Beberapa waktu kemarin, ada hal menarik yang disampaikan pemerintah, bahwa secara statistik angka kemiskinan Indonesia berada dibawah dua digit. Angka kemiskinan Indonesia sebesar 9,82 persen konon ini baru pertama terjadi dalam sejarah Indonesia. Ini prestasi yang perlu diapresiasi sebagai sebuah pencapaian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2018 sebesar 25,95 juta orang, turun dibanding dengan jumlah warga miskin pada September 2017, yaitu 26,58 juta orang. Kemiskinan memang memerlukan perhatian dan penanganan serius, karena kemiskinan menjadi barometer utama keberhasilan pemerintah mensejahterakan rakyatnya sebagaimana mandat konstitusi.
Orang bilang Indonesia itu surga dunia, semua ada di Inonesia! Sumber daya Indonesia melimpah ruah, semua kebutuhan manusia sandang, pangan, dan papan tersedia dibentangan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dan ini juga yang menyebabkan banyak Negara diluaran sana ingin menguasai Indonesia. Tapi, kenapa angka kemiskinan masih tinggi, meski sudah di bawah dua digit. Saat ini semua sudah nampak di depan mata, pemerataan pembangunan menjadi keniscayaan untuk mewujudkan keadilan. Ini bukan perkara mudah terlebih dengan kondisi Indonesia sebagai Negara kepulauan yang secara aksesibilitasnya menjadi persoalan tersendiri, khususnya bagi wilayah pedalaman dan terluar.
Tahun 2015 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 Tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015–2019. Terdapat 122 daerah masuk daftar daerah tertinggal. Perpres diatas menjelaskan bahwa daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Ada 6 (enam) kriteria menjadi dasar penentuan ketertinggalan suatu daerah, yaitu; Pertama, kondisi perekonomian masyarakat diukur dengan dua indikator, yakni: prosentase penduduk miskin, dan pengeluaran konsumsi perkapita. Kedua, Sumber daya manusia ditentukan dengan 3 (tiga) ukuran yaitu angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, dan angka melek huruf.
Berdasarkan indikator diatas, pemerintah menetapkan daerah tertinggal ini dalam jangka waktu lima tahunan. Untuk menjalankan penentuan suatu daerah dikatakan tertinggal ada proses evaluasi yang dilakukan oleh kementerian terkait yang ditunjuk Presiden. Kementerian ini melakukan evalusasi setiap tahun dengan menggunakan metode penghitungan; indeks komposit, nilai selang (range), interval dan / atau presentase desa tertinggal pada kabupaten.
Untuk periode 2015-2019, daerah tertinggal sebagian besar berada di wilayah Indonesia timur, kawasan pulau-pulau kecil dan terluar, daerah pedalaman dan perbatasan yang notabene memiliki pontensi kekayaan dan sumber daya alam melimpah. Namun karena pemerataan pembangunan belum terlaksana dengan baik, kekayaan sumber daya itu belum sepenuhnya bisa dinikmati masyarakat setempat. Dampaknya ketimpangan antar daerah masih sangat tinggi. Dan ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi sleuruh rakyat Indonesia.
***
Kemiskinan selama ini dianggap sebagai momok, tak pelak isu kemiskinan menjadi komoditi politik terutama saat pemilihan umum Kepala Daerah maupun Presiden. Janji politik pengentasan kemiskinan selalu menjadi isu utama, meski dalam praktiknya saat terpilih tak berdaya menghadapi kemiskinan. Merujuk pada Perpres diatas ada enam kriteria sebagai ukuran. Salah satunya adalah kemiskinan.
Catatan penting dari Perpres 131 tahun 2015, dari 122 daerah tertinggal Jawa Timur menyumbang empat daerah, yaitu; Sampang, Bangkalan, Bondowoso, dan Situbondo. Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, angka kemiskinan di empat kabupaten ini memang cukup tinggi. Tahun 2015 angka kemiskinan di kabupaten Sampang sebesar 240.35 ribu jiwa, Bangkalan sebesar 216.23 ribu jiwa, sedangkan Kabupaten Bondowoso sebesar 113.72 ribu jiwa, dan Situbondo sebesar 91.17 ribu jiwa. Angka ini mengalami penurunan di tahun 2018 kemiskinan Sampang turun menjadi 204,82 ribu jiwa, Bangkalan diangka 191,33 ribu jiwa, Bondowoso turun 110,98 ribu jiwa, Situbondo sebanyak 80, 27 ribu jiwa.
Sementara itu persentase penduduk miskin di Jawa Timur pada Maret 2017 sebesar 11,77%. Artinya, 4.6 juta jiwa penduduk Jawa Timur masih hidup di bawah garis kemiskinan. Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan Pemerintah Daerah di empat kabupaten harus bekerja ekstra agar terjadi perubahan kondisi secara signifikan. Kebijakan strategis yang perlu diambil pemerintah adalah dengan percepatan pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan. Mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin, menekan ketimpangan antara desa dan kota, serta membuka lapangan pekerjaan yang lebih layak.
Beban pekerjaan itu harus dipikul oleh pemerintah, khususnya kepala daerah sebagai bentuk komitmen untuk mensejahterakan rakyatnya. Yang perlu dipahami bersama bahwa kemiskinan bukan hanya soal data statistik yang harus di turunkan sebagai tolok ukur keberhasilan. Lebih dari itu, kemiskinan adalah soal kemanusiaan dan keadilan bagi segenap tumpah darah Indonesia.
Oleh: Badiul Hadi (Manager Riset Seknas FITRA: 085325 990 822).