MediaJatim.com, Situbondo – Maraknya pelanggaran Profesi jurnalis disengaja atau tidak dalam melakukan peliputan tentang dampak penyebaran virus Corona di daerah Jawa timur khususnya di kabupaten Situbondo ini menimbulkan keresahan masyarakat secara luas.
Padahal jelas Dewan Pers pusat mengimbau media massa untuk memperhatikan kode etik jurnalistik (KEJ) dalam melaksanakan peliputan terkait wabah virus Corona (Covid-19). Imbauan ini dikeluarkan pasca Pemerintah Indonesia, mengumumkan bahwa dua warga negara Indonesia (WNI) positif terjangkit virus corona, Senin (2/3/2020) lalu. Dewan Pers mengatakan media massa memiliki fungsi sebagai penyampai informasi, pendidikan dan kontrol sosial.
“Media massa harus memperhatikan kode etik terkait pemberitaan kasus virus corona di Indonesia, baik cetak maupun elektronik. Penggorengan isu berlebihan di masyarakat berakibat pada Puluhan cairan antiseptik dibeli sekaligus. Masker hidung tiba-tiba raib dari pasaran,” jelas Ketua LSM Siti Jenar Eko Febrianto, Selasa (31/3/2020).
Tidak hanya itu, saat ini produk mie instan, gula pasir, serta beras sudah jadi barang langka di beberapa wilayah di kabupaten yang berlogo kota Santri ini.
“Ketakutan masyarakat bukannya tanpa sebab. Tingkah laku serta pola pikir masyarakat tentunya didasari oleh pengetahuan mereka terhadap suatu hal,” tambahnya.
Lanjut Eko Febrianto, mungkin kepala mereka dipenuhi bayang-bayang ngeri bagaimana organisme tak kasat mata tersebut berhasil melumpuhkan kota Wuhan di Tiongkok hanya dalam waktu yang relatif singkat. Mereka pun tentunya telah mendengar kabar betapa cepatnya sang virus menjangkit orang-orang di berbagai belahan bumi lain.
“Darimana masyarakat mendapat informasi demikian, media jawabannya,” singkat Eko, sapaan akrabnya.
Ia mengimbau rekan-rekan media baik cetak, elektronik dan radio tidak menambah panjang daftaf dosa media dalam penyebaran virus Corona ini.
“Banyak dari pemberitaan yang akhir akhir ini dinilai tidak ada edukasi dan terkesan nakut-nakutin dan terlalu berlebihan,” sambungnya.
Termasuk dalam memberitakan korban meninggal akibat terjangkit Covid-19 secara berlebihan. Padahal hal tersebut bisa menyebabkan psikis keluarga korban tertekan.
“Saya kira Corona itu bukan penyakit aib, siapapun bisa terjangkit jadi tolong lah gak usah terlalu di dramatisir macam ginian,” imbuh Eko.
Media massa khususnya yang berbasis online harus kembali pada fungsinya sebagai penyedia informasi yang bukan mempertahankan eksistensinya berdasarkan jumlah “klik dan views” pada laman berita. Yang keduanya tentu berimplikasi pada jumlah adsense guna menopang operasional dapur redaksi. Media massa berbasis online juga harus berlomba satu sama lain untuk menjadi yang tercepat dalam menghadirkan pemberitaan.
Tidak heran jika beberapa media meletakkan kalimat-kalimat yang memancing rasa ingin tahu pembaca pada judul berita (clickbait). Tidak jarang, judul yang diberikan justru memuat substansi yang sedikit berbeda dengan isinya. Sayangnya, dalam situasi serangan virus yang telah ditetapkan World Health Organization (WHO) sebagai pandemi ini, beberapa media nampaknya masih mempertahankan budaya tersebut.
Dalam pemberitaan korban Covid-19, misalnya media cenderung menjual embel-embel gelar dan instansi korban dalam judulnya. Contohnya pada judul berita “Bupati, Wakil Bupati bahkan Gubernur terindikasi Corona”. Alih-alih memperingati masyarakat yang mungkin pernah berinteraksi dengan korban, ketakutan dan spekulasi negatif masyarakat akan instansi tersebut justru yang terjadi.
Perihal substansi, nampaknya berita-berita yang disajikan oleh media massa juga cenderung bicara tentang angka dan laporan kasus dalam pemberitaan ini. Entah dipengaruhi atas psikologi sang jurnalis yang juga ketakutan, beberapa berita justru melupakan nilai cover both side-nya. Perpaduan antara judul yang heboh, isi berita yang kurang edukatif, serta minimnya budaya literasi masyarakat Indonesia berakibat pada menularnya kepanikan di tengah masyarakat.
Meskipun demikian, fenomena clickbait pada berita tidak sepenuhnya salah. Terkadang butuh sedikit tekanan dalam judul untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya suatu masalah. Lagi-lagi, clickbait nampaknya juga diperlukan guna menekan sisi psikologis masyarakat Indonesia yang minim literasi.
Belum lagi media-media yang kerap mengaitkan wabah ini dengan isu politik dan suku, agama, ras, dan antargolongan (Sara) yang hangat di Indonesia. Dalam situasi seperti ini, beberapa media justru memanfaatkan wabah ini untuk menggoreng isu-isu yang saling menjatuhkan atau mendiskriminasi pihak-pihak tertentu.
“Sadar atau tidak, stigma buruk terhadap salah satu ras manusia semakin bertambah saat media menamai COVID-19 dengan virus Wuhan atau virus China. Bahkan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus sangat berhati-hati dalam memilih nama Covid-19. Hal itu tentunya untuk menghindari referensi ke lokasi geografis tertentu, spesies hewan, atau sekelompok orang.” kata Eko dengan geram.
Selain itu, sarana bertukar informasi yang semakin berkembang apalagi di media Sosial yang akhir akhir ini juga ikut mendorong individu-individu untuk ambil bagian dari penyebaran informasi. Meski memiliki dampak positif, fenomena ini justru mempercepat munculnya informasi-informasi yang tidak bertanggung jawab. Berbagai hoaks yang terlalu sering beredar seringkali meningkatkan ketakutan atau bahkan menimbulkan rasa acuh tak acuh masyarakat akan bahayanya virus ini.
“Sebagai sumber informasi, yang pertama tentunya media massa tidak boleh melupakan kewajiban utamanya untuk mengedukasi masyarakat. Tidak hanya dengan memberikan data statistik korban Covid-19, edukasi yang dimaksud juga termasuk mengkomunikasikan penelitian dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat,” paparnya.
Media juga berperan penting dalam membentuk persepsi dan keputusan publik tentang kesehatan. Berkaca pada kasus flu babi (swine flu) yang lebih dikenal dengan nama virus H1N1, sebuah jurnal yang diterbitkan Eurosurveillance menjelaskan bahwa respon negatif dari para pekerja pelayanan kesehatan di Yunani pada tahun 2009 terhadap vaksinasi H1N1 justru terjadi saat mereka menambang informasi terkait vaksin lewat televisi atau radio.
Sedangkan respon berbeda justru terjadi saat mereka mendapat informasi terkait vaksin lewat jurnal-jurnal kesehatan atau rumah sakit. Maka kepiawaian media dalam menyampaikan informasi yang mencerdaskan masyarakat terkait Covid-19 akan mempengaruhi keputusan publik terkait peningkatan kesehatan.
Optimisme publik juga harus dibangun lewat media. Informasi terkini memang harus disampaikan. Namun mari tetap berimbang dalam pemberitaan. Misalnya berita kenaikan jumlah pasien teridentifikasi positif dapat diimbangi dengan kabar naiknya jumlah pasien yang sembuh di beberapa daerah lain.
“Media harus mampu meredam stigma negatif dan diskriminasi lewat pemberitaannya,” pungkasnya.
Reporter: Irwan Suciono
Redaktur: Zul