Sejak kecil saya sering mendengarkan ceramah al marhum KH Zainuddin MZ. Kakek saya bahkan pernah membeli satu tas besar yang berisi kaset kaset ceramah kiai ini. Mungkin karena bahasanya yang lugas dan mudah dipahami, kiai ini disebut sebagaia Da’i Sejuta Ummat.
Salah satu pelajaran yang saya ambil dari ceramah kiai Zainuddin adalah soal filosofi telur ayam. Filosofi ini sangat penting bagi kita, di zaman ketika berita dan fakta bisa mengambil jarak puluhan hasta. Kata kata beliau kurang lebih “walaupun keluar dari dubur ayam, kalau memang telur, ambil. walaupun keluar dari dubur jenderal, jika kuning, lari”.
Filosofi ini bisa kita pakai dalam banyak hal. Tak ada manusia yang sempurna selain para nabi yang ma’shum dan terjaga. Karena itu selalu ada plus dan minus dalam diri manusia, juga berita yang disampaikan manusia. Jika baik, ambil. Jika jelek, tinggalkan. Melihat seorang tokoh juga demikian.
Seorang ahli kristologi yang sekarang sangat beken dikabarkan memiliki pemikiran yang sejalan dengan wahabisme. Bagi saya itu tak masalah. Hal hal yang baik bisa kita ambil dari siapa saja, sepanjang kita bisa membedakan mana telur dan mana kotoran ayam. Hal yang sama perlu kita pegang saat membaca karya karya orientalis seperti Wilfred Cantwell Smith, Montgomery Watt atau yang lain. Pelajaran selalu bisa diambil bagi mereka yang berniat baik memahami kebenaran.
Filosofi telur Kiai Zainuddin saya pikir senada dengan dhawuh Sy. Ali KarromalLahu wajhah : Undhur maa qoola wa laa tandhur man qoola (lihatlah ucapannya, jangan lihat siapa yang bicara).
Juga selaras dengan sabda Nabi : al hikmah dlollatul mu’min (hikmah / kebijaksanaan adalah barang hilang milik orang mu’min. Di mana saja ia temukan pasti dia ambil).
Syaratnya : Anda bisa membedakan mana telur dan mana kotoran ayam. Jika tidak, anda bisa celaka karena makan kotoran ayam alias tamanco’ dalam bahasa Madura. wal ‘iyadzu bilLah. WalLahu a’lam (Ahmad Halimy)