PERIODE II

Jurnalistik Melawan Jurnalistrik

Media Jatim

Saya khawatir, catatan sederhana ini akan terkesan serius. Sebab jika sesuai judul, isi catatan ini semestinya bukan hal yang remeh. Padahal, sejauh belajar menulis, saya hanya mampu menangkap ide-ide kecil yang biasanya mudah dilupakan.

Akan tetapi, lepas dari perasaan khawatir, saya sadari bahwa spirit menulis itu bukan sekedar, maaf, untuk menggurui. Namun upaya untuk terus belajar. Menulis bukan hanya untuk menunjukkan diri. Tapi usaha agar tidak berprilaku barbar.

Juru warta, atau yang lebih umum disebut wartawan adalah pelaku jurnalistik. KBBI menyebutkan, wartawan adalah orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat. Baik sebagai karya jurnalistik cetak, elektronik dan online.

Kualifikasi juru warta, bukan perkara gampang. Misalnya, mereka harus menaati kode etik, menguasai bidang liputan dan menguasai teknis jurnalistik.

Seorang juru warta, dengan kualifikasi yang diembannya, mengharuskan mereka agar selalu teliti, independen dan berusaha menguasai betul teknis jurnalistiknya. Beberapa hal basic, misalnya, mengurangi salah ketik, menulis sesuai EYD, menggunakan tanda baca dengan tepat, menulis fakta dan meminimalisir ambiguitas, adalah hal penting.

Baca Juga:  Fakta Bisa Ditutupi, tetapi Kebenaran Menyatu Bersama Udara

Karya jurnalistik membutuhkan sekian piranti yang serius sebelum menjadi bacaan publik. Tidak hanya agar pembaca nyaman. Akan tetapi agar pembaca juga tahu dan percaya dengan profesi juru warta.

Menjaga kepercayaan publik terhadap juru warta, tentu bukan perkara mudah. Di Sumenep, misalnya, dengan tidak adanya verifikasi dan rekrutmen yang tidak terstandarisasi, menjadikan seseorang yang tiba-tiba berprofesi sebagai juru warta, mudah sekali ditemukan.

Lemahnya pengawasan, verifikasi dan standarisasi terhadap juru warta, diduga kuat menjadi penyebab lahirnya karya jurnalistrik. Bukan karya jurnalistik.

Biasanya, karya jurnalistrik selalu abai dengan piranti basic yang harus dimiliki oleh seorang juru warta. Mungkin memang disengaja. Mungkin juga belum punya kompetensi untuk mengemban tanggung jawabnya.

Sebuah karya jurnalistrik, biasaya hanya untuk memberi daya kejut pada pihak atau orang yang dituju. Bahkan untuk menakut-nakuti. Maka, menyebarnya karya jurnalistrik harus dilawan dengan karya jurnalistik.

Baca Juga:  Ngopi Bareng RBT; Merawat Semangat Juang Pemuda

Minimal, publik memiliki pilihan untuk membandingkan sebuah bacaan. Baik sebelum atau setelah membaca karya julnalistrik itu. Publik akan tetap memberikan nilai.

Melawan karya jurnalistrik adalah tugas seluruh juru warta. Sebab dipundak merekalah profesi baik ini harus dijaga. Membiarkan karya jurnalistrik terus bertebaran, sama halnya para juru warta bunuh diri secara pelan-pelan.

Hari ini, yang mendesak dilakukan adalah membuat iklim kompetensi. Tujuannya agar para juru warta punya kemauan untuk terus belajar, mengoreksi dan saling evaluasi. Minimal agar karya julnalistrik secara pelahan bisa dikurangi.

Iklim ini bisa dimulai oleh pemangku kebijakan atau organisasi-organisasi juru warta yang peduli dan prihatin dengan karya jurnalistrik yang berserakan. Juru warta harus tetap menjadi gelandangan yang terhormat. Bukan sekedar gelandangan yang dicemooh sejuta umat. Salam.

Gapura, 20 September 2020

Ditulis oleh Nur Khalis, wartawan muda Kab. Sumenep.