Nama Amir Hamzah bukan nama asing di dunia sastra Indonesia. Karya-karyanya begitu memikat dan melekat di benak para penikmat sastra, bahkan sampai sekarang. Kemahirannya di bidang sastra serta pengaruhnya lah yang membuatnya diganjar sebagai salah seorang Pahlawan Nasional.
Penghargaan itu diberikan kepada anak tunggal Amir Hamzah, Tengku Tahura Alautiah di Jakarta, pada Senin, 10 November 1975. Piagam itu diserahkan langsung oleh Presiden Soeharto. Tahura menganggap pemberian gelar pahlawan tersebut begitu bermakna. Sebab, hal itu telah membuktikan peran dan jasa ayahnya buat bangsa.
Sebagaimana ditulis Tim Tempo dalam buku Parados Amir Hamzah, Amir Hamzah bukanlah pejuang yang dengan gagah berani mengangkat senjata untuk bertempur melawan penjajah. Pemberian gelar pahlawan kepadanya pun tak didasari alasan itu. Dia memang pernah ikut pergerakan ketika terlibat dalam Kongres Indonesia Muda pada 28 Desember 1930-2 Januari 1931 di Solo, Jawa Tengah. Tapi sesungguhnya Amir berjuang di jalan lain: lewat bahasa dan sastra (hlm. 91).
Dalam buku Pahlawan Nasional Amir Hamzah, Sagimun Mulus Dumadi menyebut Amir sebagai golongan man of thought and inspiration. “Orang-orang yang dengan daya pikir dan daya ciptanya mampu mengggerakkan atau menggetarkan hati ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan orang. Bahkan, Sejarawan Nugroho Notosusanto juga memasukkan Amir ke golongan a drop of ink makes millions thing. Artinya, setitik tinta membuat berjuta-juta orang berpikir (hlm. 93).
Semua karya Amir berpedoman pada sastra Melayu klasik. Karyanya juga mendapat pengaruh dari kesusastraan India, Persia, dan Arab. Penyair Sapardi Djoko Damono mengatakan, karya Amir paling banyak dipengaruhi pujangga India, Rabindranath Tagore. Pengaruh itu terlihat dari bentuk sajak Amir yang menyerupai prosa liris—sajak dengan bahasa berima—layaknya karya Tagore (hlm. 96).
Selain membahas kiprah Amir Hamzah di bidang sastra dan pengaruhnya terhadap banyak orang, dalam buku ini juga dibahas lengkap tentang banyak hal berkaitan dengan kehidupan pribadi Amir Hamzah, perjalanan asmara, dan kiprahnya di dunia politik.
Amir Hamzah termasuk yang meperjuangkan revolusi, namun ia juga sekaligus menjadi korban revolusi. Amir Hamzah tewas dipancung pemuda sosialis dalam huru-hara mengusir pemerintah kolonial Belanda di Kesultanan Langkat, Sumatra Timur, pada 20 Maret 1946. Para pemuda sosialis menuduh Amir pro-Belanda seperti keluarganya. Ia dibunuh karena dianggap tak tegas mendukung kemerdekaan Indonesia (hlm. 2).
Amir merambah semua gelanggang pergerakan menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945. Ia sekretaris Indonesia Muda, organisasi siswa yang aktif merumuskan Nusantara sebagai Indonesia. Ia termasuk yang menganjurkan pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan untuk menumbuhkan nasionalisme dalam pidato dan artikel di majalah. Ia juga mengajar hingga jauh ke dusun-dusun untuk mempromosikan pentingnya kemerdekaan. Pendeknya, ia seorang republikan yang tulen (hlm. vii).
Buku 116 halaman ini mengajak pembaca mengenal kiprah Amir Hamzah.
Perjuangannya dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia benar-benar layak diteladani, meskipun ia sendiri dituduh pro-Belanda.
DATA BUKU
Judul : Paradoks Amir Hamzah
Penulis : Tim TEMPO
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 2017
Tebal : xii + 116 Halaman
ISBN : 9786024247003
*) Diresensi Untung Wahyudi, lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya