Bupatiku Sayang, Bupatiku Malang

Media Jatim

Oleh: Moh. Jufri Marzuki

Suatu ketika di sebuah acara yang digelar oleh Yayasan sebuah Lembaga Pendidikan, hadir pasangan Bupati-Wakil Bupati Pamekasan terpilih yang baru saja dilantik; ASRI (Achmad Syafi’e dan Khalil Asy’ari). Sebuah pasangan yang benar-benar serasi karena sama-sama berlatar belakang santri dan hasil didikan para kiai yang selama ini dianggap suci.

Di sela-sela sambutannya, Ketua Yayasan mengatakan, bahwa acara tersebut adalah seremonial tahunan yang dikemas dengan nama Haflatul Imtihan, sekaligus tasyakuran atas terpilihnya pasangan Bupati-Wakil Bupati Pamekasan yang baru. Maklum, pemilik yayasan tadi merupakan Tim Sukses yang berperan penting dan sangat berpengaruh dalam mengantarkan keduanya pada puncak kemenangan, menjadi nakhkoda pemerintahan di Kabupaten Pamekasan.

Acara sambutan selanjutnya, Bapak Bupati Achmad Syafi’e dipersilahkan menaiki panggung oleh MC. Auranya begitu kuat memikat. Gaya dan penampilannya sangat sederhana, namun tetap elegan. Cara ia berpakaian, lebih mengesankan sosok seorang santri dari pada bupati yang dalam segala hal sangat birokratis. Sepintas, ia terlihat mewakili kaum sarungan yang layak menyandang citra teladan yang terhormat, daripada gelar tersangka dari sebuah kasus suap yang tak bermartabat.

Sepanjang sambutannya, sering terdengar riuh tepuk tangan para audien yang terdiri dari para tokoh agama, aparat desa, para wali murid dan seluruh warga masyarakat sekitar lokasi, tak terkecuali saya yang pada waktu itu hadir sebagai undangan. Begitu ramai, masyarakat berdatangan ingin melihat sosok bupati mereka yang baru dari jarak dekat. Apresiasi masyarakat begitu dahsyat.

Angin segar kepemimpinan baru mengabarkan sebuah harapan akan Pamekasan yang lebih baik, bebas korupsi, pemimpin yang mampu menyambung aspirasi dan tentunya, apa yang ia sampaikan saat itu bukanlah sekedar basa-basi.

Betapa tidak? Demi meyakinkan hadirin waktu itu, di tengah-tengah sambutannya, ia meminta Wakil Bupati juga untuk berkenan mendampingi, menaiki panggung. Sambil bergandengan tangan, keduanya meyakinkan masyarakat setempat bahwa tidak ada tanda-tanda perilaku koruptif pada sosok pemimpin baru di Pamekasan itu. Salah satunya adalah dengan mempersilahkan mengamati secara fisik bentuk tubuh dua sosok pimpinan mereka yang sama-sama kurus, jauh dari ciri-ciri seorang koruptor (apa lagi aktor intelektual dari sebuah kasus penyuapan).

****

Tiga hari lalu tiba-tiba banyak bersliweran foto-foto dan link berita online masuk ke smartphone saya. Isinya: penangkapan Achmad Syafi’e selaku Bupati Pamekasan oleh KPK. Ia terlibat kasus suap terhadap Kajari di kabupaten berjuluk Kota Gebang Salam ini.

Pemberitaan di koran dan televisi pun mulai ramai. Tidak hanya di media lokal, media pemberitaan nasional juga banyak yang menempatkannya sebagai Trending Topic dan Headline News. Dari pemberitaan tersebut diketahui, Bahwa awalnya, hanya kasus kecil dari proyek pemasangan paving di sebuah desa bernama Dasok, Kecamatan Pademawu  bernilai 100 juta Rupiah. Alokasi proyek tersebut dari Dana Desa yang dikucurkan langsung oleh pemerintah pusat.

Baca Juga:  Piala Menpora, Madura United Bawa 30 Pemain

Karena dianggap kurang layak dan dinilai menyimpang, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang tidak ‘berplat merah’ dengan heroik mengadukan proyek tersebut ke Kejaksaan. Sebagai lembaga yuridis, laporan tersebut ditindak lanjuti dengan tindakan pengusutan terhadap oknum Kepala Desa terlapor sebagai pengelola dana.

Demi menyelamatkan kasus, datang kemudian ‘uang penolong’ sejumlah 250 juta Rupiah berbungkus tas plastik warna hitam yang dibawa oleh oknum Kepala Desa untuk diserahkan kepada Kepala Kejaksaan melalui Kepala Inspektorat. Belum jelas uang itu dari siapa dan untuk tujuan apa.

Namun hampir semua media menyimpulkan bahwa itu uang suap. Bupati Syafi’e pun harus masuk dalam deretan pertama orang yang dibawa KPK bersama orang-orang yang terlibat lainnya. Usut punya usut, aksi usaha penyuapan itu terjadi atas saran dari Bapak Bupati.

Sungguh tidak habis pikir. Besar uang suap yang disarankan jauh lebih besar dari nilai proyek yang bila dipandang dari kalkulasi hukum dan sampai melibatkan KPK, sungguh tidak seberapa besarnya; kasus Proyek paving yang hanya 100 juta Rupiah, disuap dengan uang ‘sumbal’ sebesar 250 juta Rupiah.

Dari sini, ada pesan moral yang patut kita simak agar bisa belajar. Bahwa ide, gagasan, inisiatif dan termasuk pula saran adalah sumber dari segala aksi perbuatan. Hanya saja dalam aksi yang bermuatan kriminal, penggagas dapat diketahui belakangan setelah melakukan investigasi dan introgasi terhadap pelaku kejahatan. Maka sebagai aktor di balik layar, seorang inisiator adalah pelaku absurd, namun orang yang paling bertanggung jawab secara hukum. Meski terkadang ia sendiri tidak menikmati hasilnya.

****

Tidak hanya yang mecibir dengan hinaan dan caci maki, gelombang simpati dari kalangan yang lebih manusiawi juga mengalir tanpa henti. Arif dan bijaksana menyikapi keadaan, membuat mereka tidak semudah itu cepat menilai hitam-putih dengan gegabah dan tergesa-gesa. Khilaf, salah dan dosa adalah manusia tempatnya. Siapapun dan apa pun jabatannya, tidak akan bisa lari dari fitrahnya sebagai makhluk yang diciptakan penuh dengan kelemahan. adakalanya cara yang ditempuh salah, meski terkadang tujuannya maslahah.

Saya jadi teringat komentar Ra Momon (sapaan akrab bagi Bupati Bangkalan, Maimun Fu’ad) saat diwawancarai oleh wartawan sebuah koran terbesar di Jawa Timur. Ketika ditanya bagaimana perasaannya sebagai seorang anak, melihat ayah tercinta digelandang oleh KPK karena kasus korupsi, ia menjawab, “saya yakin apa yang dilakukan abah adalah demi kebaikan Kabupaten Bangkalan pada umumnya, dan masyarakat Bangkalan pada Khususnya”.

Bisa jadi, begitu pula dengan yang dilakukan Bupati Pamekasan. Demi nama baik Pamekasan di mata publik, membuat ia tidak mampu mengendalikan sisi lemah kemanusiannya sehingga harus menempuh jalan pintas, meski harus menabrak pagar hukum yang jelas-jelas terlarang.

Baca Juga:  Diduga Konflik Pilkades 2023, Tiga Warga Bangkalan Madura Dibacok di Jalan Raya

Apalagi jika dikaitkan dengan tertangkapnya Kades Blumbungan dan Branta Tinggi karena kasus penyalahgunaan Raskin beberapa waktu lalu, sehingga harus berakhir dengan pencopotan jabatan keduanya. Pastinya, semua Bupati akan menderita malu karena perilaku oknom Kades nakal yang tentunya telah mencoreng nama baik Pamekasan di mata publik pada umumnya dan di mata hukum pada khususnya.

Kini, nasi sudah menjadi bubur. Tajamnya senjata sudah terlanjur menikam tuannya hingga berdarah-darah. Maksud hati agar nama Pamekasan tidak terlalu menyisakan citra buruk pada akhir-akhir masa jabatannya, malah mengantarkan Bapak Bupati Pamekasan harus meringkuk dalam sel tahanan KPK.

Biarlah ia menjalani hari-harinya sebagai seorang tersangka, tanpa ujaran kotor, caci maki dan hinaan yang tiada terperi dari rakyatnya, agar proses hukum dapat ia jalani dengan baik, tenang dan bertanggung jawab. Jika sudah tiba waktunya hakim mengetok palu, mungkin sudah saatnya pula ia istirahat dari hiruk pikuk politik dan pemerintahan; menjalani hukuman ala pejabat negara.

Bagaimanapun, jasanya untuk Pamekasan juga telah begitu banyak dan tidak bisa dinafikan hanya karena takdir menjeratnya pada jurang gelap yang begitu dalam. Diakui atau tidak, ia adalah putera terbaik Pamekasan sepanjang karier yang ia jalani. Mulai dari awal ia menjadi wakil rakyat di DPRD Pamekasan, Mewakili Dapil Madura di Senayan, hingga menjabat Bupati yang ke dua kalinya. Semua untuk Pamekasan, tanah tempat ia dilahirkan. Kontribusinya untuk Pamekasan begitu nyata, tidak bisa dipandang sebelah mata. Pengabdian dan dedikasinya selama ini telah banyak memberikan inspirasi bagi para generasi muda.

Kehadiran dan kepergianya dari parlemen dulu, dan dari birokrasi saat ini memberikan ibrah.  Pertama, Prestasi dan kariernya selama ini telah banyak mengajarkan, bahwa semua orang bisa mempersembahkan yang terbaik untuk bangsa dan tanah kelahirannya dengan kegigihan, kerja keras, amanah dan bertanggung jawab. Yang kedua, kasusnya mengingatkan pada kita semua, bahwa tak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian, seperti apa yang pernah diwasiatkan oleh Alm. Gusdur. Sekeras apapun usaha manusia untuk mendapatkan jabatan, bagi Tuhan, untuk mengambilnya kembali hanya semudah membalikkan telapak tangan.

Apapun jabatannya, setiap manusia memiliki tugas sebagai pemimpin – sekecil apa pun sekopnya – di muka bumi ini. Selama seorang pemimpin mampu menjabat, selama itu pula Tuhan memberikan kepercayaan. Saat Kepercayaan rakyat mulai luntur dan memudar Tuhan tidak akan segan-segan mengambil jabatan itu kembali. Karena sesungguhnya, suara rakyat adalah suara Tuhan. Wallahu a’lam.

 

*) Penulis adalah Alumni PP. Annuqoyah Latee, tinggal di Dusun Nyalaran-Blumbungan, Pamekasan.