Tidak bisa dipungkiri, bahwa saat ini dunia telah mengalami the grand process of modernization, ditandai dengan semakin berkembangnya teknologi modern yang semakin masif. Kemajuan teknologi mempengaruhi hampir setiap aspek kehidupan manusia, tak terkecuali aspek komunikasi. Media sosial sebagai bagian dari kemajuan teknologi kekinian, menjadi wadah dan platform penting untuk komunikasi dan bersosialiasi generasi milenial. Mereka bebas berekspresi, bebas menyampaikan pendapat, membuat status, mengunggah foto, menautkan situs, dan membagi status orang lain. Media sosial saat ini menjadi ladang subur untuk membangun identitas (construct identity) dalam kerangka yang diinginkan pengguna, dan menjadi instrumen pemasaran diri (personal branding) penggunanya.
Namun identitas di media sosial merupakan citra diri yang sangat mudah dimodifikasi, sehingga terdapat peluang yang besar dimana pengguna menampilkan citra diri yang berbeda antara di dunia nyata dan di dunia maya. Problematika muncul ketika individu terjebak dalam citra kebahagiaan semu, dimana pengguna sosial media mengunggah konten kebahagiannya tanpa merasakan emosi yang sesungguhnya. Seolah mereka hanya berpura-pura untuk menampilkan konten kebahagiaannya di media sosial agar dinilai mampu dan bahagia. Menurut riset dari Learnvest tahun 2017 mengungkap bahwa 56 persen dari 1000 responden generasi milenial menggunggah foto di media sosial hanya untuk dinilai mereka mampu dan berkecukupan, walaupun sesungguhnya mereka melakukan kamuflase dan kebohongan.
Mirisnya, individu yang terjebak dalam arus kebahagiaan semu digolongkan sebagai pribadi yang gagal dalam mengelola emosi diri. Dampaknya, produktivitas mereka menjadi rendah dan merosot, baik dalam ranah kehidupan sosial maupun karier pekerjaan. Sebaliknya, individu dengan kebahagiaan hakiki (authentic happiness) akan memperoleh berbagai manfaat, di antaranya: kesehatan yang lebih prima, relasi pertemanan yang lebih berkualitas, dan produktivitas kerja yang lebih tinggi.
Permasalahan kebahagiaan semu di media sosial semakin krusial dan urgent untuk segera mendapatkan penanganan mengingat Indonesia merupakan negara dengan jumlah pengguna media sosial yang besar mencapai 106 juta jiwa dari total populasi 262 juta penduduk menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Indonesia menempati 5 besar negara dengan pengguna media sosial yang besar dengan rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktu 1-7 jam per hari untuk beraktifitas di dunia maya.
Berpijak pada permasalahan tersebut, Mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM) yakni M. Khoirul Rifai (Mahasiswa Fisika) dan Rizal Fanany (Mahasiswa Biologi) mengusung konsep Literasi Bahagia sebagai sebuah ikhtiar untuk memberikan solusi terkait fenomena citra bahagia semu di media sosial. Konsep literasi bahagia terdiri dari dua aspek yakni aspek deteksi dan aspek edukasi untuk mencapai kebahagiaan hakiki (Authentic Happiness).
Kedua mahasiswa tersebut melakukan analisis indikator-indikator kebahagiaan semu di media sosial, melalui analisis yang terintegratif antara psikologi positif dan prespektif nilai-nilai universal Alquran. Integrasi antara psikologi positif dan nilai-nilai universal Alquran dalam kajian prediktor kebahagiaan di media sosial dilakukan mengingat kajian tersebut sangat minim ditemukan.
Keduanya menemukan bahwa indikasi kebahagiaan semu dapat di deteksi melalui beberapa indikator yakni kehampaan emosi (flat affect), mengharapkan umpan balik (feedback minded); dan fokus terhadap diri sendiri (self focused). Ketiga aspek inilah yang akan dijadikan dasar identifikasi kebahagiaan semu. Dari formulasi indikator yang telah dibuat keduanya membuat instrumen kuesioner untuk memberikan gambaran terkait tingkat kebahagiaan seseorang melalui jawaban kuesioner yang dibuat.
Adapun aspek edukasi, sebagai langkah lanjutan, dilakukan untuk memaparkan nilai-nilai kebahagiaan hakiki (authentic happiness) yang merupakan antitesis dari kebahagiaan semu. Nilai-nilai kebahagiaan hakiki yang dimaksudkan itu adalah: wasi’ul qalb (keluasan hati), mukhlisun lillahi (penyerahan diri), dan nafi’un li ghairi (bermanfaat bagi orang lain). Ketiganya jika telah diresapi dan diaktualisasikan dalam diri seseorang diharapakan mampu mewujudkan kebahagiaan hakiki sebagai titik puncak dari konsep literasi bahagia.
Konsep Literasi Bahagia dituangkan dalam platform website literasi bahagia yang sedang dikembangkan. Hal ini dikarenakan potensi pengguna internet di Indonesia yang demikian besar (143,26 juta jiwa [54,7%] dari total populasi penduduk di tahun 2017), disamping itupula membantu dan mempermudah pengguna untuk mengakses informasi terkait kebahagiaan semu di media sosial. Keduanya berharap adanya platform website literasi bahagia dapat menurunkan perilaku citra diri semu di media sosial seiring dengan kearifan masyarakat dalam bermedia sosial.
Penulis: Rizal Fanany, Pelopor Gerakan Anti Diskriminasi bagi Penumpang Disabilitas
Mahasiswa Berprestasi Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang.