Seni Politik dalam Perspektif Filsafat

Media Jatim

Soal batasan dalam politik ini hanyalah pandangan sementara yang dapat berubah. Penjelasan selalu dibutuhkan di lingkungan kaum elit terpelajar, dan di lingkungan elite feodal. Kebenaran mengenai batasan tersebut akan muncul kalau sudah terjelaskan. Seperti batasan bahwa money politic itu haram dari sudut yang berbeda, money politik tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Manusia sendiri yang terpengaruh dengan money politic yang tidak bisa menyaringnya dengan baik.

Sebagian dari kita sebagai marginal society juga menganggap bahwa politisi itu rendah, kurang bermartabat karena mengganggap bahwa politisi selalu mengobral janji, dan melakukan money politic saat jelang pemilihan umum (PEMILU). Sebagian menurut kaum elite feodal politisi itu indah, bagus, humoris, dan humanisme, namun belum tentu relegius, karena politisi itu ibarata tukang ngamen di tempat “PUB” yang meminta uang melalui musik, pengamen menjual sesuatu yang indah, yaitu musik, begitu juga politisi. Namun, mengapa kita selalu memandang rendah mereka?

Musik tidak haram jika tidak bertentangan dengan nilai agama. musik itu bebas, begitu juga politisi. Penggolongan haram tidaknya musik itu hanya bagi seseorang yang membenci seni, membenci politisi karena pernah mengalami hal yang bersangkutan dengan dosa. Agama itu indah dan tidak membatasi dengan sesuatu yang indah selagi tidak merugikan yang bersangkutan.

Beberapa orang mungkin tidak pernah peduli dengan batasan musik, dan banyak pula politisi di republik ini mereka sering mengawinkan musik dengan kebebasan berpolitik. Bagi mereka, musik hanya berupa harmoni suara yang didengar, setelah itu habis pokok persoalan begitu juga politik, selesai PEMILU siapa yang menang, dengan cara apa mereka menang, publik tidak peduli.

Filsuf Nietzche mengatakan, “hanya yang tidak memiliki sejarah yang dapat diberi batasan” Nyanyian politisi memiliki sejarah dan mempunyai historical dan perkembangan sendiri disetiap daerahnya, dengan demikian maka sulit diberi batasan bagi politisi.

Dinegara manapun politisi itu sama, mereka berjanji membangun jembatan, bahkan ditempat yang tidak ada sungai, mereka yang terlalu cerdas untuk terlibat dalam politik dihukum melalui pemerintahan oleh mereka yang lebih bodoh.

Kebenaran tidak ditentukan oleh pilihan mayoritas, karena politik bagi politisi bagian dari seni masalah, menemukannya terlepas dari masalah itu ada atau tidak ada mendiagnosisnya secara tidak tepat, dan menerapkan resep yang salah.

Hal terberat dalam kampanye politik apapun adalah bagaimana menang tanpa membuktikan bahwa anda (red; calon) sebagai politisi tidak layak menang, politisi adalah seni yang bersifat dan bersikapnya halus untuk mendapatkan susu demi orang miskin, kaum mustadz’afiin, serta bisa mendapatkan dana kampanye dari orang kaya, dari milyarder dengan menjanjikan berbagai macam visi-misi, melindungi koruptor dari ancaman penjara dunia, sehingga di Indonesia banyak politisi perempuan selalu tumbang, kalah tidak bisa bersaing, berkompetisi dengan sehat, karena politisi perempuan tidak bisa memoles (Mak up) dua wajah, beda dengan politisi laki-laki yang berani membuang uang untuk menelusuri keluarga para konstituennya.

Baca Juga:  11 Tahun Jadi Perajin Keris, Empu dari Sumenep Ini Bisa Raup Cuan Rp50 Juta Sekali Bikin!

Karena pada prinsipnya, para politisi ulung tidak akan pernah melihat berakhirnya kesulitan, sampai para pencinta kebijaksanaan mendapatkan kekuasaan politik, atau pemegang kekuasaan menjadi pencinta kebijaksanaan politik sebuah perjuangan kepentingan yang berkedok pertarungan prinsip tindakan kepentingan umum untuk kepentingan keluarga.

Prinsipnya semua orang dilahirkan sama, kecuali para politisi”. Sejarah hidup bagi politisi hanyalah gossip, tetapi skandal adalah gossip yang dibuat membosankan oleh moralitas.

Politik dianggap profesi tertua yang menggiurkan kedua, (yang pertama adalah pelacur), saya akhirnya menyadari bahwa politisi adalah cermin yang amat dekat dengan yang pertama. (Ronald Reagan).

Kalau pemilu mengubah sesuatu, maka ini adalah pernyataan illegal, dan irrasional. Betapa tidak masuk akal kita hanya memilih pasangan dua orang diantaranya sekian ratus ribu rakyat, maka bagi saya lebih baik memilih 150 miss Indonesian yang jelas lebih cantik, lebih brilliant dan lebih transparan dalam segala hal.

Kita punya banyak orang yang terpercaya, jujur, intelektualis, serta beragama dalam negeri Indonesia tercinta ini, tetapi kita kekurangan amat sangat orang yang berani jujur, dan berani baik untuk ditempatkan dalam kepercayaan publik (red; Bupati).

Bukankah Hakikat politik bahwa orang terbaik, terjujur, (bukan terkaya, dan bukan tertampan) harus terpilih.? Di negeri ini orang terbaik dan terjujur malah tidak berpolitik, karena tidak mau mengatur para pengikutnya.

Politik tidak tahu mengapa, tapi nampaknya memiliki kecenderungan memecah bangsa, ikatan persahabatan, bahkan persaudaraan memisahkan kita satu sama lain, karena memang kampanye politik dirancang untuk pesta pora emosional yang berusaha menarik perhatian dan issue riil dan mereka sebenarnya melumpuhkan apa yang kekuatan upacara remeh-temeh yang dapat secara formal diupayakan oleh para politisi, karena yang ada dalam pemikiran dan otak para politisi adalah selalu berfikir tentang pemilihan umum berikutnya, sedangkan seorang negarawan selalu berfikir tentang generasi yang akan datang.

Sebenarnya politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, dan perang politik sama bahayanya, apabila dibiarkan amarah menyangkut otak dan fikiran, maka saudarapun saling bermusuhan dan ini selalu terjadi disetiap pemilu.

Bila kita secara buta menerima sebuah informasi politik dari lawan politik, tak ubahnya kita ini seperti robot, kita berhenti tumbuh paling kurang dua pertiga kebodohan, dan kemalangan kita berasal daripada motivator (red; tim sukses yang berkedok provokator) dan para hakim penentu kebencian dan kebodohan (red; KPU) yang berkedok profesionalisme dan penyepulan label atas nama berhala politik.

Baca Juga:  Arungi Kehidupan Rumah Tangga dan Konflik di Dalamnya

Kita sadar bahwa manusia dan kodratnya adalah binatang yang berpolitik.(Arestoteles).
Diantara para politisi penghargaan terhadap para agamawan itu membawa keuntungan”.
Karena prinsipnya para agamawan itu ibarat anak panah yang hebat, tapi harus ada busur, partai dan politisi itulah busur idealismenya.

Kata-kata politisi yang sangat terkenal adalah keadilan tanpa paksaan adalah ketidak berdayaan, paksaan tanpa keadilan adalah tirani. Damai dan sejahteraan rakyat dan generasi kini dan yang akan datang akan aman, hanya jika bergantung kepada slogan patriotisme yang benar negara kita, jika benar tetap benar, jika salah dibilang benar.

Berfikir tentang perubahan sosial yang baik dalam pemilu bagi masyarakat konservatif, sama halnya selalu mengharap bersama, sementara bagi kaum revolusioner (red; politisi) dengan percaya diri mengharapkan utopia, keduanya salah.

Pemilu tidak dapat memberikan kepada sebuah negeri satu perasaan terarah (a sense of direction), yang kuat jika hanya memilki dua calon yang esensinya satu partai namun beda bendera mirip dalam prinsip dan tujuan mereka, ibarat kita makan dua biji kacang pada satu potong.

Terlepas dari rasionalisasi etis dan kepura-puraan filosofis politik elite feodal Pamekasan, ini adalah kejahatan politik” adalah sesuatu yang satu berkelompok yang berkuasa memilih untuk “melarang” tapi, dalam kelompok elite politik jaman now adalah sebuah kebiasaan banyak hal dalam politik terjadi lebih bukan karena kebetulan, akan tetapi karena faktor kelelahan daripada karena konspirasi.

Dengan penuh harap saya harus dan bahkan mesti belajar politik dan berperang, agar anak-anak dan cucu saya bisa mendapatkan kebebasan untuk belajar Bahasa, Gieografi, matematika, ekonomi, filsafat agar bisa mewariskan hak kepada anak-cucunya kelak untuk belajar kue sekalipun.

Anak cucu saya tidak harus belajar politik, karena politik adalah seni kemungkinan politik terdiri dari memilih antara yang membawa bencana dan hal yang tidak menyenangkan, karena satu kejelekan demokrasi dalam pemilu yang merasuk dalam otak saya adalah tirani partai yang sukses, dengan kekerasan dan penipuan dalam setiap penyelenggara pemilu.
Karena tidak ada bagian pendidikan khusus untuk para politisi, politisi mungkin adalah satu-satunya profesi yang untuk mendapatkannya, nampaknya tidak perlu pendidikan tinggi. Seorang politisi yang lebih diperlukan adalah uang untuk diperlukan dalam pemilu, karena prinsipnya perut dan kantong yang kosong tidak baik bagi penasihat politik”. (Albert Einstein)

Akh Fakih, M. Pd, Dosen TBIN Fakultas Tarbiyah STAIN Pamekasan.