Pertama-tama saya ingin bercerita singkat. Forum Wartawan Pamekasan (FWP) berganti kepengurusan pada Desember 2021. Lalu dilantik pada Januari 2022.
Januari 2022, saya–yang diamanahi sebagai ketua–dan jajaran pengurus dikukuhkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan saat itu pula FWP meluncurkan Gedung Studi Pers dan Hoaks.
Lalu, pada 28 Februari 2022, FWP menggelar Kuliah Umum Pers untuk pertama kalinya dengan mengundang Andreas Harsono sebagai pembicara, dan dari sinilah ide pendidikan melek media (PMM) itu muncul.
Cikal bakal Pendidikan Melek Media
Pada Februari 2022 itu, saat mengisi Kuliah Umum Pers FWP secara daring, Andreas Harsono menyinggung betapa masyarakat belum akrab dengan tata kerja pers.
Warga tidak tahu bagaimana wartawan mencari berita. Warga tidak tahu bagaimana berita itu diterbitkan. Warga tidak tahu sisi profesionalisme wartawan.
Warga banyak yang salah paham. Warga bingung dan cenderung menjustifikasi profesi wartawan, dan generasi muda tidak dekat dengan wartawan.
Andreas akhirnya menyinggung, “Perlu ada pendidikan melek media.”
Apa yang disebut perlu oleh Andreas kemudian diterjemahkan oleh FWP menjadi sebuah program bernama PMM tadi.
Penerjemahan ini tidak serta-merta. Ada diskusi panjang di internal FWP hingga akhirnya lahir PMM ini.
Di Pamekasan, banyak orang yang memanfaatkan profesi dan label wartawan. Mereka mengaku-ngaku sebagai wartawan. Datang ke instansi, ke sekolah-sekolah, mengancam, menakut-nakuti dan “memalak”.
Ironisnya, mereka yang memalak ini bukan wartawan. Bukan bagian dari wartawan yang memegang teguh UU Pers, Peraturan Dewan Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Mereka adalah “Oknum LSM”. Namun mereka mengatasnamakan wartawan. Kabar semacam ini datang silih berganti ke telinga saya, ke telinga-telinga teman-teman FWP.
Banyak kepala sekolah bercerita itu. Mereka enggan keluar ruangan saat yang datang ke sekolah adalah orang yang menyebut dirinya sebagai wartawan.
Mereka, para kepala sekolah ini, salah paham, dan Oknum LSM inilah yang membuat masyarakat salah paham tentang profesi wartawan.
Sebab, oknum ini memgaku wartawan padahal bukan wartawan. Atau, mereka benar-benar wartawan tetapi melanggar pedoman profesi wartawan.
Sebagai Ketua Forum Wartawan Pamekasan, dan atas nama maksud ingin menjelaskan bahwa wartawan itu berbeda dengan oknum LSM di atas, maka PMM ini pun digelar untuk pertama kalinya pada 27 Oktober 2022 di Aula Wabup Pamekasan.
PMM ke-1 pesertanya adalah Kepala OPD se-Pamekasan. Kegiatan perdana ini disambut baik. Termasuk oleh teman-teman PGRI yang kita undang hari itu.
PMM dianggap mampu menetralisir kesalahpahaman publik selama ini; antara masyarakat dan wartawan itu sendiri.
PMM terus mendapat dukungan dan sambutan positif. Sebab, kegiatan ini berisi diskusi kode etik yang harus dijalani wartawan, Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pemberitaan Ramah Anak (PRA) dan Peraturan Dewan Pers.
PMM ini juga menjadi ruang mengadu masalah yang dialami warga soal oknum LSM yang mengaku wartawan dan memalak amplop. Akhirnya, kita menggelar PMM ke-2, bekerja sama dengan PGRI Pamekasan pada 10 Desember 2022.
PMM ke-2 Kembali Mendapat Apresiasi
PMM ke-2 ini juga disambut baik. Pesertanya adalah pengurus PGRI se-Kabupaten Pamekasan. Karena berbentuk dialog, peserta banyak melontarkan pertanyaan langsung dan terang-terangan.
Satu di antara banyak pertanyaan yang dilontarkan tidak jauh berbeda dengan PMM ke-1. Soal oknum yang mengaku wartawan, cara membedakan oknum LSM dan wartawan, dan ketakutan-ketakutan guru terhadap oknum ini.
Termasuk membahas bagaimana pemberitaan harus obyektif, terkonfirmasi, tidak sepihak, tidak karena kebencian dan seterusnya, yang semua itu sebenarnya sudah diatur di dalam Kode Etik Jurnalistik.
Namun, itulah kondisi di lapangan. Masih ditemukan orang yang bukan wartawan memanfaatkan label wartawan untuk memenuhi kebutuhan finansial. Dan, guru-guru menjadi takut, bukan malah mengatasinya.
PMM ini dianggap menjadi solusi. Bagaimana mengenali wartawan. Menelusuri medianya. Melihat Kartu Uji Kompetensi Wartawan (UKW), dan bagaimana berkomunikasi dengan wartawan.
Termasuk bagaimana melaporkan bila ada oknum mengaku wartawan yang mengancam, memeras dan melakukan kesalahan dalam pemberitaan.
FWP hadir di sini. Membuka dialog dengan masyarakat umum yang kerap bersentuhan dengan wartawan.
FWP tidak hendak menjadi pahlawan kesiangan untuk masyarakat. Tapi FWP terkena imbas. Gara-gara banyak Oknum LSM mengaku wartawan untuk keperluan amplop, akhirnya temen-temen FWP terkena dampak.
Kita dianggap sama dengan mereka. Kita dianggap juga mengincar amplop. Akhirnya, saat kita hendak datang ke sekolah benar-benar untuk wawancara berita, justru tidak ditemui karena kita diduga akan meminta amplop.
Inilah mengapa, FWP harus bergerak, harus bergerak, dan harus bergerak!
Tidak menjadi pahlawan untuk siapa pun, tetapi untuk membuka ruang, untuk meluruskan pemahaman yang bengkok di tengah-tengah masyarakat.
Membiarkan kesalahpahaman terus berlarut bukan suatu hal yang baik dan bijak, sekali lagi, FWP akhirnya bergerak dengan PMM atas alasan ini.
Tugas Forum Wartawan Menyediakan Ruang Dukungan Publik
Ada sembilan elemen jurnalisme atau sembilan hal yang harus dipegang wartawan. Sembilan elemen ini yakni; 1] kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran, 2] loyalitas pertama kepada warga, 3] intisarinya adalah disiplin dan rajin verifikasi, dan 4] menjaga independensi sumber berita.
5] jurnalisme sebagai pemantau kekuasaan, 6] menyediakan forum publik; kritik atau dukungan warga, 7] jurnalisme membuat hal penting dan menarik, 8] berita komprehensif dan proporsional, dan 9] wartawan diperbolehkan mengikuti nurani mereka.
Dan, PMM adalah manifestasi dari elemen yang keenam itu.(*)
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Media Jatim sekaligus Ketua Forum Wartawan Pamekasan.