Getaran Magnet KH Maimoen Zubair

Media Jatim

Penulis: KH A Dardiri Zubairi, Pengurus PCNU Kabupaten Sumenep

InShot_20241111_121036630
InShot_20241111_154314461

Wafatnya KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) di Tanah Suci Mekkah membuat umat Islam, khususnya warga Nahdliyin, di Nusantara ini kaget dan merasa kehilangan. Kiai Maimun adalah ulama sepuh yang masih tersisa di Nusantara ini. Ulama yang menjadi rujukan tidak saja karena keilmuan tapi juga akhlak dan spiritualitasnya.

Ulama seperti Mbah Moen dalam pandangan orang Madura disebut “pakona dunnya” atau paku bumi. Peran ini betul-betul dimainkan oleh Mbah Moen dengan menyanggah jagat bumi nusantara (khususnya) melalui keluasan ilmunya, keluhuran budinya, kedalaman spiritualitasnya, dan keteguhan semangatnya.

Lihatlah, Mbah Moen di usia senjanya begitu bersemangat hadir kemana-mana mengampanyakan Islam Ahlussunnah Waljamaah Annahdliyah dan ajakan merawat bangsa Indonesia ini. Dengan pengalaman beliau yang banyak, keluasan ilmunya, termasuk mahir dalam sejarah Islam dan sejarah Nusantara, menjadikan ceramah mbah moen argumentatif dan enak didengar. Malulah kita sebagai anak muda.

Saya pertama kali sowan ke Mbah Moen tahun 2015 ketika mengantar anak sahabat saya yang kuliah di STAI Al-Anwar. Kesan pertama saya, begitu gembiranya beliau ketika tahu bahwa kami yang datang berombongan menyebut dari Madura. Saat itu banyak tamu. Tapi oleh beliau, kami diminta untuk mendekat. “Yang dari Sumenep mana? Ayo duduk di sini. Ini NU Madura ya? Saya juga termasuk NU Madura,” dawuh beliau sambil bercerita silsilah beliau juga berasal dari Bangkalan.

Saya senang mendengar mbah Moen menyebut NU Madura, meski saya belum paham apa maksud beliau. Dugaan saya mungkin karena NU bagi orang Madura sudah merasuk ke tulang sumsum, sehingga NU bagi orang Madura mirip sebuah “agama”. Ya, “agama” NU.

Baca Juga:  4 Puskesmas Pembantu di Pamekasan Tak Aktif 5 Tahun, Dinkes: Imbas Pakai Lahan Warga! 

Sowan kedua ketika saya ikut rombongan keluarga yang memamitkan ponakan “boyong” pada tahun 2017. Karena begitu banyak tamu yang sowan, kami hanya mendengarkan Mbah Moen bercerita soal banyak hal, utamanya NU dan kebangsaan. Pada kesempatan itu ketika kakak saya memamitkan ponakan dan memohon do’a dari Mbah Moen semoga ilmu yang diperoleh dari pondok barokah dan manfaat, spontan mbah Moen dawuh, “nah…itu yang penting”.

Bulan April 2019 kembali saya berkesempatan sowan ke mbah Moen. Seperti biasa, setiap kali berkesempatan sowan kepada mbah Moen tak pernah sepi. Beranda “dhalem” mbah Moen selalu sesak dengan tamu hingga kadang tamu terpaksa duduk di luar pintu masuk, pinggir jalan.

Dinas lingkungan hidup kabupaten sumenep_20241112_113109_0000
IMG-20241113-WA0037

Kesempatan terakhir saya sowan tanggal 4 Juli 2019. Itu pun mendadak karena menurut kabar mbah Moen sedang bepergian ke Jakarta. Saat itu saya ada Al Anwar 3, memondokkan anak ke Gus Ghafur sambil sekolah di MA Al Anwar 2. Tiba-tiba istri yang berada di Al Anwar 1 menjelang maghrib nelpon bahwa Mbah Moen ada di “dhalem” menerima tamu.

Saya pun buru-buru ke Al Anwar 1 berharap bisa bertemu dengan mbah Moen. Bersamaan adzan maghrib, saya tiba di sana. Sambil mohon doa keberkahan dan kemanfaatan ilmu buat anak saya yang baru mondok, saya pun pamit. Meski saya dan keponakan diminta untuk menghadapnya lagi sehabis maghrib, saya harus tahu diri. Mbah Moen yang baru dari Jakarta dan tiba di dhalem masih menerima tamu butuh untuk istirahat.

Baca Juga:  Bocah 7 Tahun Tewas di Pemandian Songgon

Itulah pertemuan terakhir saya dengan Mbah Moen, kiai yang tak pernah lelah mendidik santrinya, bergerak dari satu daerah ke daerah lain (bahkan ke luar negeri) untuk mencerahkan spiritualitas umat, dan di “dhalem” pun beliau masih sabar melayani kepentingan tamu yang ngalap berkah dan mohon do’a untuk segala macam keperluan. Beliau dengan sabar melayani tamu satu-persatu. Itu dilakukannya di usia senja.

Ada sesuatu yang tak pernah saya lupa ketika sowan ke Mbah Moen yaitu membawa sebotol air dan diberikan kepada mbah Moen untuk dido’akan. Air itu setiba di rumah diberikan kepada anak, tentu saya dan istri juga meminumnya.

Berada di sisi mbah Moen seperti ada tarikan magnet luar biasa. Kedalaman spiritualitas mbah Moen seperti merengkuh dan merangkul siapapun yang ada di sekelilingnya. Teduh. Menggetarkan. Itulah pengalaman pribadi saya.

Ketawadlu’an Mbah Moen menambah perhiasan akhlaknya. Sekelas mbah Moen, seperti dawuh gus Mus, masih meminta dido’akan khusnul khatimah. Ya Allah, apalah arti saya.

Berita wafatnya beliau menelusup hingga jauh, sejak kota hingga kampung dan bahkan jauh di belahan dunia ini yang mungkin mbah Moen tak mengenalnya. Tetapi wafatnya beliau yang paling menelusup adalah ke ruang bathin, dalam sekali. Seperti ada yang hilang.

“Pakona dunnya” atau paku bumi telah tiada. Sebagai penyanggah, ketiadaannya seperti menggoncangkan keseimbangan bumi. Hingga nanti Allah mengangkat ulama lain yang menggantikan perannya.

اللهم اغفرله وارحمه و عافه واعف عنه

Selamat jalan Guru…

Sumenep, 6 Agustus 2019