Oleh: Abdullah
Media penyiaran mempunyai peranan penting dalam pencerdasan anak bangsa. Melaluinya, informasi dan hiburan dapat menembus skat-skat kehidupan. Melaluinya pulalah lahir banyak pendidik, aktivis, pemuda, hingga masyarakat tingkat bawah yang melek informasi.
Kendati demikian, media penyiaran di Indonesia tidak terlepas dari ragam persoalan yang menyertainya. Utamanya yang berkaitan dengan pembatasan ruang geraknya oleh pemerintah dalam mengembangkan usaha. Undang-Undadng Nomor 32 Tahun 2002 cukup menggerus kreativitas pengembangan usaha penyiaran.
Fakta tersebut cukup mengemuka dalam buku ini. Dengan menggunakan pendekatan kajian strukturalisme fungsional. Dari penjabaran Redi Panuju, terungkap betapa pemerintah hanyalah kaki tangan pemilik modal yang sudah mapan dalam industri media. Melalui UU tadi, negara menjadi alat dari kelas pemilik modal untuk mengisap kelas proletar yang tertindas. (halaman 120)
Buku ini hadir salah satunya guna mengenalkan lebih jauh teori sosial dalam fenomena penyiaran di Indonesia, sekaligus menggunakan teori sosial sebagai pisau bedah. Pendekatan strukturalisme fungsional yang menjadi kajian utama dalam buku ini dirasakan relevansinya, karena perkembangan dunia penyiaran di Indonesia mengikuti asumsi dari teoritisi Strukturalisme Fungsional.
Teori tersebut berkaitan erat dengan sebuah struktur yang tercipta dalam masyarakat. Struktural fungsional, berarti struktur dan fungsi. Artinya, manusia memiliki peran dan fungsi masing-masing dalam tatanan struktur masyarakat. Hal ini tentu telah menjadi perhatian oleh banyak ilmuwan sosial, dari zaman klasik hingga modern. Teori-teori klasik fungsionalisme diperkenalkan oleh Comte, Spencer, dan E. Durkheim, serta fungsionalisme modern yang diteruskan oleh Robert K. Merton dan Anthony Giddens.
Kendati pun penyiaran Indonesia masih dikekang oleh peraturan yang sarat kepentingan pemerintah, Redi Panuju mengajak pembaca untuk tidak frustasi. Karenanya, dibutuhkan adaptasi-adaptasi fungsional. Sebab, itu adalah cara efektif untuk mencapai tujuan institusi.
Di dalam melaksanakan adaptasi-adaptasi tersebut dilakukan dengan tekad yang kuat, bahkan melampaui batas-batas tujuannya. Selanjutnya, dalam rangka melangsungkan adaptasinya, sebuah lembaga penyiaran acap kali juga mengubah tujuan-tujuannya (goal). Dan kemudian menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran untuk menjaga sistem yang sudah teradaptasi tersebut melalui berbagai cara.
Dalam banyak hal, pendekatan sosiologis lebih efektif ketimbang adjustment regulasi. Sebab, untuk mengubah regulasi sebagai pranata sosial membutuhkan proses yang rumit dan waktu yang panjang. Penyesuaian akibat adanya adaptasi fungsional tersebut berhasil manakala ada toleransi dari pemilik otoritas yang sebenarnya bertugas menjaga agar pranata sosial yang telah ditetapkan dijaga kemurniannya. (halaman 125)
Buku ini makin terasa pentingnya karena di dalamnya dilengkapi dengan bentuk-bentuk adaptasi sistem penyiaran. Tidak hanya bersifat teoritis. Tapi, juga mengetengahkan kasus di lembaga penyiaran komunitas Madu FM Tulungagung. Karenanya, buku ini sangat penting dimiliki kalangan akademisi-mahasiswa dan dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fisipol), Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam di Universitas Islam Negeri (UIN), STAIN, serta mahasiswa Fakultas Hukum yang tertarik pada persoalan Hukum Penyiaran, juga disarankan bagi praktisi media penyiaran yang ingin mendalami sistem penyiaran dari perspektif sosial.
Data Buku
Judul: Sistem Penyiaran Indonesia: Kajian Strukturalisme Fungsional
Penulis: Redi Panuju
Penerbit: Kencana, Jakarta
Cetakan: Kedua, 2017
Tebal: 228 Halaman
ISBN: 9786024221539
Abdullah, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu komunikasi Unitomo