Oleh: Ribut Baidi
Masa transisi kepemimpinan adalah hal lazim terjadi seiring perubahan kebijakan politik global yang berimplikasi terhadap ekonomi, politik, hukum, budaya, dan sosial dalam suatu negara. Perubahan kebijakan politik global tersebut berimbas kepada negara-negara di dunia, baik negara maju, negara berkembang, bahkan negara miskin sekalipun, sehingga para pemangku kepentingan negara-negara di dunia dituntut siaga dan peka untuk menata ulang manajemen pemerintahan di negaranya, termasuk kemungkinan transisi kepemimpinan dan amandemen konstitusi sebagai sebuah keniscayaan yang akan terjadi.
Belajar dari sebuah konsep yang diintrodusir oleh Richard W. Mansbach & Kristen L. Rafferty dalam buku Pengantar Politik Global (2012) menyatakan kebijakan politik global secara histroris akan menjadi hukum internasional dengan karakteristik tidak adanya kekuatan sentral di atas negara dan desentralisasi kekuatan dalam politik global akibat tiga hal yang sangat krusial. Pertama, tidak adanya kekuasaan legislatif dalam politik global untuk membuat aturan sebagaimana politik dalam negeri negara-negara di dunia, karena hukum internasional muncul dari adat-istiadat negara-negara dan perjanjian-perjanjian yang disepakati bersama. Kedua, tidak ada kekuatan eksekutif yang dapat menegakkan hukum internasional. Ketiga, tidak ada pengadilan independen dengan kewenangan untuk menafsirkan hukum semacam itu. Meskipun, sebagian pengamat percaya, bahwa PBB (United Nation) sedang berevolusi untuk menjadi legislator dan penegak hukum internasional, namun negara-negara di dunia masih banyak yang memikul beban berat untuk menegakkan dan menafsirkan hukum di negaranya masing-masing.
Kebijakan Politik Global dan Keniscayaan Amandemen Konstitusi
Beberapa tahun terakhir (sejak 2018-2020) semua negara di dunia, termasuk Indonesia mengalami bias resesi ekonomi global akibat melemahnya sistem perekonomian Amerika Serikat. Ditambah lagi, adanya bencana non alam berupa serangan (suspect) virus covid-19 yang banyak memakan korban sejak kemunculannya pada Agustus 2019 hingga 2021, dan tidak hanya menyerang kesehatan maupun nyawa manusia, tetapi juga berdampak besar terhadap pertahanan ekonomi dan sistem keuangan negara. Bukan hal mustahil, akibat dampak covid-19, justru berakibat fatal terhadap sistem ekonomi dan keuangan Indonesia yang semakin melemah akibat mayoritas warga negaranya tidak bisa menjalankan pekerjaan, PHK besar-besaran akibat perusahaan mengalami kebangkrutan, dan krisis pangan yang dimulai dari skala kecil di berbagai daerah dan merembet menjadi problem krusial bagi negara secara sistemik.
Salah satu langkah konkret didalam menjaga kedaulatan negara pada tataran konsep adalah melakukan amandemen konstitusi (UUD 1945), terutama yang berkaitan dengan pasal-pasal krusial, seperti pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, politik, hukum, demokrasi, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Tentu, amandemen ini bukanlah perkara sederhana yang harus ditempuh, tapi masih melalui perdebatan diantara para elit, terutama di kalangan legislatif maupun petinggi partai politik yang memiliki pengaruh dominan di parlemen.
Moh. Mahfud MD dalam buku Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu (2010) menegaskan konstitusi merupakan “resultante” atau kesepakatan politik bangsa melalui para pembuatnya sesuai situasi dan tempat tertentu. Sudah pasti “resultante” tersebut, akan melalui perdebatan antarberbagai konsep, mengingat konstitusi mempunyai arti sangat penting bagi penyelenggaraan negara, pemerintahan, dan perlindungan hak-hak rakyat.
Sejarah Amandemen Konstitusi di Indonesia
Jika kita flashback kepada sejarah pasca reformasi, konstitusi mengalami empat kali amandemen, yakni: Pertama, amandemen dilakukan pada sidang umum MPR yang berlangsung antara 14 Oktober hingga 21 Oktober 1999. Kedua, amandemen dilakukan pada sidang umum MPR yang berlangsung antara 7 Agustus hingga 18 Agustus 2000. Ketiga, amandemen dilakukan pada sidang umum MPR yang berlangsung antara 1 November hingga 9 November 2021. Keempat, amandemen dilakukan pada sidang umum MPR yang berlangsung antara 1 Agustus hingga 11 Agustus 2002. (www.wikipedia.org).
Amandemen konstitusi selama empat kali tersebut, dilakukan karena menyangkut situasi krusial yang berkaitan dengan stabilitas negara, terutama di bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, demokrasi, hak asasi manusia (HAM), serta pertahanan dan keamanan. Disisi lain, pemerintah Indonesia mengakomodasi perubahan politik global melalui konstitusi yang terbuka terhadap segala kemungkinan yang terjadi serta berdampak serius bagi keberlangsungan pemerintahan di masa-masa yang akan datang. Tentu, Indonesia sebagai bagian dari negara besar di tingkat ASEAN maupun sebagai negara yang diperhitungkan di tingkat global tidak akan bisa lepas atau bahkan menghindar dari percaturan kebijakan politik global, maupun peran strategis yang menyangkut kepentingan negara-negara di dunia, termasuk menjadi negara penengah dalam mencegah konflik (peperangan), sekaligus sebagai pendulum perdamaian.
Dengan demikian, merupakan keniscayaan jika pada saat ini para pemangku kepentingan di tingkat pusat merencanakan amandemen konstitusi untuk menyambut masa transisi akibat perubahan ekonomi dan politik global, terutama yang berkaitan dengan sistem politik, ekonomi dan keuangan, hukum, pertahanan dan keamanan, demokrasi, serta hak asasi manusia (HAM) di masa depan.
*Advokat PERADI dan Direktur LBH Sahabat Keadilan Nasional; Mendapatkan gelar Magister Hukum dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM)