Neymar, Kelincahan Politik Qatar

Media Jatim

Akhirnya Neymar berlabuh di Paris Saint-Germain (PSG). Kepindahan pemain Timnas Brazil tersebut mendapat sorotan publik di seantero dunia. Ia memecahkan rekor sebagai pemain sepakbola termahal di dunia. Bayangkan, harga Neymar mencapai nilai setara Rp 3,4 triliun.

Sepakbola telah menjadi industri yang makin tidak masuk akal bagi sebagian orang. Bayangkan, harga seorang Neymar saja bisa melebihi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekitar 30 negara. Somalia baru merilis APBN mereka, yang jumlahnya masih di bawah harga transfer seorang Neymar. Terlalu!

Kenapa harga jual Neymar melambung tinggi? Patutkah seorang Neymar dibeli dengan harga setinggi langit? Adakah alasan lain dari sekadar keinginan PSG untuk menaikkan pamornya di Eropa, bahkan di dunia?

Ya, sepakbola sudah menjadi industri yang menggiurkan, dan pastinya menguntungkan. Tahun lalu, misalnya, Manchester United (MU) membeli Paul Pogba dengan harga yang sangat fantastis. Buktinya, MU bukan malah bangkrut, tapi justru menjadi salah satu tim yang secara finansial masih bertengger di papan atas.

PSG sudah menghitung secara detail untung-rugi pembelian Neymar. Sejak diumumkan sebagai pemain PSG, penjualan Jersey Neymar dalam sehari bisa mencapai Rp 156 miliar. Euforia yang terus menggelinjang di Paris, bahkan Eropa dan dunia, pasti makin menaikkan pamor PSG. Neymar dan para pemain PSG juga termotivasi untuk menjadi kampiun dalam pentas Eropa di Liga Champion musim 2017-2018.

Di balik angka penjualan Neymar yang begitu fantastis itu jelas menimbulkan tanda-tanya dari sekadar ambisi untuk menaikkan prestasi PSG di pentas Eropa. Ada sesuatu yang tidak biasa. Artinya, ada hal yang luar biasa di balik melambungnya harga jual Neymar.

Pasalnya, pemilik PSG adalah Qatar Sport Investment, yang dimotori oleh Nasser al-Khelaifi. Kita sama-sama tahu bahwa saat ini Qatar mendapat perhatian dunia pasca jatuhnya sanksi politik dari Arab Saudi yang didukung oleh beberapa Negara Teluk lainnya, seperti Uni Emerat Arab, Bahrain, dan Mesir. Negara-negara tersebut memutuskan hubungan politik dengan Qatar dan menutup akses ke Qatar, baik melalui jalur udara, laut, maupun darat.

Baca Juga:  Sulaisi Duga Ada Manipulasi Akta Kematian Pewaris untuk Terbitkan SHM 02988 Bahriyah

Anehnya, Arab Saudi dan beberapa Negara Teluk lainnya menyodorkan sejumlah klausul kepada Qatar sebagai prasyarat untuk mencabut sanksi politik. Di antaranya, meminta Qatar agar menutup jaringan televisi al-Jazeera dan al-‘Araby al-Jadid, memutus hubungan diplomatik dengan Iran, membatalkan pangkalan militer Turki di Qatar, membayar uang ganti rugi atas kebijakan luar negeri Qatar yang telah mengancam negara-negara tetangga, serta memberikan informasi yang lengkap dan menyerahkan para oposisi/buronan politik yang tinggal di Qatar.

Tentu saja persyaratan tersebut sangat tidak masuk akal. Qatar memilih untuk tetap berada pada posisi politiknya, yaitu menganggap beberapa persyaratan di atas sebagai intervensi terhadap kedaulatan negara penghasil gas terbesar di dunia itu. Sikap tegas Qatar didukung sepenuhnya oleh Turki dan Iran. Bahkan kedua negara ini menyuplai makanan dan kebutuhan pokok lainnya yang selama ini disuplai dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Kisruh hubungan Qatar dan Arab Saudi semakin tidak menentu saat Arab Saudi menolak maskapai Qatar Airlines mendarat di Arab Saudi pada musim haji tahun ini. Arab Saudi meminta kepada jemaah haji asal Qatar agar menggunakan pesawat negara lain.

Pihak Qatar keberatan dengan kebijakan Arab Saudi karena tidak mudah untuk mengubah pesawat yang akan mengangkut jemaah haji asal Qatar ke maskapai penerbangan negara lain. Pihak Qatar memandang Arab Saudi sengaja untuk menjadikan ibadah haji sebagai “kartu politik” untuk menekan Qatar. Di samping itu, Qatar juga memikirkan perihal pelayanan dan keselamatan warga Qatar yang menunaikan ibadah haji. Karena itu, pihak Qatar memutuskan untuk tidak memberangkatkan jemaah haji pada tahun ini.

Sikap Qatar tersebut menunjukkan kedaulatan Qatar sebagai negara yang tidak mudah didikte oleh Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya, termasuk Mesir. Qatar sekarang bukan Qatar di masa lalu. Sekarang Qatar mempunyai media dan uang sebagai instrumen diplomasi dengan negara-negara adidaya. Artinya, Qatar tidak akan tunduk pada gertakan Arab Saudi. Qatar tidak bisa lagi didikte oleh Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya.

Baca Juga:  Skuad Brasil di Piala Dunia 2022: Lini Serang Tanpa Firmino dan Countinho

Oleh sebab itu, Qatar terus melakukan manuver dalam rangka menjadikan pengepungan dari Arab Saudi dan negara-negara Teluk sebagai kesempatan untuk menunjukkan eksistensi dan kedaulatan politiknya. Salah satu yang mencolok adalah kepindahan Neymar dari Barcelona ke PSG.

Ishaan Tharoor dalam tulisannya di The Washington Post berjudul The Global politics of the Biggest Story in Soccer menggarisbawahi pembelian mahal Neymar oleh Qatar Sport Investment sebagai bukti kepercayaan diri dan kedigdayaan Qatar. Artinya, Qatar tidak akan jatuh bangkrut meski diisolasi secara politik oleh Arab Saudi dan negara-negara tetangga lainnya.

Qatar yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia pada 2022 ingin membuktikan pada Arab Saudi dan negara-negara tetangganya bahwa dirinya masih kokoh, terutama secara finansial. Dengan uang yang melimpah, Qatar bisa membeli senjata dari Amerika Serikat dan menjadikannya sebagai kartu politik, termasuk mengukuhkan hubungan bilateral dengan Turki dan Iran.

Simon Chadwick, salah seorang guru besar dalam bidang olahraga dari Universitas Salford, Inggris memandang pembelian Neymar sebagai serangan balik yang sangat menawan yang dimainkan Qatar kepada lawan-lawan politiknya. Ini semacam cara halus Qatar dalam rangka menaikkan pamor Qatar di pentas dunia internasional.

Semua orang tahu, bahwa di balik pembelian Neymar yang sangat mahal itu ada intervensi rezim Qatar. Menurut Arsene Wenger, pelatih Arsenal, pembelian Neymar yang sangat mahal dan tidak masuk akal itu hanya bisa dilakukan oleh sebuah klub yang dimiliki oleh sebuah negara.

Maka dari itu, mau tidak mau, Neymar telah menjadi “kartu politik” Qatar di tengah perseteruan politik yang terus memanas. Tak pelak lagi, kelincahan Qatar dalam memainkan politik di Timur Tengah ibarat Neymar yang lincah memainkan bola bundar di lapangan hijau. Karenanya, gonjang-ganjing politik di Timur Tengah semakin menarik untuk diikuti. Skor sementara 3-0 untuk Qatar atas lawan-lawan politiknya di Teluk.

*Zuhairi Misrawi intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur Tengah The Middle East Institute

Sumber Artikel & Foto: Detik