Judul: Panggil Aku Maryam: Sebuah Biografi Kritis Bunda Maria
Penulis: Lesley Hazleton
Penerjemah: Muhammad Isran
Tahun: Maret, 2020
Tebal: 372 halaman
Penerbit: IRCiSoD
ISBN: 978-623-7378-10-5
Barangkali kita belum bisa move on dari karya mengesankan Lesley Hazleton, The First Muslim, sebuah pembacaan ulang atas biografi Muhammad dari sumber otoritatif Thabari dan Ibn Ishaq. Tetapi dari buku Panggil Aku Maryam, jurnalis cum psikolog Inggris-Amerika itu tidak hanya menciptakan impresi, tetapi juga membuat kita nanap. Sebab ia telah merekonstruksi figur yang telah dinarasikan secara mistis oleh dua kitab suci, Injil dan Al-Quran.
Dalam buku tersebut, Hazleton melepaskan sosok Maryam dari dunia legenda dan menghadirkannya kembali sebagai sosok faktual yang pernah hidup dua ribu tahun lalu. Membangkitkan Maryam historis mungkin susah-susah gampang. Yang dibutuhkan bukan hanya akurasi data, melainkan imajinasi. Tetapi, paling tidak, mencetak potret perempuan yang pernah eksis pada awal masehi barangkali tidak terlalu sulit, sebab saat itu—dengan lanskap geografi dusun yang gersang—mata pencaharian yang ditawarkan tidak sevariatif sekarang.
Walhasil, produk intelektual Hazleton melahirkan Maryam sebagai gadis petani-penggembala. Maryam Hazleton memang bukan Maria Biblis dan Quranik, tetapi tidak berarti ia mencerabut perempuan itu dari kedua kitab suci tersebut sepenuhnya. Jika tradisi Islam memberi Hanna dan Amran sebagai orang tua Maryam, Hazleton membiarkan dara Nazaret itu tetap enigmatik tanpa kehadiran ayah dan ibu—sebagaimana Maria dalam Alkitab. Hazleton seolah-olah tidak ingin terlalu spekulatif dengan mereka-reka misteri orang tua Maryam.
Maka sebagai alternatif, Hazleton mengajukan tokoh yang lebih tua sebagai orang yang mendidik dan membesarkan Maryam. Perempuan itu bernama Salome, seorang nenek sekaligus sosok yang berperan penting dalam membentuk keahlian Maryam sebagai tabib.
Kelak, ahli waris “Perempuan Bestari”—gelar untuk para praktisi pengobatan—itu mentransmisikan ilmu penyembuhan kepada putranya, Yesus, yang kondang sebagai juru medis yang secara mukjizati digambarkan kitab suci mampu membangkitkan jenazah. Premis tersebut menolak hipotesis para sarjana bahwa pada tahun-tahun Yesus yang hilang, sang Mesiah melancong ke Tiongkok dan India untuk belajar ilmu kedokteran.
Maryam mengandung pada umur 13—usia yang matang untuk hamil di tengah-tengah masyarakat dengan angka kematian tinggi. Kitab suci menceritakan bahwa Maryam hamil secara partenogenesis. Anunsiasi Maria terjadi ketika malaikat menyambanginya dan mengabarkan bahwa Roh Kudus akan ditiupkan ke dalam rahimnya.
Keperawanan dan kehamilan, meminjam istilah Kierkegaard, jelas merupakan paradoks absolut—dan memang begitulah cara kerja iman. Namun, “keperawanan”, dalam kisah Maryam, mengalami pergeseran semantis. Dengan perspektif modern, Gereja telah memaknai keperawanan Maryam sebatas selaput dara. Selain mencitrakan Maryam aseksual, doktrin keperawanan juga harus ada untuk memenuhi nubuat. Tetapi kepercayaan yang lebih purba menyematkan keperawanan kepada figur tertentu tidak melulu didasarkan pada hymen. Dalam hal ini, label keperawanan Maryam harus diteropong secara metaforis. Keperawanan Maryam—selain karena problem penerjemahan Injil Septuaginta—juga perlu dikaitkan dengan konteks spiritual saat itu di mana devosi kepada dewi-dewi perawan (Isis, Ishtar, Cybele, Artemis, dsb) dan ibu dari para ilahi berkembang sporadis. Singkatnya, keperawanan merupakan simbol kemudaan, vitalitas, energi, kuasa, kesuburan.
Jika keperawanan Maryam hanya metafora, lalu siapakah ayah biologis Yesus? Hazleton mengajukan beberapa jawaban berdasarkan asumsi para sarjana. Ia bisa jadi diperkosa seorang serdadu Romawi. Maryam hidup ketika Galilea dijajah Romawi dengan raja boneka Herodes Antipas. Ekspansi, aneksasi, dan despotisme tentara Romawi kerap melibatkan kejahatan perkosaan. Tetapi bisa juga ia diperkosa laki-laki Nazaret. Selain itu, salah satu Injil apokrif menyatakan bahwa ketika masih kecil, Maryam dipersembahkan untuk menjadi abdi Bait Suci. Di sana, kemungkinan pelecehan seksual para imam kepada Maryam bisa terjadi, lalu Yusuf si tukang kayu dipilih majelis Bait Suci sebagai suaminya. Merujuk pada asal-usulnya yang lahir dari pelecehan Romawi dan Bait Suci atas ibunya, dengan psikoanalisis sederhana, masuk akal jika kemudian aktivisme subversif Yesus disasar kepada dua institusi tersebut.
Namun, Yusuf si tukang kayu sebagai suami Maryam sekaligus ayah kandung Yesus merupakan kemungkinan paling kuat. Dalam Alkitab, absennya sosok Yusuf sebagai kepala rumah tangga dilandasi motif teologis. Pertama, kepercayaan tentang paternitas Tuhan begitu lumrah pada agama-agama saat itu untuk memberi legitimasi ilahiah pada figur tertentu. Setiap tokoh yang diagungkan tidak hanya memiliki ayah biologis, tetapi juga diharapkan bergaris nasab dengan Tuhan. Kedua, karena ingin menghilangkan aspek seksualitas Maryam, Gereja cuma memberi peran figuran kepada Yusuf (sebagai suaminya) untuk menjaga posisi perempuan itu tetap perawan tingting—termasuk menyangkal bahwa ia bisa saja diperkosa.
Terlepas dari bagaimana ia hamil, Hazleton menyingkirkan sifat pasif Maryam sebagaimana yang dilekatkan kitab suci kepadanya. Maryam—bersama sejumlah perempuan lain—dalam penelusuran dan prediksi ilmiah Hazleton merupakan karakter yang turut serta dalam gerakan sosial Yesus. Menjelang penyaliban sang Almasih, ketika murid-murid laki-laki kabur entah ke mana, Maryam bersama para perempuan menyertai kepedihan Yesus selama peristiwa via dolorosa berlangsung.
Hazleton mencatat bahwa Kekristenan pertama tidak lahir dari para murid laki-laki, tetapi dari rahim etos perempuan-perempuan Maryam. Sebab kebangkitan Yesus—yang menjadi inisiasi doktrin Gereja—disaksikan perempuan yang menjaga makam. Pada kasus ini lagi-lagi Hazleton menulisnya sebagai fenomena majasi. Yang bangkit bukanlah tubuh korporeal Kristus, melainkan ajaran-ajarannya. Para perempuan Maryam dalam komunitas religius bercorak feminin terus menjaga agar api kasih ajaran Yesus senantiasa menyala.
Pada Injil-Injil apoktif, Maryam kerap dihubung-hubungkan dengan “Perempuan Hikmah”, aspek feminin Ilahi, sebagaimana dalam tradisi mistisisme Yahudi. Dalam bahasa Yunani, ia adalah Sofia. Namun, Gereja Katolik yang patriarkal melemahkan kadar keilahiannya sebatas theotokos, “yang melahirkan Allah”. Lalu dimensi feminin Ilahi dalam struktur Trinitas Suci disubstitusi oleh Roh Kudus.
Hazleton membentangkan riwayat Maryam, dari remaja hingga akhir hayatnya, dengan keterampilan gabungan seorang jurnalis, psikolog, dan pesastra. Ia tidak hanya piawai melaporkan milieu sosio-politiko-kultural di mana Maryam tinggal, tetapi juga masuk ke ranah sentimental Maryam sebagai perempuan beserta segala kompleksitas emosinya, lalu menulisnya dengan bahasa yang amat estetis. Pada penghujung karyanya, Hazleton merefleksikan spirit perempuan Nazaret itu dengan kalimat: Dalam ruh, semangat Maryam, kita semua adalah ia.
*) Royyan Julian adalah penulis yang tinggal di Pamekasan. Buku mutakhirnya berjudul Ludah Nabi di Lidah Syekh Raba (2019). Ia bergiat di Universitas Madura dan Sivitas Kotheka.