Runtuhnya Wahyu Keprabon Trump

Media Jatim

Sesekulernya Donald Trump, Presiden Petahana AS, ternyata memiliki penasehat spiritual yang bertugas mengerahkan roh untuk memenangkannya pada jabatan kedua. Praktek klenik ini ternyata masih laku di negara sekuler yang telah memisahkan agama dengan negara, dan membangun Temple Of Reason (kuil akal) sebagai ganti kuil tempat beribadat umat. Ia masih sangat percaya bahwa kekuasaan bukan semata dimensi rasional akan tetapi juga dimensi spiritual.

Paula White Cain, penasehat spiritual Trump, pada Rabu malam, 4 November 2020, memimpin kebaktian untuk memanggil bala bantuan para malaikat dari Afrika dan Amerika Selatan untuk menghadapi “konfederasi setan” yang berusaha mencuri suara Trump dalam pemilu. Kebaktian ini ditujukan untuk kemenangan Trump menjadi presiden AS kembali.

Rupanya, Tuhan punya rencana lain terhadap Trump, politisi republikan berlatar pebisnis properti, ia mau tak mau, baru menerima kekalahan konfederasi malaikat atas konfederasi setan, dalam kontestasi pilpres paling sengit 5 dekade terakhir. Ia harus meredefinisi peran dan kiprahnya dalam balantika politik AS kontemporer. Apakah ia akan bertarung kembali 4 tahun akan datang, ataukah kembali ke dunia bisnis dan usaha? Penasehat spiritualnya harus “beristikharah”, wahyu keprabonan AS masihkah berpeluang dirembut kembali apakah tidak. Terlebih di internal Partai Republik, ada tokoh yang sudah berancang-ancang maju dalam kandidasi presiden AS pasca Joe Biden.

Trump dengan segala kelebihan dan kekurangannya, membangkitkan kembali diskursus “teologi kekuasaan” pada publik internasional. Bahwa di balik segala strategi dan sumberdaya politik yang besar, penentu kemenangannya tetap Dzat Pemilik Kekuasaan. Ia telah menjadi contoh terbaik, wahyu keprabon adalah ajaran universal dari filosofi nilai kekuasaan. Betapa usia kekuasaan ada ajal, dan kekuasan pun bukan deret angka kemenangan. Tuhan akan terus mempersilihgantikan kemenangan antar umat manusia di jagad raya ini.

Sayangnya, Trump juga membangkitkan ketidakpercayaan pada sistem pemilu AS yang dinilai penuh kecurangan. Ini lantaran ia kalah dalam perhitungan sementara hasil pilpres. Dua anak lelakinya turut menyerang lawan-lawan politik ayahnya, dan mengajak perang total terhadap kecurangan pilpres. Donald Trump Jr dan Erick Trump, kedua puteranya menyalahkan Partai Republik pengusung dan Biden atas kekalahan yang terjadi. Sampai-sampai, akun twitternya disuspend oleh perusahaan twitter sendiri, sebab menyebarkan hoax perihal hasil pemilu AS. Selain, ia mengerahkan kuasa hukum dan massa pendukungnya untuk menghentikan penghitungan di beberapa negara bagian yang dinilai pelaksanakaan pemilu tidak jujur dan adil.

Baca Juga:  Pandemi Corona, GP Ansor Pamekasan Imbau Seluruh Kader Hentikan Agenda Sementara

Sungguh, manuver Trump meningkatkan tensi politik dan keamanan di AS. Aksi protes terjadi dimana-mana, sampai ada aksi demo dengan membawa senjata otomatis dengan mengepung tempat penghitungan suara di Arizona. Tentu, demo seperti ini bisa memicu kekerasan tak ubahnya gaya preman atau bahkan teroris yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, hatta penggunaan kekerasan yang dilaknat dalam sistem demokrasi.

Trump tak mau mengakui kemenangan Biden yang telah mengantongi 290 electoral collage, ia tetap mangancam tak akan mau keluar dari gedung putih. Ia akan membentengi diri untuk bertahan disana. Secret Service US President atau Paspanpres AS pasti berhadapan dengan bodyguard Trump dan pendukung yang ngotot ingin tetap bertahta, walau realitas politik hasil pemilu, ia bukan lagi presiden AS.

Terus terang, manuver Trump ini di luar tradisi adiluhur AS yang dianut beradab-abad lamanya. Calon yang kalah biasanya dengan gentlemen mengucapkan “selamat” terhadap presiden terpilih. Ia pun mendukung transisi kekuasaan dengan aman dan damai demi menjaga integritas nasional AS. Bila drama politik ini tak segera diakhiri, maka pasti, pemilu kali ini akan menyerat AS di ambang pintu “perang saudara”.

Gaya politik Trump di atas meruntuhkan wahyu keprabon dirinya, sekaligus kuil akal publik AS. Bahwasannya jabatan setinggi apa pun, termasuk jabatan presiden sekalipun, kata Gus Dur, tak bisa menjadi alasan untuk menumpahkan darah manusia. Sebab, kemanusiaan itu di atas segalanya. Nilai luhur rasionalitas dan humanitas tersebut, sepertinya akan dikorbankan demi melanggengkan kekuasaannya, tak peduli sikapnya menimbulkan kekacauan politik dan keamanan AS.

Baca Juga:  Inilah Fakta Sopir Asal Bangkalan yang Meninggal di Dalam Truknya

Trump terkena sindroma politik Prancis pra revolusi, dimana Raja Louis XIV seringkali berulang-ulang mengucapkan L’Etat c’est moi (negara adalah saya) di hadapan anggota parlemen di Paris. Ia tak ubahnya Raja Louis yang merasa dirinya adalah negara AS itu sendiri. Padahal, akal sehat mengajarkan bahwa kepentingan negara di atas kepentingan penguasa itu sendiri. Sebab, di negara demokratis, kultus individu dan personifikasi negara pada seorang tokoh, diganti dari strongman dengan strongsystem dalam mengelola pemerintahan.

Keputusan rakyat AS sudah sangat benar, lebih mendukung Biden daripada Trump. Ternyata, ia membangkitkan mitologi penguasa kuno, bahwa pemimpin itu “titisan dewa” yang mendapatkan wahyu keprabon untuk memerintah bumi manusia atas nama kerajaan Tuhan. Bahkan bisa-bisa seperti penguasa besar masa lalu, mengaku dirinya sebagai Tuhan, seperti Firaun dan Namrud yang merasa dirinya adalah ana rabbakumul a’la (saya tuhanmu yang tertinggi) dalam kisah quranik.

Penguasa Jagad Raya, nampaknya masih sayang terhadap rakyat AS, menyelamatkannya dari cengkraman arogansi Trump yang mulai terpapar virus kekuasaan menyimpang. Dimana, ia lebih asyik dengan urusan dirinya sendiri daripada urusan orang lain. Bahkan, Mary Trump, menyebut pamannya tersebut sebagai pribadi curang dan kejam, seperti dalam buku Too Much and Never Enough: How My Family Created the World’s Most Dangerous Man.

Akhirnya, Pilpres AS memberi pembelajaran maha penting, bahwa memilih pemimpin tak bisa hanya mengacu pada popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas yang tinggi, akan tetapi juga harus mempertimbangkan personalitas yang berbudi pekerti luhur. Tegasnya, menjadi pemimpin itu merupakan maqom kemanusiaan tertinggi, yang menuntut bekerja di atas standart ekspektasi manusia pada umumnya.

*) Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.