Mediajatim.com, Situbondo – Setelah beberapa hari yang lalu Ketua Umum LSM Siti Jenar Eko Febrianto membongkar kegiatan perambahan hutan rimba alam di dataran Ijen Bondowoso tepatnya di Petak 98 KPH Bondowoso BKPH Sukosari RPH Sukorejo. Kini beralih mengupas masalah perambahan rimba alam di Wilayah Kaki Gunung Argopuro, Desa Baderan, Kecamatan Sumbermalang Situbondo tepatnya di Petak 7 NKT 4 RPH Sumbermalang BKPH Besuki.
“Dalam hal ini saya tetap menduga oknum Perum Perhutani Kesatuan KPH Bondowoso melakukan pembiaran atas perbuatan pembalakan liar, dan perambahan liar hutan lindung, rimba alam dan hutan produksi, serta alih fungsi lahan hutan menjadi kawasan wisata,” kata Eko Febrianto, Senin malam (6/4/2020).
Ada dua alih fungsi yang diduga dilakukan pembiaran oleh pihak Perhutani KPH Bondowoso. Pertama, alih fungsi lahan menjadi tempat wisata Plaza Rengganis. Dan kedua, alih fungsi lahan hutan dijadikan lahan pertanian. Hal tersebut diduga belum mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Buktinya, selevel KRPH di bawah tidak paham seperti apa bentuk perjanjian kerjasamanya.
“Dalam hal alih fungsi tersebut, Kepala Divisi Regional (Kadivre) Provinsi Jawa Timur selaku pimpinan wilayah tertinggi, diduga telah mengetahui adanya perbuatan pelanggaran hukum di lingkungan Perum Perhutani tersebut, akan tetapi terkesan tutup mata. Padahal jelas, tindakan pembiaran adalah suatu pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang,” tegasnya.
Perihal pengelolaan hutan telah diatur dalam Undang Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan hutan, jo UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Dan dasar hukum atas pengelolaan kawasan hutan oleh Perum Perhutani adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2010 Tentang Perusahaan Umum/Perum Kehutanan Negara,
serta Pengelolaan Hutan pada Wilayah KPH.
“Apabila kita merujuk kepada ketentuan-ketentuan itu, maka tidak dibenarkan kawasan hutan Perum Perhutani dijadikan tempat pariwisata Plaza Rengganis dan dijadikan lahan pertanian kopi dan tembakau sebelum mendapatkan izin dari kementerian LHK dan pihak terkait lainnya,” ungkap Eko.
Hingga saat ini pihaknya masih yakin ada pelanggaran hukum yang terorganisir dan masif, melihat dari beberapa bukti yang didapat saat melakukan investigasi.
“Hutan itu saat ini rusak dan gundul, telah dirambah secara liar oleh orang tak bertanggung jawab, dan terkesan adanya pembiaran oleh pejabat Perum Perhutani KPH Bondowoso. Akibat dari pembiaran yang dilakukan para oknum Pejabat Perum Perhutani atas dugaan praktik-praktik ilegal telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang luar biasa. Belum lagi penjarahan Batuan untuk bahan material kegiatan mega proyek Plaza Rengganis yang menjarah ribuan kubik batu di kawasan petak 7 NKT 4, yang telah berlangsung beberapa tahun belakangan ini,” paparnya sembari tersenyum pahit.
Eko mengira pihak KPH Bondowoso pasti mengetahui hutan negara rimba alam petak 7 RPH Sumbermalang BKPH Besuki KPH Bondowoso ini dibongkar dan dijadikan lahan pertanian dan Wisata.
“Pasti mereka juga dapat setoran dari bawah. Toh, saat kami tanyakan kepada Asper Besuki sampai dimana PKS wisata ini batasnya?. Mereka jawabnya tidak tahu, kan aneh,” tandasnya.
Menurutnya, jika Perhutani mengawasi dengan ketat, maka alih fungsi lahan itu bisa diminimalisir. Ia pun ragu kalau Perhutani mengaku tidak mengetahui masalah ini.
“Perhutani yang harus membongkar itu. Cari siapa dalangnya, biang keroknya, jangan hanya menyalahkan rakyat yang bekerja di lahan itu. Dari banyak kasus, kawasan hutan di atas hulu dimana-mana masyarakat hanya mengelola saja. Di balik itu ada tengkulak,” tambahnya.
Sekitar ratusan hektar hutan di petak 7 NKT 4 RPH Sumbermalang milik Perum Perhutani KPH Bondowoso beralih fungsi menjadi lahan pertanian tempat wisata ilegal. Bahkan puluhan hektar tersebut terdiri dari kawasan hutan rimba alam dan hutan lindung.
“Dampaknya, hutan yang seharusnya menjadi kawasan penopang kini dipenuhi dengan tanaman hortikultura milik masyarakat. Adapun komoditi lainnya yang ditanam seperti kopi, tembakau dan lainnya. Wajarlah kalau ekosistem di daerah tersebut rusak,” pungkas Eko.
Reporter: Imam Bahri
Redaktur: Zul