Opini  

Fenomena Perlawanan Murid terhadap Guru

Media Jatim

Perlawanan merupakan tindakan yang dilakukan oleh kaum atau kelompok subordinat yang bertujuan untuk mengurangi atau menolak klaim yang dibuat oleh pihak-pihak tertentu atau kelompok subordinat tertentu terhadap mereka (Scott, 1981: 12).

Perlawanan ini, sering dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidak-adilan di tengah-tengah mereka (Zubir, 2002: 26).

Jika situasi ketidak-adilan dan rasa frustasi ini mencapai puncaknya, maka akan menimbulkan apa yang disebut oleh Tarrow (1994) dalam Power in Movement, Social Movement, Collective Action and Politics, sebagai gerakan sosial atau social movement, yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi menjadi kondisi yang berbeda dengan sebelumnya.

Perlawanan murid terhadap guru akhir-akhir ini menjadi fenomena yang menarik untuk di diskusikan, terutama setelah kejadian memilukan, menyentakkan dan menyesakkan dada para tenaga pendidik “guru” dan tenaga kependidikan di kota Sampang kemarin (1 februari 2018) yang menyebabkan seorang guru meninggal dunia karena pemukulan yang dilakukan oleh seorang muridnya sendiri.

Saat ini, ia sudah mulai sadar bahwa yang di lawan, yang dipukul, yang dianiaya merupakan sosok yang selama ini membimbing sekaligus sebagai komunikator ulung, sahabat sejati yang dapat memberikan nasihat-nasihat, seorang motivator sebagai pemberi inspirasi dan dorongan,pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkah laku serta nilai-nilai, orang yang menguasai bahan yang diajarkan, khususnya di bidang seni.

Peristiwa mendadak yang menggegerkan kota Sampang dan  terjadi dengan seketika itu merupakan hasil dari sekian lama proses yang dilakukan oleh semua pihak untuk mewujudkan prilaku peserta didik dalam berproses untuk menjadi manusia yang kaffah “bermanfaat bagi manusia”.

Perilaku baik peserta didik itu tidak dapat tumbuh tanpa adanya intervensi dari tenaga pendidik “guru” dan kependidikan, dan itupun dilakukan secara  bertahap, sedikit demi sedikit. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang ditanamkan oleh orang tua dan orang-orang dewasa di dalam  lingkungan keluarga dan sekitarnya, akan terbawa oleh anak dan sekaligus akan memberikan warna terhadap perilaku peserta didik.

Latihan-latihan sederhana seperti: kebiasaan berbicara sopan, santun terhadap orang lain yang lebih tua, kebiasaan menghargai yang lebih tua, serta kebiasaan-kebiasaan baik lainnya, akan merupakan bagian integral dari pembentukan sikap dan prilaku setelah menyatu dengan proses internalisasi nilai-nilai yang tanpa maupun dengan sengaja ditanamkan kepada peserta didik. Pembentukan sikap dan prilaku yang dibawa dari lingkungan keluarga inilah, yang akan menjadi modal terbesar bagi pembentukan sikap dan prilaku peserta didik di lingkungan sekolah. Tanggung jawab orang tua dalam mengarahkan dan mendidik anaknya merupakan keniscayaan yang harus dilakukan oleh setiap keluarga. Karena keluarga merupakan entitas terdekat dalam membina perilaku peserta didik dalam segala aspeknya.

Lebih lanjut Mulyono (1986) mengatakan, keluarga itu merupakan kesatuan atau unit terkecil di dalam masyarakat dan menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam membentuk prilaku kehidupan masyarakat, ini artinya bahwa keluarga menjadi pintu masuk jalinan harmonisasi dan komunikasi dan interaksi antar kelompok masyarakat untuk selalu dapat membimbing anggota keluarganya sesuai dengan norma, etika dan moral yang berlaku. Sebagaimana di uraikan dalam hadits nabi:
كل مولود يولد على فطرة الاسلام، فأبواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه

Baca Juga:  Membalik Konfigurasi Calon di Pilkada Pamekasan 2024

Di samping itu, pemerintah juga memiliki kuasa dan otoritas “memiliki segalanya” untuk menghentikannya, jika pemerintah paham akan amanah yang diembangnya, sebagaimana termaktub dalam surat al-an’am ayat 165:
وهو الذى جعلكم خلآئف الأرض ورفع بعضكم فوق بعض درجت ليبلوكم فى ما أتاكم…(الأنعام 165)

Talcott Parsons sebagaimana dikutip oleh Mariam Budiardjo, yang cenderung melihat kekuasaan sebagai senjata yang ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif dengan jalan membuat keputusan-keputusan yang mengikat didukung dengan sanksi negatif. Dalam perumusannya, Talcott Parsons mengatakatan, bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar, terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu. Teori ini dimungkinkan oleh pemerintah (para pembuat kebijakan baik legislatif, yudikatif dan Ekskutif) dijadikan dasar untuk “menekan, memaksa dan menghentikan dengan PERDAnya atau Peraturan Pemerintah (PP), bahkan Undang-undang (UU)“ untuk meminimalisir terjadinya perlawanan murid terhadap guru yang oleh sekelompok kecil masyarakat yang dapat “mengganggu dan membelenggu” otoritas guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Fenomena ini akan terjadi terus menerus tanpa henti dan berkelanjutan, jika ada pembiaran dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kewajiban, kewenangan dan otoritas untuk menertibkan dan mengarahkan sekelompok kecil masyarakat ini. Hal ini sejalan dengan teori exchange, secara garis besar dapat dikembalikan kepada tiga proposisi George Homan berikut : Pertama, Jika tingkah laku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus dan situasi tertentu memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkah laku atau kejadian yang mempunyai hubungan stimulus dan situasi yang sama akan terjadi atau dilakukan. Ini artinya jika fenomena ini ada pembiaran oleh pemerintah, tokoh masyarakat ataupun orang tua, maka fenomena ini akan terjadi terus menerus tanpa henti dan tanpa ada ujungnya serta terus akan berkembang pada fenomena lainnya, naudzubillah min dzalik. Karena ketiganya (pemerintah, tokoh masyarakat dan orang tua) memiliki kewenangan dan otoritas yang sama untuk mengarahkan atau mengalihkan atau membentuk prilaku melalui kegiatan-kegiatan yang lebih produktif, bermakna dan mendidik.

Proposisi George Homan yang Kedua adalah, Makin sering orang menerima ganjaran atas tindakannya dari orang lain, makin berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya. Artinya jika fenomena ini, dianggap sebagai penyimpangan etika, adat dan dianggap melenceng dari norma, sehingga semua pihak baik pemerintah, tokoh masyarakat mapun orang tua sama-sama memberikan sanksi moral “sosial”.

Baca Juga:  Polisi, Korban Baru Visit Sumenep 2018 (?)

Sedangkan Proposisi George Homan yang Ketiga adalah, Makin dirugikan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, makin besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi. Proposisi George Homan ini, sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Herbert Blumer (1962), seorang tokoh teori interaksionisme simbolik, yang menunjuk kepada sifat khas dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain.

Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain, tetapi didasarkan atas “makna” yang diberikan terhadap tindakan orang lain itu. Interaksi antar individu, diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dan tindakan masing-masing. Jadi dalam proses interaksi manusia itu bukan suatu proses dimana adanya stimulus secara otomatis dan langsung menimbulkan tanggapan atau respon. Tetapi stimulus yang diterima dan respon yang terjadi sesudahnya, diantarai oleh proses interpretasi oleh si aktor. Jelas proses interpretasi ini adalah proses berpikir yang merupakan kemampuan khas yang dimiliki manusia.

Dengan demikian, merujuk pada proposisi George Homan yang ketiga dan teori interaksionisme simbolik Herbert Blumer (1962), maka pemerintah, tokoh masyarakat dan orang tua, segera merespon dan mengambil langkah tegas dan konkrit menanggapi fenomena yang terjadi ini, tetapi jika tanpa adanya tindakan hukum, atau tindakan sosial yang nyata, maka suatu saat nanti akan muncul perlawanan dari masyarakat lainnya yang merasa dirugikan dengan fenomena ini, yakni “menghentikan dengan caranya sendiri”, karena sudah dianggap melengceng dengan etika, adat, moral dan norma agama yang berlaku, karena pemerintah sudah tidak lagi diangap memiliki kewibawaan untuk menghentikan fenomena ini. Walaupun sebetul hal ini tidak perlu terjadi, jika semua pihak merespon fenomena ini dengan cepat, tepat dan cerdas. Inilah yang George Homan sebut sebagai konsep keadilan relatif (relative justice). Yakni dengan cara mengadakan kegiatan yang selalu mengingatkan terhadap kulturisasi nilai-nilai keislaman harus selalu di munculkan kepermukaan masyarakat muslim, agar bisa diketahui oleh para generasi mudanya bahwa prilaku Islami adalah budaya yang harus dijadikan sebagai pijakan dan patokan hidup dan kehidupan ini, sehingga dapat memilah dan memilih prilaku mana yang patut dan sesuai dengan aqidah “Al-Qur’an dan Hadits” yang dianutnya. Wallahu’a’lam bi al-shawab.

Achmad Muhlis, Dosen Prodi Bahasa Arab STAIN Pamekasan; Peserta Program Doktor Ilmu Sosial dan Politik UMM Malang