Judul catatan sederhana ini, adalah tema serial diskusi yang digagas oleh Ruang Tengah Sumenep, salah satu organisasi yang baru pertama kali saya dengar menjelang Pilbup Sumenep ini. Sabtu sore, (15/08/2020).
Moderator, meminta agar kawan-kawan yang hadir memaklumi keterlambatan diskusi ini digelar. Menurutnya, ini sudah lumrah terjadi.
Dari yang semula diagendakan pukul 14.30 WIB, sambutan diskusi baru dimulai pukul 15.28 WIB. Ini menarik. Kedisiplinan seperti bukan cerminan dari tanggung jawab.
Di awal diskusi, moderator memberi pengantar yang terbilang bias. Dia menyinggung dugaan CLBKnya Prabowo dan Megawati, manuver politik yang menjungkal Azwar Anas di Pilgub Jatim dan mengakhiri pengantarnya dengan pertanyaan: diantara Achmad Fauzi dan Fattah Jasin, Siapa yang Lebih Pantas?
Sejenak saya bingung. Mungkin moderator ingin memberi gambaran bagaimana politik di Indonesia ini bekerja. Hanya saja, saya tidak mampu menangkap poin itu dimana.
Moderator juga terkesan belum berani membuat pertanyaan terbuka. Misalnya, bermodal dua kali menjadi wakil bupati, apakah Achmad Fauzi dinilai cukup pantas menjadi orang nomor satu di Sumenep? Hanya itukah nilai kepantasannya atau bagaimana? Begitupun pada Fattah Jasin yang puluhan tahun di Jawa Timur.
Namun demikian, harus diakui bahwa gagasan serial diskusi ini cukup bagus. Hanya saja berjalan tidak menyenangkan. Sebab dalam waktu yang tidak lama, diskusi ini berubah menjadi serap aspirasi layaknya audiensi mahasiswa. Itu kesan pertama.
Kedua, pertanyaan siapa yang paling pantas memimpin Sumenep, sama sekali tidak terjawab. Sebab narasumber dari bakal calon bupati Fattah Jasin, M. Muhri, tidak hadir dalam serial diskusi yang digelar di salah satu cafe ini. Hanya Darul Hasyim Fath, dari PDI Perjuangan, yang tampil sendiri mewakili bakal calon bupati Achmad Fauzi.
Dalam serial diskusi ini, tidak ada adu gagasan atau ajakan berpolitik dengan benar dan berkeadilan. Sepintas, diskusi ini terkesan hanya dikuasai oleh PDI Perjuangan dan Gerindra. Kita tahu, keduanya adalah partai pengusung bakal calon bupati dan wakil bupati Achmad Fauzi dan Dewi Khalifah.
Ketiga, dari serial diskusi yang (bagi saya) kurang memuaskan ini, bisa menjadi titik pijak agar dinamika perpolitikan di Sumenep ini tidak stagnan.
Penting ada juru gedor, striker, atau tim komunikasi yang dengan baik memahami dan mampu menyampaikan gagasan calon yang didukungnya. Sejauh ini, mereka terkesan hanya berdiam diri saja.
Misalnya, diskusi sepenting visi dan misi, hanya terjadi di media sosial atau pesan berantai di group WhatsApp. Itu pun lengkap dengan sikap pemilik akun yang kadang bersikap ngotot dan berupaya untuk menjatuhkan. Diskusi semacam ini menjadi tidak terkoordinasi dan berantakan.
Maka ke depan, dalam setiap perhelatan politik, seorang politisi perlu bersikap berani dan tidak alergi dengan forum diskusi. Sebab hal ini bisa menjadi ikhtiar guna saling mengevaluasi.
Akan sangat menyenangkan jika masing-masing tim pemenangan selalu terbuka dan antusias untuk menghadiri forum diskusi. Meski kadang ada kesan diskusi settingan, forum semacam ini tetap menjadi salah satu cara paling elegan untuk menyampaikan gagasan. Ambil hikmahnya. Salam. (*)
Sumenep, 15 Agustus 2020