Opini  

RBT, Perubahan, dan Regenerasi Kepemimpinan

Media Jatim

Dalam catatan sejarah, setiap detik perubahan di Indonesia dimulai dari gerakan pemuda. Peran nyata para pemuda dapat diklasifikasikan menjadi 5 gelombang perubahan dalam kurun waktu 20 tahun sekali.

Berawal dari sebuah kesadaran para pemuda dalam membangkitkan semangat nasionalisme 1908, melakukan sumpah bersama dengan elemen pemuda 1928, lantang menyatakan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 1945, bangkitnya era Orde Baru 1966, dan yang bergulir hingga sekarang yaitu Era Reformasi 1998.

Bahkan juga tidak luput dari catatan sejarah, banyak sekali tokoh muda yang berhasil meraih tampuk kepemimpinan di tingkat nasional. Di antara mereka, ada Bung Karno dan Bung Hatta yang disumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI saat masih berusia 44 dan 43 tahun.

Tidak jauh beda dengan sang proklamator, Sutan Syahrir dan M. Natsir juga menjadi Perdana Menteri saat berusia 40 dan 42 Tahun. Demikian juga dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman, beliau wafat sebagai pahlawan pada usianya yang begitu muda, yakni 36 tahun.

Dalam derajat tertentu, regenerasi para pemuda pahlawan bangsa mulai bermunculan di seluruh penjuru tanah air. Mereka hadir bersama konteksnya masing-masing untuk menorehkan sejarah pengabdian, menumbalkan usia yang relatif muda demi kejayaan bangsanya. Agenda-agenda reformasi yang telah disepakati sejak satu dekade lalu, terus diperjuangkan sebagai amanah yang harus diimplementasikan, termasuk di bumi Gerbang Salam, Kabupaten Pamekasan.

Kemunculan Ra Baddrut Tamam (RBT) bersama Raja’e sebagai pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati 2018-2023 di Pamekasan adalah geliat pemuda yang memiliki idealisme murni, dinamis, kreatif, dan inovatif. Gabungan antara keduanya adalah energi besar bagi perubahan sosial di Pamekasan. Apalagi mereka sama-sama memiliki latar belakang aktivis di lingkungan organisasi pergerakan dan perhimpunan mahasiswa. Kehadiran RBT-Raja’e pun mengemban misi perubahan sosial dan pembangunan kerakyatan yang berkeadilan.

Usia RBT dan Raja’e, seperti disampaikan oleh RBT sendiri pada saat menyampaikan pidato politiknya di kantor KPUD Pamekasan setelah mendaftarkan diri sebagai Cabup-Cawabup, juga tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh yang saya sebut di atas saat didaulat menjadi pemimpin. Usia keduanya terpaut sedikit, sekitar 41 dan 42 tahun.

Mirip dengan Bung Karno dan Bung Hatta, mereka menjadi asa atas dahaga masyarakat akan sebuah keadilan pembangunan fisik dan mental yang lama terjajah. Semacam lembaran kertas putih yang siap ditulis dengan tinta kejujuran. Seteguk air di tengah gurun tandus kemunafikan dan keculasan. Maka terlalu naif bagi pasangan “BERBAUR” ini jika harus mencampakkan harapan-harapan itu sebagai sampah, saat kelak ditakdirkan terpilih untuk memimpin birokrasi di Kabupaten Pamekasan.

Baca Juga:  Nomor Urut Satu dan Ayat Kemenangan

Harapan rakyat Pamekasan akan terwujudnya pembangunan yang berkeadilan disandarkan kepada kedua tokoh muda yang membawa jargon “Pemimpin Baru, Harapan Baru” tersebut. Bukan menafikan eksistensi kaum sepuh. Tapi, benar-benar dibutuhkan energi besar untuk menggerakkan harmoni perubahan sosial di kota Gerbang Salam ini.

Tahun politik di musim ini adalah peluang besar yang terbuka lebar untuk melakukan regenerasi kepemimpinan. Memang, sudah tidak ada lagi penjajahan yang bisa dijadikan sasaran perlawanan di medan peperangan. Kediktatoran juga telah tumbang mencium bumi. Tapi kemiskinan, kebodohan dan ketimpangan pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan pendidikan, hingga kini masih menjadi musuh abadi yang harus dilawan dan dientaskan.

Sesekali, mari tengok sekeliling kita. Di tepi trotoar dan sudut kampung, toko kelontong sepi pembeli hingga dagangan menjadi kadaluarsa dan tak terjual sia-sia. Tetangga sekitar lebih suka belanja di mini market milik korporasi. Sirkulasi perekonomian tingkat mikro menjadi stagnan, lesu dan tidak berkembang. Akibatnya, daya beli dan daya jual masyarakat di kelas bawah menjadi lemah karena pasokan hanya berputar di level ekonomi menengah ke atas.

Kondisi ini menjadi perhatian serius paslon Cabup-Cawabup BERBAUR (Bersama Baddrut Tamam dan Raja’i) dengan menyerukan gerakan moral “Berbelanja Ke Toko Tetangga” untuk menghidupkan dan memajukan aktivitas ekonomi masyarakat kecil. Sikap peduli dan saling berbagi tidak selalu identik dengan memberikan sesuatu kepada sesama. Membeli kebutuhan sehari-hari di toko tetangga selama masih tersedia, adalah sebuah langkah terpuji yang dapat mengangkat derajat ekonomi kerakyatan dari level yang paling bawah.

Gerakan itu hingga kini masih viral di media sosial. Sambutan masyarakat begitu positif dan mendapat apresiasi dan dukungan dari para pengamat sosial dan ekonomi. Selain menciptakan gairah kehidupan ekonomi yang lebih dinamis dan progresif, gerakan tersebut juga dipandang mampu menyambung tali silaturrahiem. Suasana keakraban yang mulai tergerus oleh hiruk-pikuk kehidupan yang semakin hedonis dan menyeret pada sikap individualis juga akan terjalin. Hubungan sosial akan kembali terbangun melalui gerakan yang oleh sementara kalangan secara sinis dipandang sebagai sesuatu yang remeh dan politis ini.

Baca Juga:  Politisasi Sepak bola: Etika Politik di Titik Nadir

Tidak hanya RBT dan Raja’e, segenap barisan generasi muda harus menyadari fitrahnya sebagai pemimpin. Setidaknya, kita mampu menjadi brikade perubahan. Gerakan ” Belanja Ke Toko Tetangga” hanya sebuah pelecut agar kita semua membuka mata.

Bahwa, masih banyak kesenjangan di luar ekonomi yang saat ini terjadi di kabupaten kita tercinta. Beban pendidikan yang sama beratnya antara di desa dan di kota, antara yang bernaung di bawah instansi pemerintah dan yang berusaha tegak berdiri bersama kekuatan di luar pemerintah, ternyata tidak diimbangi dengan sumberdaya pendukung yang sama, adil dan merata. Meskipun, dinamika dan tantangannya juga tidak jauh berbeda.

Begitu juga dengan pertanian kita. Target hasil tani yang berkwalitas, melimpah dan dipatok pemerintah tidak akan pernah tercapai, selama belum didukung dengan ketersediaan alat-alat pertanian, pendampingan dan pengetahuan strategi cocok tanam yang efektif dan efisien. Sehingga, Bapak tani tidak pernah merasa bangga dengan profesinya sebagai petani.

Yang terjadi selama ini hanyalah (maaf) kepalsuan kebijakan yang telah lama “menggantung” harapan masyarakat. Inilah tantangan masyarakat kita ke depan yang membutuhkan peran serta generasi muda sebagai nafas zaman, tumpuan masa depan, dan aktor utama dalam setiap peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat.

Rangkulan tangan-tangan generasi muda yang direpresentasikan oleh kehadiran RBT-Raja’e diharapkan bisa berperan seperti yang disampaikan oleh sosiolog Peter L Berger, yaitu untuk mengupas topeng-topeng kepalsuan di tengah-tengah masyarakat.

Sepertihalnya dua sisi koin mata uang, pemuda dan perubahan adalah dua hal paten yang tidak dapat terpisahkan. Perubahan tidak akan pernah terjadi tanpa keterlibatan peran generasi muda di dalamnya. Semuanya, adalah kita yang menentukan: menjadi generasi pengganti atau yang digantikan. Salam perubahan.

*) Penulis adalah alumni PP. Annuqayah Latee, bagian dari keluarga besar Majelis Alumni IPNU Cabang Pamekasan.