web media jatim
Brosur UIJ Sosial Media-01
Segenap pimpinan dan karyawan_20250605_201559_0000
10_20250605_164323_0009
3_20250605_164323_0002
5_20250605_164323_0004
Display Pancasila dan Lebaran 2024_20250605_233152_0000
Opini  

Keniscayaan Amandemen Konstitusi di Masa Transisi

Media Jatim

Oleh: Ribut Baidi

2_20250605_164322_0001
7_20250605_164323_0006
4_20250605_164323_0003
12_20250605_164323_0011
1_20250605_164322_0000

Masa transisi kepemimpinan adalah hal lazim terjadi seiring perubahan kebijakan politik global yang berimplikasi terhadap ekonomi, politik, hukum,  budaya, dan sosial dalam suatu negara. Perubahan kebijakan politik global tersebut berimbas kepada negara-negara di dunia, baik negara maju, negara berkembang, bahkan negara miskin sekalipun, sehingga para pemangku kepentingan negara-negara di dunia dituntut siaga dan peka untuk menata ulang manajemen pemerintahan di negaranya, termasuk kemungkinan transisi kepemimpinan dan amandemen konstitusi sebagai sebuah keniscayaan yang akan terjadi.

9_20250605_164323_0008
8_20250605_164323_0007
5_20250605_164641_0004
11_20250605_164323_0010

Belajar dari sebuah konsep yang diintrodusir oleh Richard W. Mansbach & Kristen L. Rafferty dalam buku Pengantar Politik Global (2012)  menyatakan kebijakan politik global secara histroris akan menjadi hukum internasional dengan karakteristik tidak adanya kekuatan sentral di atas negara dan desentralisasi kekuatan dalam politik global akibat tiga hal yang sangat krusial. Pertama, tidak adanya kekuasaan legislatif dalam politik global untuk membuat aturan sebagaimana politik dalam negeri negara-negara di dunia, karena hukum internasional muncul dari adat-istiadat negara-negara dan perjanjian-perjanjian yang disepakati bersama. Kedua, tidak ada kekuatan eksekutif yang dapat menegakkan hukum internasional. Ketiga, tidak ada pengadilan independen dengan kewenangan untuk menafsirkan hukum semacam itu. Meskipun, sebagian pengamat percaya, bahwa PBB (United Nation) sedang berevolusi untuk menjadi legislator dan penegak hukum internasional, namun negara-negara di dunia masih banyak yang memikul beban berat untuk menegakkan dan menafsirkan hukum di negaranya masing-masing.

Kebijakan Politik Global dan Keniscayaan Amandemen Konstitusi

Beberapa tahun terakhir (sejak 2018-2020) semua negara di dunia, termasuk Indonesia mengalami bias resesi ekonomi global akibat melemahnya sistem perekonomian Amerika Serikat. Ditambah lagi, adanya bencana non alam berupa serangan (suspect) virus covid-19 yang banyak memakan korban sejak kemunculannya pada Agustus 2019 hingga 2021, dan tidak hanya menyerang kesehatan maupun nyawa manusia, tetapi juga berdampak besar terhadap pertahanan ekonomi dan sistem keuangan negara. Bukan hal mustahil, akibat dampak covid-19, justru berakibat fatal terhadap sistem ekonomi dan keuangan Indonesia yang semakin melemah akibat mayoritas warga negaranya tidak bisa menjalankan pekerjaan, PHK besar-besaran akibat perusahaan mengalami kebangkrutan, dan krisis pangan yang dimulai dari skala kecil di berbagai daerah dan merembet menjadi problem krusial bagi negara secara sistemik.

IMG-20250502-WA0029
IMG-20250502-WA0027
IMG-20250502-WA0028
IMG-20250502-WA0031
IMG-20250502-WA0030
IMG-20250604-WA0240
4_20250605_164641_0003
6_20250605_164641_0005
1_20250605_164641_0000

Salah satu langkah konkret didalam menjaga kedaulatan negara pada tataran konsep adalah melakukan amandemen konstitusi (UUD 1945), terutama yang berkaitan dengan pasal-pasal krusial, seperti pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, politik, hukum, demokrasi, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Tentu, amandemen ini bukanlah perkara sederhana yang harus ditempuh, tapi masih melalui perdebatan diantara para elit, terutama di kalangan legislatif maupun petinggi partai politik yang memiliki pengaruh dominan di parlemen.

Moh. Mahfud MD dalam buku Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu (2010) menegaskan konstitusi merupakan “resultante” atau kesepakatan politik bangsa melalui para pembuatnya sesuai situasi dan tempat tertentu. Sudah pasti “resultante” tersebut, akan melalui perdebatan antarberbagai konsep, mengingat konstitusi mempunyai arti sangat penting bagi penyelenggaraan negara, pemerintahan, dan perlindungan hak-hak rakyat.

Baca Juga:  Syaikhul Islam dan Masa Depan Kepemimpinan Surabaya

Sejarah Amandemen Konstitusi di Indonesia

Jika kita flashback kepada sejarah pasca reformasi, konstitusi mengalami empat kali amandemen, yakni: Pertama, amandemen dilakukan pada sidang umum MPR yang berlangsung antara 14 Oktober hingga 21 Oktober 1999. Kedua, amandemen dilakukan pada sidang umum MPR yang berlangsung antara 7 Agustus hingga 18 Agustus 2000. Ketiga, amandemen dilakukan pada sidang umum MPR yang berlangsung antara 1 November hingga 9 November 2021. Keempat, amandemen dilakukan pada sidang umum MPR  yang berlangsung antara 1 Agustus hingga 11 Agustus 2002. (www.wikipedia.org).

Amandemen konstitusi selama empat kali tersebut, dilakukan karena menyangkut situasi krusial yang berkaitan dengan stabilitas negara, terutama di bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, demokrasi, hak asasi manusia (HAM), serta pertahanan dan keamanan. Disisi lain, pemerintah Indonesia mengakomodasi perubahan politik global melalui konstitusi yang terbuka terhadap segala kemungkinan yang terjadi serta berdampak serius bagi keberlangsungan pemerintahan di masa-masa yang akan datang. Tentu, Indonesia sebagai bagian dari negara besar di tingkat ASEAN maupun sebagai negara yang diperhitungkan di tingkat global tidak akan bisa lepas atau bahkan menghindar dari percaturan kebijakan politik global, maupun peran strategis yang menyangkut kepentingan negara-negara di dunia, termasuk menjadi negara penengah dalam mencegah konflik (peperangan), sekaligus sebagai pendulum perdamaian.

Dengan demikian, merupakan keniscayaan jika pada saat ini para pemangku kepentingan di tingkat pusat merencanakan amandemen konstitusi untuk menyambut masa transisi akibat perubahan ekonomi dan politik global, terutama yang berkaitan dengan sistem politik, ekonomi dan keuangan, hukum, pertahanan dan keamanan, demokrasi, serta hak asasi manusia (HAM) di masa depan.

*Advokat PERADI dan Direktur LBH Sahabat Keadilan Nasional; Mendapatkan gelar Magister Hukum dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM)