Di zaman modern ini hidup kita dipenuhi dengan teknologi, apapun dan masalah kita larinya ke teknologi. Manusia menciptakan teknologi pada dasarnya untuk merekadaya, dan merekayasa mental, kesadaran otak, akal, dan fikiran manusia.
Di dalam kultur teknologi/digital yang kita alami sekarang, otak manusia dianggap sebagai hardware dari tubuh yang bisa diterjemahkan kedalam kode atau simbol algoritma, sehingga semua aktifitas kita yang berasal dari otak bisa di formulasi kedalam hukum matematis yang prediktif. Menurut para filosof, kinerja teknologi seperti ini malah akan mengakibatkan kepercayaan palsu, kepercayaan semu, bahwa segala hal diluar pengalaman konvensional kita hanyalah persoalan teknis, semua bisa diotak-atik dengan hitungan.
Digital dalam arti sempit adalah struktur dasar komputer yang dirancang dengan unit informasi yang selalu berjumlah ganda dan berlawanan yang disebut struktur biner.
Dalam arti luas digital tidak hanya menjelaskan cara kerja komputer, tapi juga cara berfikir manusia. Jadi cara berfikir digital artinya cara berfikir secara biner yang relasi berfikirnya selalu bertolak belakang, tentu sangat berbeda dengan berfikir analog.
Barangkali kita merasa sudah maju karena telah memakai beragam peranti digital, mulai dari smartphone, laptop, hingga menggunakan analitik untuk menjawab persoalan, dan seterusnya. Tapi sesungguhnya kita belum mencapai jenjang ‘berpikir digital’ manakala peranti itu menjadi sekedar bagian dari gaya hidup.
Berpikir digital seyogyanya dimulai dari pemahaman bahwa dunia sekeliling kita ini sudah berubah, beragam peranti digital terkoneksi, begitu pula dengan manusianya. Boleh dikata, kita hidup di dunia yang terintegrasi secara digital, sehingga mau tak mau pendekatan kita terhadap dunia ini harus adaptif. Berbagai jenis data diproduksi, disimpan, dan diambil kembali dengan volume dan kecepatan luar biasa serta keragaman, ada teks, angka, gambar, animasi, video, dan suara. Salah satu keajaiban didalam dunia digital adalah penciptaan imaji, salah satu CGI yang mampu memperluas dan memperdalam persepsi manusia hingga menembus batas pengalaman konvensional.
Dizaman teknologi ini, ketika manusia banyak bersenTUHAN dengan gadget, cara berfikirnya selalu berisi nilai tunggal, soliter, tidak bisa mengevaluasi, tidak bisa membandingkan, tidak ada pilihan tengah, karena cara kerja utamanya selalu membagikan dan memisahkan segala sesuatu, kalau tidak on-off, kalau tidak follow-unfollow, kalau tidak log in berarti log out, begitu istilah proktor UANBK.
Jika kita menyadari semua perubahan yang terjadi di sekeliling kita ini, dan bagaimana semua itu saling berinteraksi, termasuk bagaimana semua itu memengaruhi diri kita, maka kita tengah memasuki alam berpikir digital. Di alam ini, kita berpikir tentang bagaimana teknologi digital amat memengaruhi dan bahkan ikut membentuk masa depan masyarakat manusia yang jejaknya sudah terlihat sejak sekarang.
Cara kita berbisnis berubah, cara kita belajar berubah, cara kita bekerja berubah, dan bahkan cara kita mengalami sesuatu pun berubah. Bahkan pengalaman menjadi bagian yang semakin penting dari hidup manusia. Ada keterampilan baru yang perlu dikuasai, ada kultur baru yang patut dikembangkan. Tantangan pokok yang kita hadapi, sebagai orang yang hidup di zaman digital, sekalipun mungkin kita bukan digital natives, adalah menyesuaikan cara berpikir kita terhadap perubahan.
Teknologi digital telah mengubah dan mentransformasikan banyak hal, juga dalam pendidikan terutama ujian berbasis IT. Kita perlu memahami arah perubahan dan peran apa yang dapat kita jalani, kita perlu mentransformasikan peran kita selama ini. Kita perlu memikirkan bagaimana mengkapitalisasi keterampilan yang kita miliki dan bagaimana kita dapat mengambil peran dalam perubahan, bukan sebagai penonton.
Lantaran pengalaman mengambil bagian yang kian penting, maka dalam berbagai bidang kehidupan bisnis, pendidikan, kesehatan, dsb—berpikir digital dapat dimulai dari luar ke dalam atau outside-in. Sebelum bisnis, pendidikan, dan kesehatan dirancang, maka harus dipertimbangkan lebih dulu sudut pandang konsumen, peserta didik, maupun dalam ilmu kesehatan. Terdapat begitu banyak unsur yang terkait dengan sudut pandang sebutlah keinginan, kebutuhan, hingga kemampuan pelanggan juga peserta didik dalam memanfaatkan teknologi digital (sejauh mana kemampuan akses mereka, peranti apa yang kerap digunakan, bagaimana perilaku mereka dalam memanfaatkan teknologi digital), juga nilai apa yang mereka kejar di lingkungan digital yang baru ini.
Tentu saja, dalam konteks ini, nilai tidak semata berarti uang, melainkan juga terpecahkannya persoalan dan terbukanya peluang baru. Pengalaman dalam unsur digital merupakan yang vital untuk memperoleh perhatian. Dalam edukasi misalnya, pengalaman dapat dimanifestasikan sebagai kemudahan pengguna dalam memakai fasilitas yang tersedia, visualisasi digital yang menarik, dan penjelasan materi yang mudah dicerna.
Di dunia digital, visualisasi semakin mendapat peran yang berarti. Meskipun kata-kata jelas dan ringkas, gambar dapat bekerja lebih baik untuk menangkap interaksi dinamis dalam menciptakan outcome baru yang seringkali sukar dijelaskan dalam kata-kata. Instagram, Visually, Pinterest, Youtube, dan lainnya menarik minat jutaan orang karena visualisasi informasi dan data.
Bagian yang tak boleh diabaikan ialah pemahaman mengenai perilaku pengguna. Ini terkait dengan koneksi antara informasi, motivasi, keputusan, dan tindakan yang menggerakkan dunia digital. Mengapa konsumen tergerak untuk mengambil keputusan tertentu dan bukan keputusan yang lain? Di era digital, berapa waktu yang dibutuhkan konsumen untuk memutuskan dan bertindak? Sarana apa yang mereka gunakan?
Perubahan yang terjadi sebagai dampak teknologi digital memang luar biasa. Karena itu, dengan memiliki beragam teknologi maju tidaklah berarti cara berpikir kita sudah men-digital. Kepemilikan teknologi digital, kata banyak pengamat, hanyalah sepersepuluh dari aturan yang menggerakkan dunia digital. Lebih penting dari itu adalah cara berpikir digital.
Kemudian, apakah teknologi itu baik untuk manusia? Manusia membuat teknologi dalam rangka merekadaya, dan merekayasa mental, kesadaran dan fikiran. Didalam ilmu filsafat masih mempertanyakan, meskipun rekadaya maupun rekayasa itu diakui dibuat ke arah yang baik dan ideal, memangnya baik dari arti apa, ideal macam apa, apakah merekayasa IQ itu baik, menanamkan kenangan dengan chip di otak tanpa benar-benar mengalaminya itu baik, dan mengetahui isi buku tanpa membaca secara intensif itu baik?
Ada beberapa pemikir yang meragukan “niat baik teknologi”, disebabkan yang dijadikan patokan sains hanyalah dunia mental para Western Educated Industrialized Rich Democratic yang bermuara dari ilmu pengetahuan dunia barat, lalu dikemanakan dunia lain? Khususnya wilayah timur yang lebih mengerti terhadap persoalan mental intelektual spritual kebangsaan yang sangat banyak spektrum mental, pengalaman pelik kemanusiaan yang tidak bisa terdeteksi oleh teknologi khususnya mental spiritualitas.
Ada satu hal lagi yang sangat sulit di prediksi oleh teknologi, yaitu pemikiran para seniman, ide-ide yang muncul di fikiran seniman itu cenderung random, unpredictable, dan terkadang tidak terencana atau tidak disengaja.
Dengan demikian, manusia seharusnya lebih berfikir secara analog daripada berfikir digital. Ada beberapa hal yang hanya bisa difikir secara digital (biner) seperti ada/tiada. Tapi, secara umum hal-hal di dunia ini tidak bisa dilihat hitam-putih seperti dunia televisi. Karena cara berfikir digital itu berbahaya membuat bangsa kita berpecah belah, selalu mempertentangkan, selalu memihak, mendominasi dan menguasai. Sebaliknya cara berfikir analog akan lebih baik, kondusif, dinamis dan harmonis disetiap lapisan anak bangsa, karena lebih mengedepankan, dan mengutamakan nilai-nilai tawazunitas, tasamuh, tawasuth, dan i’tidal.
*AKH FAKIH. M. Pd Dosen Fakultas Tarbiyah Prodi Tadris Bahasa Indonesia IAIN Madura*
Manusia di 1 sisi tertipu dunia digital disisi yg lain butuh dunia dgital untuk melangsungkn kehidupannya…