Mengingat kembali pesan Tauhid tentang konteks kemerdekaan, bahwa merdeka adalah bebas dari segala bentuk penghambaan kepada makhluk, terbebas dari penguasa tiran, termasuk bebas dari tirani nafsu yang membelenggu, dan hanya menghambakan diri pada Allah (tauhid).
Konsekuensi dari tauhid adalah berani, berlepas diri dan tidak terhalangi oleh ketakutan kepada apapun selain kepada Allah, tidak terbelenggu oleh keinginan dan harapan materialistik yang bersifat duniawi, dan selalu berpegang pada kebenaran sehingga terpelihara kemuliaan jiwa serta harkat martabat manusia sebagai ‘Abdullah yang ditugaskan menjadi Khalifatullah di bumi.
Dalam konteks sebagai ‘Abdullah, manusia bertauhid adalah manusia merdeka dari segala macam orientasi keduniaan yang bersifat fana dan sementara, dan hanya berfokus serta bertujuan pada Allah. Sedangkan sebagai “Khalifatullah”, manusia bertauhid ialah manusia yang dalam kehidupan sosialnya memenuhi konstanta-konstanta antropologis, yakni peduli, berperikemanusiaan, belas kasih dan merawat lingkungan. Oleh karena itu, secara otomatis ia mutlak menentang tirani.
Simbol tirani yang ditentang oleh manusia bertauhid sebagaimana disinggung dalam al-Qur’an adalah Fir’aun. Ini menjadi bukti bahwa Fir’aun bukanlah sosok mitologis, namun nyata ada sebagai gambaran dari karakter manusia yang diperbudak hawa nafsu dengan segala bentuk keserakahan dan kesombongan. Karakter-karakter Fir’aun tersebut masih dapat kita jumpai dalam kehidupan saat ini, sosok yang tidak merdeka dan tidak memerdekakan yang berimplikasi “dehumanizing human” yakni menghilangkan harkat derajat manusia secara fithroh, dan oleh karenanya bertentangan dengan spirit tauhid.
Menurut Dr. Fathurrasyid Karakteristik penguasa tiran (yang sebenarnya tidak merdeka) tersebut ialah;
Pertama, Anti kaderisasi; ini memuat makna bahwa seseorang yang diperbudak nafsu kekuasaan akan mempertahankan status quo dengan cara apapun, money politic, bermain hoax, bahkan menghilangkan nyawa adalah manefestasi dari ketidak-merdekaan manusia modern berkarakter Fir’aun. Ia akan memotong generasi berkualitas, tidak memberi kesempatan pada yang lain yang lebih capable. Hal tersebut sama seperti perlakuan Fir’aun yang tergambar jelas dalam QS. Ibrahim ayat 6; يُذَبِّحُونَ أَبْنَآءَكُمْ yang artinya setiap anak lelaki yang lahir akan dibunuh. Ini bukan hanya membunuh generasi penerus, tapi juga membunuh kemanusiaan yang paling asasi. Black campaign, bullying, penyebaran hoax serta hate speech bahkan saling ‘sikut-maut’ jelas menjadi sajian media informasi sebagai wajah perpolitikan kita saat ini, suatu penanda bahwa hal itu masih terjadi; merdeka…?!?
Kedua, Hedonisme Perempuan; penguasa yang tiran jelas cenderung dikelilingi oleh selir perempuan. Fenomena Fir’aun terekam pula di QS. Ibrahim ayat 6; وَيَسْتَحْيُونَ نِسَآءَكُمْ yang oleh seorang mufassir bernama Sayyid Tantawi dikatakan penggalan ayat tersebut memberi pesan moral bahwa anak perempuan yang lahir dibiarkan hidup untuk dijadikan selir yang dapat melayani nafsu penguasa tiran. Dalam konteks kekinian, betapa banyak eksploitasi terhadap perempuan yang justru merendahkan fithrohnya sebagai perhiasan yang dimuliakan. Penguasa tiran memperlakukan perempuan sebagai bahan koleksi agar nafsunya terpenuhi; merdeka…?!?
Lantas seperti apa kemerdekaan sejati yang layak dilekatkan pada suatu bangsa yang menjadi urat nadi sebuah negara? Buya Hamka pernah berkata, “Kemerdekaan suatu Negara dapat dijamin berdiri teguh apabila berpangkal pada kemerdekaan jiwa”. Maka tidak ada pilihan lain, kemerdekaan jiwa hanya dapat dicapai dengan melepaskan diri dari segala bentuk sistem, hegemoni, nafsu, dan ketakutan kepada selain Allah. Ringkasnya, kemerdekaan jiwa hanyalah dengan tauhid, sehingga lahirlah pribadi-pribadi yang berani melawan segala bentuk penjajahan dan terbebaslah suatu masyarakat, bangsa dan Negara.
75 tahun yang lalu, Indonesia mendeklarasikan buah dari tauhid-nya dengan memproklamasikan kemerdekaan yang harus diakui bahwa itu diraih atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Maka saat ini, di bumi merdeka ini, perlu ditabur dan ditanam kembali spirit dan nilai-nilai tauhid yang memerdekakan itu.
Dirgahayu NKRI ke-75
Tumbuh subur Generasi Bertauhid
*) Penulis adalah Ketua Bidang Kaderisasi DPP FALYASBIR (Pembina ALMASBIR), Dosen dan KAHMI IAIN Madura.