MSFC DISPLAY WEB

Menuju Indonesia Centris Itu Tidak Gratis

Media Jatim
Ilustrasi (Ist).

Oleh: Luqman Banuzzaman

Dewasa ini pindahnya Ibu Kota Jakarta tak lagi sebatas wacana yang didengung-dengungkan layaknya pada era presiden sebelumnya. Pemerintahan Ir. Jokowi dan Drs. Jusuf Kalla mengambil langkah yang terbilang sangat cepat, yaitu hanya beberapa bulan setelah wacana ini booming. Hal ini memicu pro dan kontra mulai dari kalangan para ahli, akademisi bahkan tukang becak pinggir jalan, lebih-lebih masyarakat Jakarta itu sendiri.

Jakarta dinilai tidak mampu menanggung beban Indonesia di masa depan yang akan menunjukkan taringnya di kancah Internasional. Banjir menjadi sesuatu yang lazim bagi masyarakat Jakarta, sungai yang 96% tercemar berat oleh limbah-limbah pabrik dan kemacetan yang membuat kerugian mencapai 56 triliun per tahun (PUSTRAL-UGM 2013). Jika hanya itu, pemerintah mungkin masih bisa mensiasati dengan berbagai macam inovasi agar Jakarta bisa melewati masa-masa suramnya. Akan tetapi turunnya permukaan tanah dan naiknya permukaan laut menjadi intoleransi tersendiri Jakarta sebagai cermin Ibu Pertiwi. Bahkan pada 50 tahun lagi Jakarta akan tenggelam diakibatkan naiknya permukaan air laut akibat Globalisasi dan efek rumah kaca.

Baca Juga:  Menyeimbangkan Program Pembangunan Berkelanjutan dengan Kesadaran Lingkungan

Krisis ketersediaan air di Pulau Jawa-khususnya Jakarta dan Jawa Timur-adalah salah satu faktor pendorong pemindahan ini ke luar Pulau Jawa. Selain itu 57% penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa menyebabkan pemusatan daerah padat penduduk dan ketimpangan kependudukan yang akan disusul dengan ketimpangan ekonomi yang tak terhindarkan. Pada akhirnya pemerintah memilih Kalimantan sebagai wajah masa depan Ibu Kota Indonesia dengan semangat Indonesia Centris.

Mengingat perpindahan Ibu Kota Jakarta ke daratan luar Jawa ini akan menjadi peristiwa sejarah yang besar dan akan terus menjadi jiwa bagi masyarakat Indonesia, harga yang dicantumkan tidaklah sedikit. Pemerintah memperkirakan 466 T disediakan untuk mewujudkan Ibu Kota Negara yang Smart, Green, Beautiful, Substainable, Modern dan Berstandar Internasional.

Banner Iklan Media Jatim

Pemindahan Ibu Kota Negara akan memberikan dampak positif bagi pendapatan ekonomi nasional. Pemerintah memperkirakan GDP akan bertambah dalam kisaran 0,1% akibat dari penggunaan lahan potensial yang sebelumnya tak dimanfaatkan. Selain itu, Pemindahan ini juga dapat mendorong perdangangan antar wilayah di Indonesia tanpa terjadi kontraksi di daerah mantan Ibu Kota Negara sehingga ebih dari 50% wilayah Indonesia akan merasakan peningkatan arus perdagangan. Investor pun akan tertarik menanamkan modal didaerah terrsebut. Biaya yang dikorbankan untuk mewujudkan janji-janji itu hanyalah peningktan inflasi sebesar 0,2%.

Baca Juga:  Menakar Ke-NU-an Mahfud MD

Hutang Negara Indonesia berada dalam kisaran 4.000 triliun, pemindahan Ibu Kota Negara yang menggelontorkan dana 466 triliun akan meningkatkan sekitar 12% hutang Indonesia, bukanlah nominal yang sedikit untuk dimafhumkan. Bertambahnya hutang juga akan mempengaruhi jumlah bunga yang terus akan berlipat-lipat dan mengikat. Lebih krisis mana keadaan Jakarta dengan keadaan Indonesia, sulit untuk ditimbang. Yang jelas Mahattir sudah menggerakkan warga Malaysia untuk bersama-sama menjadikan Malaysia Negara yang bebas hutang seperti Iran yang tak tergoyahkan.

Pada tahun 1960 Brazil memindahkan Ibu Kota Negara Rio de Janeiro ke Brasilia. Hebatnya tak ada kerugian yang dialami Rio de Janeiro, sedangkan Brasillia mmengalami dampak positif yang sangat signifikan dalam peningkatan populasi penduduk dan lapangan kerja yang equivalent. Tapi itu Brazil, apa kabar Indonesia?

Penulis adalah Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pamekasan Komisariat IAIN Madura.