Oleh: Fandrik Ahmad
Coronavirus Diseases 2019 (Covid-19) menyita banyak perhatian. Pandemi global tersebut melumpuhkan multi-sektoral, termasuk sektor pendidikan. Mau tidak mau, kebijakan social distancing dan physical distancing memaksa lembaga pendidikan melakukan harus pembelajaran online.
Tidak semua lembaga pendidikan siap menjadi ‘imigran online’. Banyak faktor yang mempengaruhi, baik dari segi sarana prasarana hingga sumber daya manusia. Dr. H. Mundir, M.Pd, dalam Migrasi Digital di Era New Normal, membaginya menjadi tiga kelas: unggul, menengah, dan rendah. Kelas unggul yaitu mereka yang telah melaksanakan pembelajaran online jauh sebelum adanya Covid-19. Kelas menengah adalah mereka yang melakukan pembelajaran berbasis IT dengan model face to face. Sementara kelas rendah disematkan kepada mereka yang tidak atau belum pernah melaksanakan pembelajaran online.
Apakah pendidikan kita siap melakukan pembelajaran online? Tentu kita harus optimis, tetapi juga harus realistis! Berdasarkan hasil survey Programme for International Student Assesment (PISA) akhir tahun 2019 menunjukkan, kualitas pendidikan di Indonesia menempati peringka ke-72 dari 77 negara. Mengapa bisa demikian?
Kurangnya pemanfaatan teknologi dalam kegiatan pembelajaran menjadi salah satu indikatornya. Meski Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, jumlah pengguna internet tahun 2019 sebanyak 171,17 juta jiwa atau 64,8 persen dari total penduduk Indonesia, namun hanya 40% dari guru non-TIK yang siap dengan teknologi. Artinya, masih banyak pendidik yang melaksanakan pembelajaran secara konvensional.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim sangat getol mendorong lembaga pendidikan memanfaatkan teknologi sebesar-besarnya guna meningkatkan kompetensi Abad 21. Namun, misi besar yang dibangun belum terkaji secara strategis dan merata. Tidak heran jika kemudian Mas Menteri, sapaan akrabnya, kaget ketika mengetahui ada wilayah di Indonesia belum teraliri listrik. Belum lagi soal ketimpangan kompetensi guru dan sarana prasaranan pendidikan antara di kota dan di desa.
Kesiapan Psikis dan Mental
Musibah pandemi Covid-19 yang datang tak diduga memangkas jarak satu sama lain. Tentu hal ini menuntut lembaga pendidikan harus menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang ada. Pembelajaran konvensional sementara bermigrasi ke pembelajaran digital. Pendekatan pedagogi beralih ke pendekatan heutagogi. Pendekatan andragogi bergeser ke pendekatan cybergogi
Pembelajaran online barangkali tidak menjadi kendala serius bagi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi senyampang sarana prasaran dan kompetensi guru memadai. Namun, tidak bagi pendidikan dasar, terutama bagi sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah. Permasalahannya menjadi sangat kompleks. Tidak hanya soal sarana prasarana dan kompetensi keahlian, melainkan juga kesiapan psikis dan mental peserta didik dalam belajar
Piaget’s Theory of Cognitive Development menyebutkan, anak pada usia SD/MI, antara 7-11 tahun, berada pada tahapan operasional konkret. Mereka memiliki kecenderungan mulai memandang dunia secara objektif, berpikir operasional, mengklasifikasi benda-benda, dan memahami konsep. Dalam konteks belajar, mereka memiliki kecenderungan kongkret, integratif, dan hierarkis.
Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Mereka membutuhkan banyak interaksi dengan teman maupun lingkungan. Itulah mengapa pembelajaran pada pendidikan dasar menggunakan pembelajaran tematik terpadu, yakni pemaduan mata pelajaran berdasarkan tema-tema tertentu yang kontekstual dengan dunia anak
Ironi Pendidikan
Kehidupan new normal sudah memasuki fase III. Artinya, kegiatan yang melibatkan massa mulai diperbolehkan, seperti kegiatan kebudayaan, pariwisata, olahraga outdoor dan kegiatan massa lainnya dengan tetap memerhatikan protokol kesehatan.
Pada fase ini sekolah seharusnya juga dibuka. Namun ternyata pembelajaran di rumah masih diperpanjang sampai batas waktu belum ditentukan. Tentunya hal ini menjadi semacam ironi. Kawasan wisata dibuka, belajar belum sepenuhnya ‘merdeka’. Boleh berolahraga di ruang terbuka, anak belajar masih terasa ‘di penjara’. Hajatan diperbolehkan, bersekolah masih dalam angan-angan.
Sejatinya, pembelajaran online merampas dunia belajar dan bermain anak-anak. Dunia maya bukanlah taman yang baik bagi seusia mereka. Tak ayal banyak yang bosan dan ingin segera masuk sekolah. Bermain dan bertegur sapa.
Anak-anak tidak bisa belajar mandiri. Harus ada yang bisa mendampingi. Satu-satunya yang sangat memungkinkan menjadi patner belajar dari rumah adalah orangtua. Namun tidak semua orangtua bisa menjadi patner belajar yang baik. Malah potensi stres orangtua bisa lebih meningkat karena masih harus memikirkan ekonomi keluarga.
Lalu, kapan kegiatan pembelajaran tatap muka bisa dilaksanakan kembali? Wallahu ‘alam.
*) Penulis adalah mahasiswa jurusan PGMI Pascasarjana IAIN Jember.