Display 17 Agustus _20240829_131215_0000
Opini  

(Masih) Tak Ada Corona di Madura

Media Jatim

Oleh: Masyithah Mardhatillah*

Banner Iklan Media Jatim

Setahunan yang lalu, saya iseng menyumbang sebuah book chapter dengan tulisan ringan bertajuk “Tak Ada” Corona di Madura. Ia mengulas bagaimana masyarakat Madura umumnya cuek saja bahkan cenderung tak mempercayai keberadaan Corona. Sekian kasus yang muncul tidak cukup meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan apalagi menggagalkan berbagai aktivitas dan ritual adat (tengka) yang meniscayakan kerumunan.

Belakangan pada awal Juni, kemunculan berbagai varian baru dan ledakan kasus ‘kematian tak biasa’ yang dimulai dari Bangkalan seperti akan berhasil menghilangkan relevansi judul tersebut. Bangkalan sempat menjadi penyumbang angka kasus positif baru terbanyak se-Jatim (bbc.com, 8 Juni 2021) yang bahkan bertahan hingga akhir Juni (kompas.com, 6 Agustus 2021). Namun seiring waktu, judul di atas ternyata masih representatif meski sejak awal tidak diniatkan sebagai ramalan.

Beberapa kecamatan di Bangkalan awalnya dilaporkan mengalami rentetan kematian warganya yang tak wajar secara jumlah maupun frekuensi. Konon, sebagian warga setempat bekerja di sektor pelayaran yang mengharuskan kontak dengan banyak orang dari berbagai wilayah bahkan negara sehingga jalur tersebut rentan menjadi celah penyebaran virus.

Menurut beberapa kesaksian, dalam sehari, berita duka dapat terdengar berkali-kali. Sebagian besar di antaranya dapat di-tracing dari kontak antaranggota keluarga, sahabat atau kolega dalam interaksi beberapa hari terakhir. Meski tidak bisa begitu saja disebut Corona karena sebagian memang tidak menjalani prosedur testing, gejala penyakit dan arah penularan dinilai banyak mengarah pada varian Delta.

***

Ketika suasana mencekam ini merengsek ke arah timur menuju tiga kabupaten lain di Madura, ia secara kebetulan berbarengan dengan peralihan musim sehingga semakin sulit membedakan Corona dan masuk angin biasa. Sementara itu, santernya berita kematian dari media sosial maupun speaker masjid semakin menyebar. Pemandangan yang sebelumnya hanya terlihat di televisi dan media sosial seperti berpindah langsung ke depan mata.

Di tengah kondisi ini, penyangkalan terhadap keberadaan Corona muncul dengan istilah panyaket sateya’an atau panyaket sanonto yang berarti penyakit kekinian (kompas.com, 6 Agustus 2021). Ia menggambarkan keluhan kesehatan yang lazim terjadi belakangan dan banyak menyebabkan kematian mendadak dan beruntun.

Sebagai ekspresi penyangkalan, ia nyaris tak memberi efek apa-apa terhadap kepatuhan akan protokol kesehatan dan kesadaran untuk bervaksin. Ini seperti membenarkan survey SMRC periode 28 Februari-8 Maret 2021 yang melansir bahwa Jawa Timur adalah provinsi kedua tertinggi yang warganya menolak divaksin (tempo.co, 31 Juli 2021), mengingat tidak sedikit suku Madura yang mendiami wilayah tapal kuda dan beberapa daerah lain di Jawa Timur.

Baca Juga:  Anggaran Covid-19, Bupati Pacitan: Uang Kebencanaan Ini Jangan Sampai 'Kalong' untuk Petugas

Berbagai fasilitas kesehatan tetap dan justru semakin menakutkan karena berbagai prosedur dan produknya seperti vaksin, test swab, isolasi, dan yang lain dianggap merepotkan dan menyulitkan. Sebagai alternatifnya, masyarakat menggunakan pengobatan lain semisal jamu dan treatment tradisional, pengobatan alami, rukyah, hingga rawat jalan.

Di luar itu, panyaket sateya’an juga coba ditangkal dengan ritual keliling kampung di malam hari dengan obor sembari melantunkan berbagai bacaan serta sedekah massal dalam ritual yang disebut rokat. Semua dilakukan dengan antusiasme tinggi meski pada saat pelaksanaan, nyaris tidak terlihat satupun yang mengenakan masker apalagi menjaga jarak.

IMG-20240908-WA0006
IMG-20240908-WA0007
IMG-20240907-WA0007

Selebihnya, respon lain terhadap gejala ini adalah berburu doa dan amalan anti wabah dari berbagai figur otoritatif, seperti kiai atau tokoh masyarakat lain. Doa dan amalan semacam ini biasanya akan disebarluaskan pada para kerabat dan sahabat sebagai bentuk kepedulian sekaligus upaya mengatasi penyakit dari ‘jalur lain’.

***

‘Tiadanya’ Corona di Madura memicu banyak reaksi publik, utamanya mereka yang bersinggungan dengan urusan pandemi. Satu di antaranya adalah Dr. dr. Windhu Purnomo, seorang epidemiolog Universitas Airlangga Surabaya. Seperti dilansir detik.com pada 1 Agustus 2021, dr. Windhu mengatakan bahwa Madura memerlukan penanganan khusus. Ia juga menengarai bahwa tingkat pendidikan adalah penyebab utama abainya masyarakat terhadap protokol kesehatan.

Dr. dr. Windhu bisa jadi benar, meski tidak sepenuhnya. Jika ia membandingkan antara kondisi saat ini dan kondisi ketika Madura menjadi wilayah yang paling terdampak Spanish Flu pada awal abad ke-90 dengan titik tekan pendidikan, tentu ini memerlukan pengkajian ulang. Menjamurnya lembaga pendidikan di Madura adalah salah satu data yang tidak bisa diabaikan karena sedikit banyak ia berbanding lurus dengan tingkat pendidikan masyarakat setempat.

Baca Juga:  Virus Corona Mewabah, Rumah Zakat Imbau Donasi Melalui Aplikasi

Dalam konteks Corona, masyarakat Madura sebenarnya relative sulit menerima sesuatu yang baru. Apalagi, Corona identik dengan ‘produk’ China sementara agitasi-agitasi semisal keberadaannya yang menyebabkan ibadah haji ditunda, masjid ditutup, penyelewengan sebagian oknum, hingga ketidakberpihakan pemerintah pada rakyat kecil adalah makanan sehari-hari di tengah masifnya hoaks dan minimnya literasi media.

Sebagai gantinya, mereka memodifikasi kepercayaan perihal tha’un dan mencari kontekstualisasinya dengan gejala yang sedang dihadapi. Mau tak mau, respon yang muncul kemudian lebih bernuansa perlindungan dari tha’un dibandingkan dari mahluk tak kasat mata semacam virus. Hal demikian bukan melulu soal keterbukaan terhadap hal baru, tingkat pendidikan ataupun akses informasi, tetapi juga soal berakar kuatnya tradisi dan kearifan lokal yang dijaga dan dilestarikan secara turun-temurun.

Stigma terhadap pasien Corona atau panyaket sateya’an, misalnya, tampak tidak terlalu menjadi persoalan, apalagi jika yang bersangkutan kemudian sembuh, menjadi penyintas dan hidup normal. Akan tetapi, konsekuensi dari vonis Corona-lah yang sangat menganggu bangunan kultur orang Madura ketika pasien akhirnya meninggal dunia.

Jenazah yang dibungkus peti, tidak disalatkan, dimakamkan secara tak biasa tanpa diantarkan sanak saudara dan tetangga kemudian tidak didoakan melalui ritual lelayu dan tahlil adalah pelanggaran besar terhadap protokol budaya dan religiusitas orang Madura. Kontestasi antara tengka dan Corona tidaklah apple to apple karena masyarakat akan cenderung mengabaikan hal-hal yang dapat menghambat pelaksanaan tengka, apalagi jika hal tersebut masih terasa asing dan baru.

Karena itu, tak heran jika hingga hari ini ketika empat kabupaten berangsur pulih dan beralih menjadi zona sedang risiko, Corona tidak pernah benar-benar ada di Madura. Kasus-kasus yang tak dilaporkan masih jauh dari jangkauan angka dan data yang terekam. Protokol kesehatan masih menjadi sesuatu yang elitis begitu juga dengan persentase vaksinasi dan literasi soal pandemi. Dari situ, tak ada salahnya jika Madura belajar dari Suku Badui yang menggabungkan kearifan lokal dan tekonologi medis kekinian untuk menekan angka penyebaran Corona sehingga berhasil menuai prestasi 0 kasus sejak awal pandemi hingga hari ini.

*) Ibu dua anak, dosen IAIN Madura, Pamekasan.