Ketika mendengar bahwa bioskop akan dibuka, ada banyak orang menyambut dengan senang gembira. Bakal ada film-film menarik yang ditonton secara bersama-sama, dalam satu tempat. Kota Cinema Mall atau KCM, penyedia layanan hiburan itu, telah berdiri megah.
Maklum. Bioskop di Pamekasan sudah sangat lama hilang. Meski gedungnya masih tampak oleh mata, banyak orang sudah lupa bahwa di kabupaten ini dulu pernah ada. Sama seperti apa yang dipunyai kota besar, Surabaya. Di sini gedung itu tidak lain hanya bagian dari masa lampau.
Bagi penggemar film, bioskop selain menjadi tempat menikmati karya orang-orang hebat dengan segala perjuangannya, adalah tempat hiburan. Bagi banyak orang, selain hiburan, adalah tempat berlibur bersama keluarga maupun dengan rekan-rekannya.
Sejak bioskop di Pamekasan tidak lagi beroperasi —entah apa penyebabnya, warga masih menikmati panggung hiburan terbuka lainnya. Grup musik populer di masanya seperti Padi, Sheila on7, Raja, pernah didatangkan. Itu, sebelum Gerbang Salam menjadi ikon Pamekasan.
Pasca diresmikannya Gerbang Salam, hiburan semacam itu mulai kering bahkan tabu. Jangankan Sodik Monata yang berambut gimbal dengan suara ngerocknya. Ridha Rhoma yang lagunya kedengaran syahdu di telinga, “haram” manggung di kabupaten ini.
Maksiat. Alasan utama setiap kali penolakan itu disampaikan. Hiburan dapat memicu dan mengundang kemaksiatan. Selain dianggap bertentangan dengan Gerbang Salam. Dan semua penolakan pada semua hiburan alasannya tidak jauh berbeda.
Praktis, satu-satunya tontonan bersama yang dinikmati oleh warga Pamekasan hanya ketika Madura United sedang bertanding di SRGP. Itupun bukan murni hiburan. Makanya, setelah ada kabar bahwa bioskop kembali hadir, selain ada perasaan senang, ada kebanggaan;
Pamekasan seperti sedang menata jalan menuju perubahan. Lambat laun, di bawah pemimpin yang tepat, bayangan saya, Pamekasan suatu saat akan menjelma seperti kabupaten dan kota besar lainnya. Setidaknya, Pamekasan tidak lagi jumud, tertutup dengan sentuhan perubahan.
Tapi, malang nian nasib warga yang hidup di kabupaten ini. Di tengah ekspresi kegembiraan, 1.230 tiket habis terjual dalam pemutaran film perdana, atas nama umat Islam, sebagai wujud dari penolakan, ratusan massa aksi demonstrasi menuntut agar Bupati menutup KCM, .
Penolakan tentu lumrah di samping adanya penerimaan. Dalam teori perubahan sosial, penolakan terjadi karena beberapa faktor, diantaranya:
Pertama, takut terhadap kemungkinan yang tidak diketahui.
Anggapan bioskop dapat mendistorsi nilai-nilai Islam dan berakibat terhadap degradasi moral warga. Sebagaimana alasan di atas. Saya menganggap itu hanya asumsi. Masih butuh kajian mendalam korelasi menonton film dan lunturnya moralitas seseorang.
Tidak sedikit orang mengiaskan bioskop dengan smartphone yang juga bisa putar film. Bedanya cuma besar dan kecilnya layar. Smartphone yang sangat pribadi bisa mengakses apa saja sesuai kehendak pemiliknya. Sementara bioskop terbatas dan diawasi karena sifatnya yang umum.
Sudah bertahun-tahun orang Pamekasan menggunakan smartphone, biasa-biasa saja. Yang nonton blue film tidak lantas menjadi meniak seks. Yang terbiasa nonton film zombi sifanya tidak menyerupai zombi. Ini yang menurut Chalplin, dalam diri setiap manusia ada self control.
Kalau poinnya adalah bertemunya beda jenis, di pasar, di kampus, dan di banyak tempat lainnya juga sama. Dengan self control, setiap pribadi bisa mengendalikan hasrat maksiatnya. Saya kira, kita hanya perlu terus optimis dengan tidak memandang rendah kualitas iman kita.
Jadi, tak ada alasan yang cukup berdasar dalam penolakan itu. Yang ada hanya over protect sehingga melahirkan ketakutan-ketakutan. Ketakutan yang dilandasi oleh rendahnya tingkat kepercayaan diri (low self confidence). Selain ketakutan, mungkin benar, penolakan itu karena faktor kedua, rendahnya toleransi.
Acapkali, dalam beberapa insiden penolakan terhadap sebuah kegiatan yang dilakukan oleh kelompok lain, di negeri ini, tanpa didasari alasan yang kuat dan rasional, biasanya, karena sentimen. Sikap setimental itu kemudian melahirkan tindakan intoleransi. Seperti penolakan terhadap KCM?
Wallahu’alamu…
Minhaji Ahmad, warga biasa.
Mantap
Lanjutkan untuk menuju pamekasan lebih maju..
Tapi Di Dalam bioskop, kemaksiatan banyak terjadi, Dan cenderung didiamkan, budaya bioskop akan memberi contoh kebebasan pada anak muda, kadang malah kebebasan Yang kebablasan Karena menirukan yg ditonton, saya setuju menolak bioskop, biarlah itu dosa pribadi pribadi (menonton lewat hp) bukan dosa berjamaah