi yang seadil-adilnya dengan peraturan-peraturan baru yang dibentuk, yang ada malah menimbulkan gejolak ditengah-tengah masyarakat, khususnya mengenai RUU Cipta Lapangan Kerja yang tidak henti-hentinya diperbincangkan saat ini. Omnibus Law, RUU Cipta Kerja masih dipertanyakan akankah membawa berkah atau malah celaka.
Tercetusnya Omnibus Law bertujuan untuk menghilangkan adanya tumpang tindih peraturan-perturan yang berlaku sebelumnya karena Omnibus Law bersifat sebagai satu-satunya rujukan, tidak heran jika peraturan ini disebut-sebut sebagai UU sapu jagad karena kekuatan yang dimilikinya dapat menyapu dan menenggelamkan atura-aturan sebelumnya. Beberapa hal yang menjadi perdebatan dan disorot dalam isi Omnibus law ini diantaranya ialah mengenai dipermudahnya investor memasuki Indonesia, mengenai RUU Cipta Lapangan Kerja (UU CILAKA), RUU Perpajakan, dan RUU UMKM yang setelah dikaji malah menimbulkan berbagai kontrovensi dari berbagai lapisan masyarakat. Bahkan dikutip dari pemberitaan CNN Indonesia, keberadaan Omnibus Law ini telah menuai kritik dari pakar hukum tata negara, praktisi hukum, hingga pegiat HAM. Salah satunya ialah Muhammad Isnur yang menengarai bahwa Omnimbus Law telah menghilangkan unsur perlindungan hak-hak sipil negara.
Yang menjadi sorotan kali ini ialah rancangan UU Cipta Lapangan Kerja yang dianggap menggelar karpet merah bagi para penguasa atau investor. Beberapa isi UU Cilaka yang kontroversi diantaranya ialah Pasal 89 angka 9 dan 12 yang menerangkan bahwa sistem kerja kontrak bisa diterapkan pada semua jenis pekerjaan dan tanpa Batasan waktu, Pasal 89 angka 16 dan 17 yang mengatur mengenai pembatasan outsourcing dihilangkan, artinya outsourcing diperbolehkan tanpa batasan jenis pekerjaan dan tanpa batasan waktu, Pasal 89 angka 18 yang berbunyi perlindungan pekerja outsourcing beralih ke vendor, padahal keputusan MK di peraturan sebelumnya berbunyi bahwa terdapat dan harus ada pengalihan perlindungan pekerja outsoucing kepada perusahaan pemberi kerja, Pasal 89 anngka 20 dan 21 yang berisi perusahaan sektor tertentu dapat menetapkan jam kerja melebihi 8 jam kerja per hari dan batas maksimal waktu lembur yang ditingkatkan menjadi 4 jam perhari dan 18 jam perminggu. Hal ini telah menentang batasan jam kerja yang telah ditetapkan International Labour Organization (ILO), yakni 48 jam perminggu, agar tidak membahayakan kesehatan para pekerja. Serta Pasal 89 angka 22 yang tertulis bahwa kewajiban perusahaan untuk memberikan istirahat 2 hari per minggu untuk pekerjaan yang dilaksanakan selama 5 hari perminggu dihilangkan.
Pro dan kontra masyarakat terjadi dalam mencerna keberadaan UU Cilaka tersebut, beberapa perspektif menilai ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan didalamnya, pihak yang dianggap diuntungkan melalui peraturan ini adalah para investor penguasa, sedangkan yang dirugikan adalah masyarakat sipil khususnya para buruh dan pekerja swasta lainnya. Hal ini dipicu karena isi UU Cilaka Omnibus Law memberi ruang kenyamanan yang besar bagi para investor serta dapat mengurangi banyak ongkos produksi, sedangkan bagi pekerja hal tersebut merugikan. Banyak hak-hak pekerja yang tercabut seperti dimudahkannya proses PHK, upah dihitung perjam seakan buruh adalah mesin produksi, dihapuskannya cuti-cuti khusus, serta sistem kerja kontrak yang membuat para buruh merasa terancam karena hilangnya berbagai jaminan social mereka. Tidak hanya itu beberapa pasal dalam draf Omnibus Law yang memudahkan pembuatan usaha juga menyiratkan diperbolehkannya mengabaikan isu sosial, lingkungan, dan budaya. Hal inilah yang memicu kontroversi dan kekhawatiran masyarakat.
Keberadaan Omnibus Law di era transisi ini, membawa sebagaian besar masyarakat selaku rakyat Indonesia berifikir bahwa elit politik telah melakukan pembatasan terhadap hak-hak sipil. Pemerintah bicara masalah menarik peningkatan investasi, tapi malah mereduksi kesejahteraan buruh. Elit politik nasional dianggap telah melakukan hal serupa yang dilakukan oleh Francis Fukuyama yakni menerapkan patrimonialisme dan patron-clientalisme, yang artinya penerapan sistem politik yang hanya mementingkan pada sentralitas elit dan mengabaikan aspirasi publik khususnya rakyat selaku pemegang kekuasaan tertinggi. Sikap yang seolah mengesampingkan rakyat inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan besar tentang ada apa dengan system demokrasi kita ini? Kenapa kualitas demokrasi kian menurun? Mau dibawa kemana arah demokrasi kita? Apakah sistem demokarsi kita akan kembali pada sistem yang bersifat otoritarianisme atau menuju pada demokrasi partisipasitoris yang memang menjadi tujuan Indonesia sebenarnya. Maka, kejelian para elit politik akan menjadi salah satu kuncinya.
*) Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang.