MUNASLUB Partai Golkar mestinya tak perlu kehilangan daya kritis, karena demokratisasi internal adalah “vitamin” agar Golkar tetap kuat terhadap guncangan, apalagi tak ada kompetitor berarti untuk bersaing dengan Airlangga Hartarto, DPD I dan DPD II Partai Golkar melalui Pemandangan Umum secara bulat mengukuhkan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum baru melanjutkan sisa masa bhakti pengurus sebelumnya hingga tahun 2019, meski terdapat sebagian kecil yang meminta hingga sampai tahun 2022.
Partai Golkar mesti tetap berpijak pada kerangka AD/ART agar tidak menggelar Munaslub tiap tahun, sangat ekstrensik Pasal 19 ART Partai Golkar yang pada pokoknya menegaskan “pengisian lowongan antar waktu, termasuk pengurus hasil Musyawarah Luar Biasa pada semua tingkatan, hanya melanjutkan sisa masa jabatan pengurus yang digantikannya”.
Begitu juga Pasal 14 ART Partai Golkar yang mensyaratkan “pengisian lowongan antar waktu pengurus Dewan Pimpinan Pusat ditetapkan oleh Rapat Pleno Dewan Pimpinan Pusat dan dilaporkan kepada Rapat Pimpinan Nasional”.
Melihat dua Pasal di atas, Rapat Pleno Dewan Pimpinan Pusat dan laporan terhadap Rapat Pimpinan Nasional sudah ditunaikan, sehingga Airlangga Hartarto sah secara konstitusional sebagai Ketua Umum baru Partai Golkar. Agar tidak terjadi friksi dan menyemai gejolak baru maka tidak perlu memberi peluang penafsiran lain seperti kalimat “……hingga masa bhakti tahun 2022” yang dapat menimbulkan perlawanan, konflik yang banal dan keserakahan anyar dari naluri kuasa yang membahayakan Golkar.
Di era Jokowi-JK, Partai Golkar menghadapi periode yang berat, karena harus mempertahankan daya kompetitif dan daya tarik secara tergopoh-gopoh akibat konflik internal yang dinamis, rumit dan panjang, ditambah ulah Setnov yang senang menabrak asas-asas kepantasan dalam menghadapi kasus hukum, sehingga kemarahan publik mendidih hingga keubun-ubun, itulah akar kecemasan Partai Golkar di tahun 2017.
Kecemasan lainnya dapat dicermati sambutan Ketua Penyelenggara Munaslub Partai Golkar, Nurdin Halid, bahwa Partai Golkar dalam tiga tahun terakhir telah menggelar enam kali agenda nasional, satu kali Munas, dua kali Munaslub dan tiga kali Rapimnas, karenanya Partai Golkar lebih dewasa, lebih kuat dan tetap solid.
Yang menarik dari sambutan Nurdin Halid adalah kalimat yang disampaikan di hadapan Presiden, “Rapimnas dan Munaslub telah terselenggara, kami siap menerima arahan Presiden, semoga melalui arahan Presiden dapat menciptakan rasa aman”. Kalimat “……semoga melalui arahan Presiden dapat menciptakan rasa aman” menurut pendapat saya dapat ditafsirkan sebagai rasa cemas yang mendalam.
Selain itu, kecemasan tergambar dalam “sketsa” pemandangan umum dari DPD I Partai Golkar se-Indonesia, cemas karena khawatir elit Partai Golkar menjelma seperti Setnov yang penuh dramaturgi antagonis sehingga Golkar kenyang memakan makian publik, optimisme dan rasa percaya diri kader-kader partai Golkar dari pusat hingga daerah merosot, bahkan elektabilitas menurun di bawah PDI Perjuangan dan Gerindra.
Kalimat yang lebih jelas tersembul dari pemandangan umum Ketua DPD I Papua dan Papua Barat yang menekankan, “….jangan ada lagi pungutan di DPP, jangan ada lagi pemerasan, agar Partai Golkar bercahaya, perbaiki dulu rumah tangga sendiri sehingga dapat bercahaya keluar”, kalimat itu adalah kecemasan sekaligus harapan yang amat sangat dari kader-kader Partai Golkar di daerah.
Sebagai kader Partai Golkar saya berharap Munaslub ini dapat menjadi penawar bagi rasa cemas yang panjang di masa lalu, agar Golkar dapat kembali fokus pada keahliannya, yaitu mengelola kekuasaan.
Begitulah menurut Aburizal Bakrie pada saat Munaslub Golkar tahun 2016 di Bali, menurutnya keahlian Partai Golkar adalah mengelola kekuasaan, bukan melakukan perlawanan terhadap kekuasaan. Partai Golkar ahli membangun dan ahli dalam berkarya demi mencapai cita-cita besar bangsa Indonesia, di sinilah harapan itu dibangun, meski terasa nilai kritis sesegera mungkin dimasukkan kedalam “kotak Pandora” demi kepentingan Pilkada 2018 dan Pileg serta Pilres 2019.
Panitia Munaslub Partai Golkar 2017 patut diapresiasi, karena berhasil menyematkan harapan lewat jargon yang “menyihir”, yaitu: “Menuju Golkar Bersih, Golkar Bangkit untuk Indonesia Sejahtera”. “Menuju Golkar bersih….” dapat diartikan bahwa saat ini Partai Golkar belum bersih, saatnya Airlangga Hartarto bersih-bersih.
Kata “bersih” dan “solid” dalam sambutan Airlangga Hartarto hanya terulang masing-masing dua kali, namun di sanalah sebuah politik harapan tersemai, Golkar bersih, Golkar Bangkit, Golkar Menang. Political hope terpenting dalam sambutan Airlangga adalah “karya dan kerja, dua kata satu hati”. Karya mencerminkan Golkar, sementara kerja, kerja dan kerja mencerminkan jargon pemerintahan Jokowi-JK. Dalam sambutan itu menurut saya terkandung kecemasan dan harapan Partai Golkar sekaligus.
Tiga tahun terakhir ini Partai Golkar diserang dari segala penjuru angin, diterpa badai dahsyat, namun Partai Golkar dapat mengatasinya lewat mekanisme internal, meski kali ini Munaslub Golkar tidak terlalu kolosal, namun Jokowi lewat sambutannya pada Munaslub 2017 ini nampaknya berharap agar Golkar benar-benar utuh dan solid, kata “utuh dan solid” dalam sambutan Jokowi masing-masing terulang dua kali, dan kata pecah hanya terucap satu kali.
Dari sambutan Jokowi itu, kali ini saya rasa Jokowi benar-benar berharap Golkar tetap utuh dan solid hingga 2019, namun selepas itu saya kembali kepada suatu keraguan yang sama, keraguan itu terasa sama dengan respon saya atas sambutan Jokowi pada Munsalub Bali 2016, tulisan saya itu bertajuk, ”Tuan Presiden Jangan Amputasi Partai Golkar” (Baca: Sulaisi Abdurrazaq & Hadiri Abdurrazaq, Membaca Ulang Demokrasi Kita, 2017).
Bahwa benar sebagai kader Golkar saya sangat berharap Golkar bersih, solid dan utuh, namun saya kecewa karena dalam Munaslub Golkar 2017 ini tak ada daya kritis yang dapat menjadi pelajaran bagi generasi milenial, isinya tak lebih dari sekedar meneguhkan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum baru Partai Golkar mengganti Setnov.
Namun saya berdoa, semoga Partai Golkar benar-benar bersih, solid, bangkit, utuh dan menang dalam kontestasi demokrasi 2018-2019 demi Indonesia adil, makmur dan sejahtera. Terpenting, semoga Partai Golkar tidak kembali kepada paradigma lama, yakni tidak lagi sebagai “partainya penguasa (the ruler’s party) yang hanya menjadi mesin Pemilu atau alat politik untuk melegitimasi kekuasan, namun kembali kepada jati dirinya sebagai kekuatan pembaru sebagaimana pesan Ikrar Panca Bhakti Golongan Karya. Amien……[]
Sulaisi Abdurrazaq, Sekretaris DPD Partai Golkar Kabupaten Pamekasan.