Oleh: Kholisin Susanto*
Sebuah tradisi tahunan yang begitu luar biasa telah tiba. Tradisi ini bisa dikatakan lebaran kedua bagi masyarakat Madura khususnya. Tellasan Topa’, begitu orang pulau Garam menyebutnya. Tellasan bermakna lebaran atau hari raya. Sedangkan Topa’ merupakan bahasa daerah orang Madura kala menyebut Ketupat.
Tellasan Topa’ bagi masyarakat Madura, termasuk bagian dari budaya yang sakral. Disebut sakral, karena sebelumnya sebagian umat Islam ada yang menjalani puasa sunnah selama enam hari, sejak hari kedua bulan Syawal. Secara tradisi, Tellasan Topa’ digelar pada tanggal 8 Syawal, atau tujuh hari pasca lebaran Idul Fitri.
Semasa hidupnya, salah satu budayawan Madura, mendiang Edhi Setiawan menyebut Tellasan Topa’ sebagai salah satu budaya Madura yang sangat unik. Menurutnya Tellasan Topa’ sebagai metamorfosa budaya yang begitu luar biasa.
Sebagai kegiatan yang merupakan campuran ritual budaya yang sangat luar biasa. Penulis berpendapat ini suatu tempat luapan untuk melepaskan kepenatan, kegembiraan di tengah pergulatan hidup yang cukup keras. Tellasan Topa’ merupakan even yang bagus. Diketahui, di momen ini terjadi perputaran ekonomi yang sangat besar. Seperti di tempat wisata atau di situs budaya berupa tempat-tempat ziarah mengalami pembludakan pengunjung atau peziarah, sehingga memberi dampak segar bagi pendapatan warga sekitar. Di tempat-tempat tersebut terkadang ada penjual ketupat yang sudah diolah menjadi ragam makanan khas. Orang Madura sangat luar biasa dalam menjaga budaya. Ini sangat perlu dijaga kelestariannya.
Secara historis, tradisi ini berlangsung turun-temurun sejak masa pembumian awal Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa. Islam yang diperjuangkan dan dibawa oleh tokoh-tokoh Wali Sanga Jawadwipa. Topa’ atau ketupat, merupakan makanan berbahan dasar beras yang dibungkus anyaman janur kuning. Biasanya, Topa’ disajikan dalam bentuk menu berjenis soto, opor, campor, kaldu, dan lainnya.
Di antara sekian banyak makna Tellasan Topa’, salah satu pelajaran yang penting untuk diambil dalam kehidupan sehari-hari ialah sikap guyub, gotong royong, saling membantu, dan saling memberi. Sikap tersebut seringkali kita temui, khususnya di masa lampau, tentang kisah dan pengalaman-pengalaman dalam proses menyambut Tellasan Topa’.
Dulu, masyarakat menyiapkan Topa’ dengan swadaya. Mulai mencari janurnya, lalu menganyam, dan selanjutkan mengisi wadah atau orong , dalam bahasa Maduranya, dengan beras. Sebelum selanjutnya mengukus dalam tungku berapi, semuanya dilakukan bersama-sama dengan melibatkan banyak anggota keluarga, sanak kerabat dan tetangga. Saling membantu satu sama lain dalam suasana suka cita dan gembira ria.
Kegiatan bertukar menu masakan ketupat, saling silaturrahim yang terasa begitu mengasyikkan ditemukan dalam Tellasan Topa’ ini. Mungkin bagi generasi yang mengalami masa kecil di tahun 90-an masih bisa mengingatnya.
Namun lambat laun suasana ini mulai bergeser saat orong Topa’ atau wadah Topa’ mulai dijual bebas di pasar-pasar maupun di pinggir jalan. Warga hanya tinggal mengisinya dengan beras dan mengukusnya. Nah, dari ini suasana guyub sudah mulai tidak terasa.
Namun pasca tahun 90-an di tengah semakin sibuknya aktivitas banyak orang, kegiatan menyambut ketupat lebih instan lagi, yakni dengan membeli ketupat masak. Warga cukup membelahnya dan menyajikannya di saat Tellasan Topa’, baik pada keluarga di rumah, atau sanak kerabat dan tetangga dekat.
Sudah jarang ditemui aktivitas di setiap rumah atau keluarga yang masih menyempatkan diri membuat ketupat sendiri. Entah apa karena budaya instan mulai menyelimuti kehidupan sehari-hari kita atau faktor kesibukan yang tambah padat.
Namun alih-alih menghidupkan tradisi masa lampau, tak jarang masyarakat yang sudah rindu dengan ketupat dan suasana guyub dalam tradisi Tellasan Topa’, justru cukup dengan membelinya di warung-warung soto, campor, dan rumah makan yang menyediakan menu Tellasan Topa’.
Bagaimana pembaca yang budiman? asyik bukan membayangkan suasana Tellasan Topa’ di masa lampau? Semoga tulisan singkat ini bermanfaat untuk kita semua. Terimakasih.
*) Penulis adalah Jurnalis Muda Insan Cita dan Aktivis HMI Cabang Pamekasan.