Film Wiro Sableng 212 yang disutradarai oleh Mas Angga D. Sasongko, patut diapresiasi. Sebab bukan hal mudah membuat film yang TV seriesnya sangat hits pada masanya.
Film ini tampak lebih elegan, megah, tidak kaku dan mudah membuat tertawa. Selipan-selipan jokes yang kekinian, membuat film ini cukup berhasil atas itu.
Namun sebagai penikmat film yang acak, yang nontonnya kadang hasil bajakan, tidak banyak tahu dan asal ngomong saja, saya punya kesan sendiri atas film ini.
Pertama, cerita di film ini kurang kuat. Saya merasa, ada banyak sekali unsur kebetulan yang itu malah menjadi permulaan dari konflik utama film ini.
Kebetulan bertemu di warung makan, misalnya, menjadi mula semua masalah yang berusaha dihubung-hubungkan pada cerita selanjutnya. Ditambah lagi, hampir semua alur cerita mudah di tebak.
Kedua, fokus tujuan tokoh dalam film ini begitu banyak. Ada sekian tujuan yang mencoba dirangkai untuk memperkuat tujuan akhir (membunuh Mahesa Birawa), namun hemat saya kurang berhasil. Bangunan konflik yang ditata, hanya menjadi patahan-patahan cerita singkat yang menambah kesan film ini mulai bertele-tele.
Menonton film ini, saya sempat berkali-kali hilang rasa penasaran dan momen serunya. Kadang, ada part yang ingin sekali saya lewati sebab itu sama persis dengan yang saya duga.
Ketiga, sebagai penonton, saya merasa sudah sangat dekat dengan tokoh Wiro Sableng. Dimasa kecil, saya cukup sering menonton TV seriesnya dan seru.
Namun di film ini, saya merasa sangat asing dengan tokoh-tokoh lain yang begitu banyak. Baik sebagai antagonis, protagonis atau figuran. Karakter masing-masing tokoh divisualisasikan dengan sangat singkat dan tidak kuat.
Sebuah film yang hanya bedurasi tak kurang dari 2 jam, ditambah banyaknya tokoh yang dihadirkan dengan patahan-patahan cerita yang diawali dari serba kebetulan, membuat film ini menjadi terkesan cukup “ramai”; tidak menjadi film yang simple dan kuat secara penceritaan.
Keempat, soal sound effect. Perlu diakui, sound dalam film ini cukup megah dan elegan. Namun demikian, ada rasa yang kurang nyaman. Saya merasa sound di film ini tidak untuk film Wiro Sableng 212. Tapi untuk laga-laga lain yang lebih metro. Sebut saja misalnya James Bond 007 atau Mission Imposible.
Sedikit sekali saya merasakan sound dan gambar dengan aura pedesaan. Set dan settingan lain untuk kejadulan film ini, terasa begitu parsial. Tidak menyentuh, kurang original.
Terakhir, pernyataan-pernyatan yang saya sampaikan sejak awal tanpa referensi. Tanpa adanya dasar keilmuan yang mempuni. Jadi jelas sekali catatan ini sangat sepihak dan mungkin ngawur. Tapi benar, saya merasakan itu. Lepas dari teori kritik yang benar atau tidak. Wallahua’lam.
Gapura, 05 Sep ’18
*) Nur Khalis, Jurnalis asal Sumenep Madura Jawa Timur.