Madura adalah pulau kecil dengan empat kabupaten di dalamnya. Secara administratif, pulau ini merupakan bagian dari provinsi Jawa Timur yang beribu kota di Surabaya. Meski Madura-Surabaya sudah dihubungkan oleh Jembatan Suramadu, namun keberadaannya masih berfungsi sebatas jalur tranportasi kendaraan dan belum mampu menjadi jalur transformasi peradaban dan kemajuan.
Malangnya, meski jarak antara Madura-Surabaya terbilang dekat, namun masih terdapat satu kabupaten di Madura yang hingga kini menyandang status Daerah Tertinggal, yaitu Sampang. Sangat ironis memang, Surabaya dengan segala kemajuannya di segala bidang, ternyata belum mampu mentransformasikan indikator-indikator kemajuan dan perubahan kepada Madura, meski usia Suramadu tak lagi belia.
Silih bergantinya nama-nama Bupati sebagai pemangku kebijakan di sejumlah kabupaten di Madura, juga belum mampu mengangkat derajat kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, SDM (Sumber Daya Manusia) dan SDA (Sumber Daya Alam) secara signifikan di Pulau Garam tersebut. Kwalitas pertanian kita masih anjlok dan kemampuan untuk mengelola hasil alam melalui Badan Usaha milik rakyat, terbilang masih jauh api dari panggang.
Tak terkecuali di Pamekasan, kabupaten kecil yang memiliki banyak potensi usaha mikro ini juga masih tersengal-sengal dalam mengembangkan produk kearifan lokal yang notabene ada di masyarakat pedesaan. Entah karena kurang seriusnya pemerintah dalam memprogramkan, atau mungkin karena pendampingannya yang perlu dilakukan secara lebih konkret, akuntable, terukur dan terarah.
Sebuah Lembaga Kursus dan Pelatihan milik swasta yang beralamat di Jl. Purba Pamekasan, baru-baru ini membuka Pendaftaran Gratis Program Kewirausahaan dengan tema “Internet Marketing Berbasis Keunggulan Lokal Madura” sesi dua. Penawaran pendaftaran tersebut dipublikasikan melalui sebuah akun Facebook milik lembaga tersebut.
Artinya, sangat ironis jika kepedulian, gagasan, dan ide untuk membranding keunggulan potensi lokal yang perlu diangkat dan dikembangkan, banyak muncul dari kalangan swasta. Kekayaan tradisi turun temurun, kerajinan, keterampilan dan lingkungan alam yang bernilai market tinggi, secara moral memerlukan penanganan pemerintah agar dapat mengangkat derajat hidup masyarakat di lingkungan desa.
Membangun masyarakat desa, operasionalisasinya harus tetap menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal. Hanya saja, peran pemerintah sangat diharapkan agar terjadi hubungan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Di samping itu, juga mendapat pengakuan hukum dan administratif secara legal formal.
Internet Marketing Berbasis Keunggulan Lokal Madura yang menjadi fokus pelatihan oleh lembaga yang saya sebut di atas, akan semakin efektif jika outputnya mampu memasarkan produk kreativitas milik rakyat desa. Maka perlu digagas berdirinya BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) sebagai langkah penguatan terhadap lembaga-lembaga ekonomi desa. Pendayagunaan unit-unit usaha ekonomi lokal ini, akan mampu mengeksplorasi berbagai ragam jenis potensi lokal yang ada di desa dan akan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakatnya.
Sebenarnya, pemerintah sudah tiga tahun yang lalu membuat payung hukum untuk mengatur pembentukan BUMDes ini. Peraturan itu, tertuang dalam Permendesa Nomor 4 tahun 2015. Isinya adalah tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan BUMDes yang menjadi pedoman bagi daerah dan desa.
Namun, selama ini pemerintah Kabupaten Pamekasan lebih fokus menciptakan citera Kabupaten sebagai Kota Batik. Hal ini dilakukan dengan cara meresmikan desa-desa penghasil batik sebagai Sentra Kerajinan Batik dan menyulap tempat-tempat tertentu sebagai Pasar Batik.
Sedangkan usaha batik rumahan di sentra-sentra tersebut tidak diakomodir oleh pemerintah desa setempat, sehingga beroperasi tanpa pendampingan, pemberdayaan dan subsidi modal yang dapat mengangkat nilai produksi yang lebih efisien, bernilai market tinggi secara kwalitas dan kwantitas. Sebut saja UD. Aneka di Desa Klampar, adalah unit usaha batik milik pribadi yang memiliki badan hukum, namun tanpa diakomodir oleh pemerintah desa.
Seperti ada sisi penting yang terlupakan, BUMDes belum bisa menjadi wadah usaha batik bersama milik rakyat dan desa dengan sistem permodalan dan sarana-prasarana yang memadai. Padahal jika ini dijalankan, akan berimplikasi baik bagi pembangunan desa. Pengangguran bisa diminimalisir, dan desa memiliki aset bisnis yang dapat menopang dana bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Dari data Kementerian Desa, tercatat sebanyak 1.022 BUMdes telah berkembang di seluruh Indonesia, yang tersebar di 74 Kabupaten, 264 Kecamatan dan 1022 Desa. Kepemilikan BUMDes terbanyak berada di Jawa Timur dengan jumlah 287 BUMdes, kemudian Sumatera Utara dengan 173 BUMDes.
Khusus di Jawa Timur, rasio jumlah BUMDes ini masih tidak sebanding dengan jumlah desa yang tersebar. Maka perlu program baru pasca kontestasi politik tahun ini, yang mampu digerakkan oleh pemerintahan baru di kabupaten setempat untuk mendongkrak taraf hidup ekonomi masyarakat. Salah satunya melalui optimalisasi pemanfaatan Dana Desa dan pengembangan BUMDes.
Seakan gayung bersambut, gagasan tentang pengembangan BUMDes ini mendapat dukungan dari paslon Cabup-Cawabu Berbaur (Barsama Ra. Badrut Tamam dan Raja’e) di Kabupaten Pamekasan. Pasangan Muda dan ideal ini kebetulan mendapat nomor urut satu.
Dari 17 Program aksi unggulan yang ditawarkan, point 3 dan 14 merupakan program yang memberikan harapan bagi pembedayaan BUMDes, yang setali tiga uang juga akan mampu meciptakan lapangan kerja baru dengan target 10.000 wirausaha baru berbasis potensi desa.
Program Satu Desa Satu Sarjana Pendamping BUMDes yang digagas oleh Berbaur, merupakan angin segar bagi kelangsungan BUMDes sebagai motor penggerak roda ekonomi masyarakat desa, di bawah naungan pemerintah desa dan kabupaten.
Hal ini sejalan dengan empat tujuan pendirian BUMDes, yaitu : Meningkatkan perekonomian desa, meningkatkan pendapatan asli desa, meningkatkan pengelolaan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa.
Oleh karena itu, perlu upaya serius dari Calon Bupati-Wakil Bupati Pamekasan yang memiliki visi-misi kerakyatan dan beri’tikad baik membangun Pamekasan dari bawah, merata dan berkeadilan. Agar kegiatan wirausaha tidak hanya berpusat di kota, tapi juga terjadi sirkulasi usaha di wilayah desa. Sehingga slogan “Membangun Desa, Menata Kota” benar-benar terealisir melalui pemberdayaan usaha dari tingkat mikro di desa.
Jika Berbaur mendapat restu dan dukungan masyarakat Pamekasan, mimpi masyarakat desa untuk memiliki Badan Usah Milik Desa yang menganut asas kemandirian, pemberdayaan dan pembangunan ekonomi kerakyatan akan segera tercapai dan indah pada waktunya.
Banyak hal yang bisa diakomodir oleh BUMDes ke depan. Seperti jasa usaha keuangan sehingga masyarakat tidak menggantungkan kebutuhan ekonomi kepada Bank-Bank konvensional. Bisa juga dengan menyediakan jasa angkutan darat dan air, listrik desa, penyaluran sembilan bahan pokok ekonomi desa, perdagangan hasil pertanian yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, kuliner dan agrobisnis ; industri dan kerakyatan.
Inilah mimpi kita bersama. Semua akan terwujud jika “Pemimpin Baru Harapan Baru” yang lahir di tengah-tengah masyarakat benar-benar hadir bersama kepercayaan dan dukungan masyarakat. Ikhtiar ini lahir karena berangkat dari aspirasi masyarakat berdasarkan kondisi real ekonomi yang mereka rasakan berpuluh-puluh tahun lamanya.
Maka memilih, menjemput dan mengantarkan figur pimpinan yang “Berbaur” dengan masyarakat adalah solusi paten yang tidak bisa tawar dan digugat oleh kepentingan apa pun. Karena hanya calon pemimpin yang “Berbaur” yang mengerti kegelisahan sosial dan ekonomi rakyatnya. Rakyat yang bosan dengan realitas pengangguran dan membutuhkan lapangan pekerjaan tanpa harus mengadu nasib di negeri perantauan. Wallaahu a’lamu.
Oleh : Moh. Jufri Marzuki
Penulis adalah masyarakat desa yang konsisten menyuarakan perubahan dari arah pinggiran.