Kekuatan Kata yang Simpang Siur

Sekitar tahun 1982, adalah kali pertama seorang Widji Tukul–aktifis–sastrawan yang hingga kini dinyatakan hilang, merasakan betapa dahsyatnya kekuatan kata.

Ketika itu, Widji Tukul diundang untuk membacakan puisi pada perayaan 17 Agustusan. Puisi pendek berjudul “Kemerdekaan”, ia baca dengan lantang. Puisi itu pendek saja: Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai.

Sehari kemudian, panitia penyelenggara disalah satu kampung di daerah Solo itu, dipanggil ke kelurahan. Itulah pertama kali Widji Tukul mengalami repsesi akibat kekuatan kata.

Kala itu, negara takut. Maka pilihan terbaik adalah senjata yang bicara. Letusannya bisa membunuh kata, makna dan pemiliknya.

Pelarian Widji Tukul ke Pontianak dan beberapa kota lain karena setiap kata yang ia ciptakan, diteriakkan dengan lantang, tak kalah menyakitkan dari senapan.

Baca Juga:  Mengeja Tri Motto PMII

Hingga kini, Widji Tukul dinyatakan hilang. Setelah sekian tahun, tak ada tanda ia akan pulang. Dulu, peristiwa macam ini menjadi peringatan bahwa kekuatan kata bisa menyebabkan nyawa hilang. Tumbang.

Dulu, kata untuk mempertegas kebenaran dan mengalahkan kesemena-menaan. Kini kekuatan kata menjadi simpang siur. Mungkin yang keliru, bukan kata. Melainkan makna dan siapa yang membawa.

Ketika dengan kata mahasiswa teriak, sebagian menuding mereka hanya “ngejar” proyek. Saat hak preogratif Bupati disoal, ada sejumlah pihak yang menuduh iri. Saat warga bodoh pun menolak tambak, ada pihak yang mencap anti kemajuan.

Baca Juga:  Seorang Kawan yang Marah pada Wartawan

Kebenaran kata-kata yang disuarakan dengan tidak begitu kuat itu, banyak yang kalah. Karena kesemena-menaan punya kekuatan tidak terbatas. Punya kroco dan penjilatnya. Hari ini, kebenaran kata-kata sudah akrab dengan angka. Uang. Kekalahan pasti menjadi milik mereka yang miskin, tanpa peluang menang.

Kata menjadi simpang siur maknanya. Benar dan salahnya, didasari dari siapa dan apa yang dia punya. Siapa lawannya. Hari ini, ketajaman kata tak ubahnya intrik politik belaka.

Jika diumpamakan serupa puisi Widji Tukul: Kata, Paling Tajam milik penguasa (uang). Kata Rakyat, hanya jerat belaka. (Nur Khalis)