PERIODE II

Batan Bedah Raperda Agraria, Ini Hasil Kajian Kritisnya

Media Jatim

MediaJatim.com, Sumenep – Sidang paripurna di gedung DPRD Sumenep bakal berlangsung Senin (15/1) hari ini. Agendanya merampungkan beberapa raperda, salah satunya Perda Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B).

Barisan Ajaga Tana Ajaga Na’ Potoh (Batan) yang konsen terhadap isu agraria, baru saja dapat dokumennya. Meski dadakan, akhirnya Batan menggelar bedah raperda Ahad (14/1) siang pukul 14.00 di Kantor PCNU Sumenep bersama 3 anggota DPRD setempat, Ketua Komisi 2 Uyunk, Juhari, dan Sukri.

“Kami bersepakat bahwa banyak yang krusial dalam raperda. Karena itu, kami mendesak agar pengesahannya ditunda,” tegas K A Dardiri Zubairi, pegiat Batan.

Beberapa yang krusial itu tertuang dalam catatan naskah akademik perda PLP2B yang ditulis Kiai Dardiri. Darurat agraria di Sumenep, ungkqpnya, sudah ibarat piramida yang bergerak semakin lebar ke bawah, menjadi lebih luas, lebih rumit dan kompleks.

Dalam keadaan yang semakin kompleks inilah, tambah Kiai Dardiri, persoalan-persoalan agraria di kabupaten ujung timur pulau Madura ini tidak bisa kemudian sekedar dipahami hanya dalam aspek perampasan lahan semata.

“Tetapi yang juga harus kita sadari bahwa kini persoalan tersebut berdiri di atas banyak kepentingan yang sifatnya cenderung politis dan borjuistik; satu keadaan dimana absennya keadilan dan kemanusiaan dianggap hal biasa demi melanggengkan egoisme dan hasrat pribadi untuk memupuk kebanggaan materiil di atas ketimpangan sosial,” bebernya.

Diterangkan, setelah maraknya pembangunan industri tambak yang kini telah banyak meresahkan warga, baru-baru ini sejumlah lahan produktif pertanian juga telah banyak yang dialihfungsikan menjadi area perumahan-perumahan secara “liar”.

Dalam penghitungan tahun 2016 yang lalu, lahan pertanian di Sumenep senantiasa terus berkurang 5 persen setiap tahun, ternyata itu karena alih fungsi lahan ini yang terjadi dan seolah-olah tanpa penanganan. Ya, terkesan dibiarkan oleh pemerintah daerah.

Melihat kenyataan ini, Batan berpandangan semua elemen memang tak boleh sekedar duduk-duduk santai lagi. Keadaan sudah semakin ruet. Sudah saatnya kita memikirkan dengan serius apa yang bisa kita lakukan ke depan.

“Cukup sudah lahan-lahan itu hangus di hadapan mata kita. Hanya dengan diam saja, manampa dagu di pertengahan musim hujan ini tentu tak akan pernah menghentikan para pemodal itu membeli tanah kelahiran kita ini. Setidaknya ada satu hal yang bisa kita lakukan,” tegas Kiai Dardiri.

Baru-baru ini, tambahnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumenep telah mengajukan Naskah Akademik Peraturan Daerah Kabupaten Sumenep tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Tanpa uji publik yang melibatkan semua stakeholder terkait, ternyata Perda tersebut sudah akan disahkan.

Baca Juga:  Didukung 25 DPC, Bayu Airlangga Berpeluang Kuat Pimpin Partai Demokrat Jatim

“Tetapi mujur, dua hari yang lalu, Kamis, 11 Januari 2018, ternyata perda tersebut gagal disahkan karena peserta sidang tidak memenuhi kuorum. Dan ternyata, tepat tadi malam, Sabtu 13 Januari 2018 sekitar pukul 19.30 WIB, terdengar kabar bahwa ternyata Naskah Akademik PLP2B Pemkab Sumenep tersebut, akan segera disahkan Senin 15 Januari 2018,” sesalnya.

Bagi Batan, itu nampak terburu-buru. Batan menekankan, tentu masih ingat bagaimana Perda RTRW dulu tiba-tiba menetapkan tanpa sepengetahuan publik 1.723 ha sebagai lahan tambak udang. Apakah Perda PLP2B ini akan sema dengan Perda RTRW?

“Mengelabuhi publik dengan tiba-tiba mengesahkan satu kebijakan menyangkut orang banyak tanpa persetujuan/kajian publik terlebih dahulu. Nah, dalam keadaan ini, kita memang perlu bertanya: apakah Perda PLP2B ini sudah benar-benar dirancang dengan kritis dan strategis? Atau sekedar formalitas? Ke mana keberpihakan Perda PLP2B ini? Apakah ia betul-betul dirancang untuk kepentingan rakyat secara luas atau sekedar dirancang untuk kepentingan para pemodal?,” selidik Kiai Dardiri.

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada beberapa catatan kritis yang diajukan Batan untuk menjadi pertimbangan kembali. Catatan kritis tersebut harus dimaknai sebagai tanggapan dan saran bagi perbaikan Naskah Akademik Perda ini yang rencananya akan segera disahkan.

Pun demikian, catatan tersebut bisa juga dianggap sebagai suara masyarakat yang dalam Perda PLP2B BAB IV tentang Perencanaan dan Penetapan pasal 15 ayat 1, 2 dan 3 diperbolehkan dan sama-sama punya hak untuk bersama-sama mempertimbangkan isi Perda PLP2B sebelum disahkan.

Beberapa catatan kritis Batan, meliputi lima hal.

Pertama, tentang jumlah lahan seluas 20.860,2 ha sebagaimana tertuang dalam BAB IV tentang Perencanaan dan Penetapan pasal 7 ayat 5 perlu dijelaskan lebih rinci. Dalam Naskah akademik itu hanya disebut jumlah lahan perkecamatan sebagaimana tertuang di pasal 8 . Untuk menguatkan legalitas dan legitimasi Perda ini penting jumlah lahan perdesa di tiap kecamatan tersebut dijelaskan. Lebih ideal lagi jika penghitungan jumlah lahan menukik hingga ke pemilik lahan, by name by address seperti Perda PLP2B di Kabupaten Temanggung.

Kedua, terkait soal penentuan syarat-syarat alih fungsi lahan sebagaimana dalam BAB IX Bagian Ketiga tentang Alih Fungsi Lahan pasal 44 ayat 3 nampaknya terlalu buru-buru sehingga terkesan sepihak. Keterlibatan publik untuk ikut campur mempertimbangkan alih fungsi lahan rasa sengaja dicegal dalam Perda PLP2B ini. Padahal kita meyakini sepetak tanah itu memiliki nilai sosial. Jadi tidak boleh persoalan alih fungsi lahan kemudian disederhanakan hanya dalam relasi pemilik dan pembeli/pengalihfungsi. Bagaimanapun suara publik sangat penting. Jadi dalam pasal 44 ayat 3 poin a tersebut mungkin bisa dijelaskan dan diarahkan, bahwa yang dimaksud kelayakan strategis juga harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Baca Juga:  RSU Mohammad Noer Bantah Dugaan Pungli Rekrutmen Pegawai Rp60 Juta, Nono: Silakan Buka Buktinya!

Ketiga, selanjutnya masih tetap soal alih fungsi lahan produktif pertanian dan pangan. Dalam pembacaan kami, tepat di pasal 50 ayat 3 nampak absurd dan mendua. Dalam pembacaan Batan, perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan harus dalam konteks melindungi petani lokal, jadi sebisa mungkin kepelikan lahan produktif pangan itu tidak boleh dialihfungsikan, sebagaimana dalam ayat 3 yang nyata memberi kelonggaran dan kebebasan untuk para pemilik lahan untuk mengalihkan kepemilikannya kepada siapa saja.

Keempat, kali ini tentang sanksi. Dalam soal sangsi Perda PLP2B ini dalam pembacaan kami terlalu lunak. Sama sekali bagi pelanggar, perbuatannya tak digolongkan sebagai unsur pidana. Karena mestinya Perda ini harus memberi efek jera bagi orang-orang rakus yang mau mengalihfungsikan lahan. Seperti Perda PLP2B Kabupaten Probolinggo, seharusnya Perda PLP2B Kabupaten Sumenep juga menentukan sangsinya bagi pelanggar, dalam bentuk pidana dan/atau denda yang berat. Jadi bukan sekedar Sangsi Administratif sebagaimana di BAB XV di Perda PLP2B Kabupaten Sumenep ini.

Kelima, yang juga tak kalah penting adalah dalam aspek Pengembangan. Pengembangan lahan pertanian pangan berkelanjutan bagaimanapun tetap harus berbasis kerakyatan. Jadi harus dikelola atas nama masyarakat lokal sendiri. Maka dari itu, sebagaimana dalam BAB V tentang Pengembangan pasal 27 ayat 2 yang memperbolehkan korporasi untuk mengendalikan pengembangan lahan pertanian pangan berkelanjutan tersebut mestinya tidak diizinkan. Karena logika korporasi itu dalam bentuk apa pun pasti kapitalistik, tidak lagi akan mendasarkan dirinya pada kepentingan penduduk lokal secara luas. Jadi membiarkan korporasi ikut campur menguasai dalam mengembangkan lahan pertanian pangan sama saja Perda PLP2B semakin memperkecil atau bahkan menghabisi kesempatan masyarakat lokal Sumenep berdaulat dalam soal pertanian itu sendiri.

Setidaknya lima hal di atas ini adalah hasil pembacaan Batan terhadap Perda PLP2B Kabupaten Sumenep. Maka dari itu, sebelum Naskah Akademik Perda PLP2B ini disahkan dalam sidang Paripurna, Batan meminta dengan hormat agar Perda yang dimaksud ditunda agar tidak ditetapkan pada besok, Senin 15 Januari 2018 M. untuk kemudian dipertimbangkan ulang.

“Karena ini semua menyangkut seluruh masyarakat Sumenep secara umum dalam jangka yang panjang,” tukasnya. (a6/sule)