Oleh: Moh Jufri Marsuki *)
Baru-baru ini, sempat viral di media. Video seorang guru yang tak lagi muda, memberikan pengakuan akan gaji yang ia terima setiap bulannya, setelah mengabdikan jiwa raga untuk pendidikan selama 40 tahun lamanya. Pengakuan pahlawan tanpa tanda jasa ini sempat menguras air mata. Bagaimana tidak, 500 ribu adalah jumlah gaji beliau yang didapat dari dua SD tempat ia bekerja.
Juga tak kalah hebohnya, seorang guru merekam lewat video uang gaji yang ia keluarkan dari amplop ; sekecil 35 ribu rupiah, lalu diunggah ke media. Meski diiringi dengan ungkapan syukur dan tabah, tapi tak mampu membendung rasa haru para netizen yang diungkapkan dengan berbagai macam komentar dan pujian.
Kegagalan seorang guru honorer di Kalimantan dalam seleksi P3K Juga sempat menjadi trending topik di media. Pasalnya, kegigihannya dalam mengentaskan kebodohan di negeri ini tak mampu mengantarkannya meraih kesejahteraan hidup melalui ujian seleksi P3K, hanya karena keawamannya saat berhadapan dengan komputer di ruang ujian. Padahal ia harus menempuh jarak yang begitu jauh, menyeberang sungai yang dalam, luas dan deras, demi bisa sampai ke kota, tempat ujian dijadwalkan.
Tiga cerita di atas, hanyalah sebutir kisah di tengah lumbung penderitaan para pendidik lainnya. Sebuah potret buram dari sekian fenomena nyata ketidak adilan kebijakan pendidikan di negeri kita.
Ketimpangan kebijakan untuk para pengajar di sekolah negeri dan swasta, adalah salah satu contoh nyata ketidakmampuan pemerintah, untuk berdiri di atas semua golongan para pendidik di sekolah. Sehingga, masih ada gap yang rentangnya sangat jauh ; antara guru sekolah swasta dengan guru sekolah negeri.
Memang, banyak sekolah swasta bonafide yang mampu menyejahterakan gurunya. Biasanya di perkotaan, atau bisa juga di lingkungan Pondok Pesantren. Selain karena jumlah siswanya yang banyak, juga kwalitas pendidikannya yang berimbang dengan mahalnya nominal uang pendaftaran, SPP dan uang gedung yang ditarik. Kecuali di pesantren, yang memang dikenal sangat minim menarik biaya.
Para guru di sekolah itu, juga dapat dengan mudah mendapat kesempatan untuk mendapat sertifikasi. Tentunya karena banyaknya lokal kelas yang harus diampu, memungkinkan untuk mengumpulkan jumlah jam mengajar hingga 24 jam sesuai ketentuan.
Namun lain halnya dengan guru sekolah swasta yang non pesantren, terutama di pedesaan. Peserta didiknya dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Semuanya serba digratiskan. Keberadaan Yayasan tidak mampu menopang keuangan sekolah. Gaji guru setiap jam ngajarnya hanya cukup untuk ganti bensin. Kesempatan untuk meraih sertifikasi menjadi sempit. Minat pendidikan masyarakat yang rendah, hanya mampu menciptakan lokal ruang kelas yang sangat sedikit.
Kewajiban Sama, Hak Berbeda
Menyoal kesejahteraan guru di negeri ini, hanya akan semakin menguak tabir ketimpangan kebijakan pemerintah. Guru di sekolah swasta lebih dikenal dengan Guru Sukwan (Suka Relawan). Setiap bulan, tidak mendapat sentuhan gaji dari pemerintah. Haknya sebagai pendidik cuma diterima dari sekolah, sekedar pelepas dahaga dan lelah.
Guru di sekolah Negeri Keberadaannya lebih dihargai. Selain mendapat bayaran sesuai jam ngajar, ia juga memperoleh gaji pokok dari sekolah. Meski tidak mendapat gaji sebagai ASN, tapi masih mendapat honor dari daerah setempat. Sebagai contoh guru SMA Negeri, ia mendapat honor daerah dari pemerintah propinsi.
Pengabdian guru sekolah Negeri relatif lebih dihargai. Status keguruannya disebut Honorer. Jika ia bertahan dalam menekuni profesinya, maka akan masuk dalam daftar Waiting List untuk diangkat menjadi ASN. Tentunya diawali dengan status K1, K2, hingga K3.
Sedangkan guru Sukwan di sekolah Swasta, hanya bergantung kepada keberlangsungan lembaga. Pada akhirnya banyak yang harus mengubur dalam-dalam harapannya untuk bisa mencapai sertifikasi. Bagaimana tidak? Sekolah tempat ia bergantung, harus gulung tikar karena tak lagi bisa mendatangkan siswa.
Kalau pun tetap bertahan, masih dengan kondisi sekolah yang memprihatinkan. Jumlah beban jam mendidik tetap tidak mengantarkannya untuk mengikuti proses sertifikasi. Berhubung kemampuan sekolah untuk berkembang, dari tahun ke tahun, tetap seperti semula. Begitu-begitu saja. La yamutu wa la Yahya.
Menunggu Pasti hingga Mati
Disela-sela himpitan hidup sebagian besar guru swasta kita di pedesaan, ada protes guru-guru honorer di sekolah negeri yang sebenarnya sudah mampu hidup dalam kelayakan. Hanya karena tidak mendapat gaji dari pemerintah layaknya ASN, lalu melalui media pemberitaan berkeluh kesah.
Honor dari pemerintah daerah yang sudah cukup, ditambah lagi gaji dari sekolah yang bisa dibilang layak, masih saja dirasa kurang hanya karena tidak mendapat gaji ke tiga belas. Tunjangan lauk pauk, transport dan lain-lain juga masih mereka minta.
Sedangkan di ujung gelap sana, ironi nasib guru sukarelawan tidak pernah mendapat perhatian. Diam dalam keterpurukan, menjalani nasib tanpa ada pengaduan. Yang mereka tau, hanya ikhlas sebagai sukarelawan.
Andai pemerintah mau membuka mata, inilah realita pendidikan kita. Pendidik di negeri ini didominasi oleh pahlawan yang tak kenal tanda dan penghargaan jasa. Satu sekolah swasta rata-rata 1 banding 10, antara guru sukwan dan guru sertifikasi atau guru pegawai negeri.
Hingga saat ini, hal ini bukan rahasia lagi. Menjadi sukarelawan sejati mulai pertama mengabdi, hingga ajal menjemput mati. Mereka gugur dalam bakti, tanpa pernah tersentuh kebijakan yang berarti. Yang ada hanyalah syarat-syarat yang begitu rumit, sulit, bahkan terasa melangit. Sedangkan perjuangannya yang tak Terperi demi mencerdaskan anak negeri, seakan pekerjaan hina dengan bayaran lebih rendah dari pada kuli.
Sudah saatnya kebijakan pemerintah harus menggunakan pendekatan hati nurani. Agar tidak terjebak pada target angka, great dan ketentuan-ketentuan baku yang menyingkirkan aspek Ruhani. Keikhlasan, kerelaan, dan semangat juang para guru yang tak pernah tercover oleh kebijakan pemerintah, harus ditempatkan pada penilaian yang menghargai secara manusiawi. Mereka adalah manusia mulia yang tak pernah lelah memberi ilmu dan barokah. Nasib bangsa ini, ada ditangan mereka sebagai pencetak kader-kader penerus pemegang estafet penggerak, pembangun dan pemimpin negeri ini. Wallaahu a’lam.
*) Penulis adalah pemerhati sekaligus pemrihatin pendidikan, tinggal di Pamekasan.