Oleh: Anick HT
Siapa yang mampu membantah bahwa di negeri ini persoalan kesetaraan antar penganut agama masih menjadi barang mahal? Siapa yang mampu membantah bahwa masih terdapat sekian ketimpangan dan diskriminasi kasat mata antar pemeluk agama yang didasarkan atas jumlah pemeluk dan relasi kuasa?
Namun siapa pula yang bisa membantah bahwa negara ini secara konstitusional, secara hukum, dengan sangat tegas meletakkan setiap warga negara berkedudukan sama di hadapan hukum dan keadilan? Siapa yang bisa membantah bahwa negara juga menjamin kebebasan setiap warga negara untuk mendapat perlakuan yang sama di mata pemerintah, tanpa membedakan apa jenis agamanya, apa sukunya, dan apa aliran teologi yang dianutnya?
Pada titik itulah Gus Yaqut berdiri.
Ketika Menteri Agama baru ini meluncurkan pidato pada detik pertamanya: bahwa ia adalah menteri semua agama; bahwa kita harus mendorong agama menjadi inspirasi, bukan aspirasi, tiba-tiba kita merasa menemukan Indonesia yang seharusnya.
Ketika beberapa hari kemudian Gus Yaqut meluncurkan pernyataan yang dianggap sensitif, bahwa warga Syiah dan warga Ahmadiyah perlu diafirmasi dengan memfasilitasi dialog yang lebih intensif untuk menjembatani perbedaan, tiba-tiba kita merasa bahwa kita memiliki Menteri Agama.
Ketika di hari berikutnya beliau meluncurkan pidato ucapan selamat natal dengan sangat bergizi, berbobot, dan menjadi Menteri Agama pertama sepanjang sejarah Republik yang dengan lugas menyebut Yesus Kristus tanpa beban, tiba-tiba kita merasa bahwa kita masih memiliki harapan terhadap masa depan toleransi di negeri ini, setelah dicabik-cabik oleh politik identitas dan politisasi agama.
Dan saya ikut berdiri di belakang Gus Yaqut. Dan saya yakin saya tidak sendirian.
Adakah yang dirugikan dengan tiga poin mendasar yang menjadi langkah awal Menteri Agama baru ini? Tentu saja.
Yang dirugikan adalah orang-orang yang terbiasa menggunakan agama sebagai kuda tunggangan politik, yang menganggap tujuan agama adalah kekuasaan. Yang dirugikan adalah orang-orang yang selama ini merasa bahwa atas dasar dan melalui agamanya, ia berhak menyingkirkan dan menindas manusia lain. Yang dirugikan adalah orang-orang yang merasa bahwa dengan posisinya yang dominan dan mayoritas, mereka harus memberangus kelompok lain yang berbeda secara ideologis dan cara pandang agamanya. Yang dirugikan adalah orang-orang yang merasa bahwa relasi antar-agama adalah relasi saling mengalahkan, menjatuhkan, memusuhi.
Sebagian orang justru khawatir langkah awal yang tegas dari Gus Yaqut ini akan menjadi bumerang bagi jabatannya. Namun saya percaya, sebagaimana Gus Dur, Gus Yaqut juga menganggap tidak ada jabatan apapun di dunia ini yang layak dipertahankan mati-matian.
Bagi saya, tiga langkah awal Gus Yaqut itu sudah sangat prinsipil menunjukkan bagaimana seharusnya meletakkan agama dan substansi agama dalam kehidupan bernegara; bagaimana seharusnya umat beragama bersikap terhadap umat beragama lain yang berbeda; dan bagaimana seharusnya menjadi seorang menteri yang memastikan perlindungan terhadap semua warga negara tanpa memandang latar belakang agamanya.
Karena itu, jika minggu depan langkah ini menjadi bumerang bagi Gus Yaqut karena orang-orang yang merasa diganggu kemapanan dan kekuasaannya bergerak dan berhasil mendongkelnya dari kursi menteri, Gus Yaqut sudah akan dikenang sebagai Menteri Agama yang sebenarnya. Yang jelas, Tuan Presiden harus diingatkan selalu, bahwa orang-orang yang dirugikan itu tak lebih penting daripada upaya mempertahankan Indonesia yang melindungi segenap warganya dalam kesetaraan dan keadilan.
*) Tulisan ini sebelumnya dipublish di akun Facebook Anick Ht.