Selama ini, kita—yang kadang selalu memekikkan diri sebagai pejuang literasi—mungkin jarang bertanya, atau sengaja mengabaikannya: mengapa kita menulis? Kepada siapa kita menulis? Dan apa/siapa yang harus kita tulis?
Tiga pertanyaan ini, nampaknya memang sering kali terlewatkan dalam ruang-ruang diskursif pengetahuan kita selama ini. Alih-alih kita bertepuk tangan atas semakin meriahnya produksi buku-buku dan riset-riset ilmiah, yang kian hari semakin tak terbendung lahir dari tangan dingin para sarjana, dosen, dan profesor. Dari tahun ke tahun jumlah penerbitan buku memang terus meningkat. Siapa pun kini bebas menerbitkan naskahnya. Tak peduli pantas atau tidak, bagus atau jelek, dst. Begitupun proyek-proyek riset dengan funding yang fantastis di berbagai bidang kajian, kini juga sudah berhamburan di mana-mana. Keadaan ini mendesak kita untuk bertanya secara serius: apakah kondisi ini bisa disebut ‘angin segar’ bagi dunia intelektual kita?
1/
Na’as, justru kita mendapatkan jawaban yang negatif. Fakta tentang meningkatnya kuantitas penulis dan jumlah riset-riset ilmiah dari sejumlah kampus dan universitas, tidak berhubungan dengan peningkatan iklim intelektual kita saat ini. Dalam praktiknya, justru yang bisa disaksikan hari ini adalah kian terpuruknya tradisi kepenulisan kita. Keterpurukan tersebut berlangsung tepat saat tradisi kepenulisan kita mengalami sejumlah pergeseran: dari dimensi-dimensi sosial yang sengit, kajian-kajian teoritis yang matang dan ketat, ke model-model kepenulisan yang netral, menghibur dan populer, dengan mengikuti trend publik yang sudah terdikte oleh hukum-hukum pasar dan wacana-wacana pro status-quo.
Keadaan ini terkondisikan secara sistemik oleh “rezim pengetahuan” yang kini sedang berkuasa. Yang dalam praktiknya, beroperasi melalui tiga relasi yang semakin antagonistik antara: pengetahuan, kekuasaan dan pasar. Produk dari agenda pengetahuan tersebut adalah publik kita hari ini: tatanan publik yang pragmatis, mudah ikut arus, suka cepat saji, tidak mau rumit, apalagi menyangkut pemikiran-pemikiran abstrak yang mendalam. Inilah tantangan kita kini dalam menggeluti jalan sunyi intelektual; seorang intelektual di negeri ini dipaksa untuk tunduk pada selera publik yang sudah terkondisikan oleh relasi kuasa pengetahuan yang sejatinya anti-intelektual.
Mungkin kini kita bisa mengatakan dengan nada kecut bahwa dunia kepenulisan kita hari ini memang sudah terlempar, dari dunia intelektual ke dunia industrial. Logika-logika industrial ini menjeruji para penulis agar bertekuk lutut pada kalkulasi-kalkulasi pragmatis, yang orientasinya bukan lagi pada pembangunan intelektualisme, tapi untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat privat dan sempit seperti, prestise akademik, menumpuk kekayaan, mengejar jabatan, dst.
Dalam dunia akademik, keresahan-keresahan semacam ini juga telah dirasakan. Saat dikukuhkan jadi guru besar UGM Yogyakarta, Prof. Dr. Heru Nugroho, menyampaikan pidato bertajuk, “Negara, Universitas dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis dari Dalam”. Dalam kesempatan tersebut, Prof. Heru menyebutkan, dalam lingkungan akademik kini ada kecenderungan para akademisi yang lebih berorientasi pada nilai-nilai pragmatis dibandingkan nilai-nilai pengetahuan. Ia mengistilahkan para ‘penghianatan intelektual’ ini sebagai dosen asongan, karena dalam setiap aktivitas akademiknya seperti saat mengajar dan meneliti, hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan melalui proyek-proyek daripada pengembangan pengetahuan.
Terseretnya tradisi menulis kita dalam jurang industrial seperti ini benar-benar telah melanggengkan banalitas intelektual. Sehingga, kerja-kerja intelektual bukan lagi hadir sebagai pemikiran-pemikiran yang radikal, mendalam, dan eksperimental, tetapi justru hadir dalam bentuknya yang “prosedural” dan “instrumental”: sebuah kajian yang sudah diprogram secara spesifik, linear, melalui standar-standar formal(itas) tertentu, dari A – Z, dari pemilihan isu hingga perangkat analisisnya, untuk melegitimasi proyek-proyek elit kekuasaan.
Sesuatu yang absen dari iklim intelektual—lebih tepatnya pseudo intelektual—seperti ini adalah orisinalitas, kemandirian, dan kebebasan seorang penulis dalam menggali ide-idenya secara mendalam untuk melahirkan karya-karya yang mendidik untuk lingkungannya sendiri. Pada momen inilah, produk-produk intelektual menjadi elitis, karena ia tidak lagi berjangkar pada realitas material yang berkembang keras di sekitarnya.
Untuk menyebut beberapa penulis yang memang serius dalam agenda intelektual, sebagaimana dimaksud di atas, kita mungkin bisa menyebut beberapa saja. Sejak tahun 90-an akhir kita mengenal Abdurrahman Wahid (selanjutnya disebut, Gus Dur), yang pemikiran dan tulisan-tulisannya lantang dan konsisten melakukan gugatan epistemik terhadap kajian-kajian keislaman yang jatuh dalam jurang dogmatisme. Gus Dur berhasil merumuskan ‘Manifesto’ dalam studi Islam Tradisional—melalui apa yang ia sebut sebagai “Pribumisasi Islam”—dengan sangat kokoh dan rigid. Formasi pemikiran ini hadir sebagai revisi dan kritik bagi arus pemikiran Islam puritan yang sejak dulu tampil dengan jargon-jargon besar: pemurnian Islam, khilafah Islamiyah, perda syari’ah, dst. Pembaharuan Islam Gus Dur punya nafas yang panjang hingga saat ini. Bahkan berhasil menjadi basis epistemik bagi studi Islam arus utama yang hingga hari ini terus berkembang.
Di tahun 2000-an hingga hari ini, kita juga mengenal sosok Muhammad Al-Fayyadl (selanjutnya disebut, Al-Fayyadl). Seorang intelektual muda yang tulisan-tulisannya dikenal berat dan sangat mendalam. Al-Fayyad—jika tak berlebihan—bisa dikatakan sebagai salah satu ‘kloning’ dari spirit intelektualisme Gus Dur yang tetap berpijar hingga hari ini. Kajian-kajian filsafat dan Islam progresif yang ia geluti, telah memantik banyak tema-tema baru dalam studi-studi Islam alternatif. Utamanya dalam tulisan-tulisannya tentang Islam dan Marxisme, Al-Fayyadl berhasil menghadirkan kritik-kritik yang segar terhadap bagaimana studi Islam hari ini harus bergerak berhadapan dengan ekspansi kapitalisme-neoliberal, yang selama ini telah berhasil mengorkestrasi sejumlah problem-problem struktural di akar rumput.
Setidaknya, dua nama di atas ini dapat mewakili subjek intelektual yang sebenarnya di negeri ini. Meski lahir dari generasi yang berbeda, namun tulisan dan pemikiran kedua figur tersebut tetap punya spirit yang sama: menulis untuk “melawan”. Dalam spirit menulis seperti ini, kerja-kerja menulis bukan lagi hadir dalam bentuknya yang pasif, namun hadir dengan wujudnya yang aktif, yang mendudukkan teks bukan sekedar lembaran kertas yang mati, tapi juga sebagai hamparan abjad yang hidup. Sehingga, dengan teks tersebut, dapat diproyeksikan sebuah perjuangan menuju perubahan. Bagaimana mungkin teks dapat mengubah realitas? Tentu mungkin.
Dalam sejarah revolusi dunia, kita mengenal satu naskah “sakti” yang pada abad 19 dulu pernah menggemparkan dunia. Naskah tersebut bernama, Manifesto of Communism, ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, terbit pertama kali pada tahun 1848. Meski naskah tersebut hanya terdiri dari 68 halaman, namun berhasil menjadi dokumen sejarah, politik dan intelektual yang paling terkenal hingga penghujung abad 20—bahkan mungkin hingga hari ini. Teks yang sudah terbit dalam 35 bahasa dan sekitar 544 edisi ini, menjadi inspirasi utama gerakan revolusi di dunia: dari Revolusi Bolshevik, Revolusi Kuba, hingga beberapa revolusi dunia lainnya di Eropa.
Penggalan frase yang paling melegenda dalam naskah Manifesto, yakni: “Ada hantu berkeliaran di Eropa-Hantu komunisme.” Ya, meski eksperimen politik sosialisme—sebagai orientasi politik partai komunis—tumbang di beberapa negara, namun naskah Manifesto seakan tetap abadi, melampaui waktu dan sekat-sekat geografis dunia.
Naskah Manifesto of Communism menjadi bukti bahwa tulisan/teks bukan hanya bisa menjadi teman saat kita hendak tidur, atau sekedar rujukan menulis surat cinta pada kekasih, melainkan juga bisa menjadi spirit perubahan dan “kitab perlawanan”. Memang tidak mudah melahirkan naskah seperti itu. Namun bukan berarti ia mustahil untuk kembali dicapai hari ini.
2/
Kini kita memang perlu meletakkan spirit menulis kembali pada bentuknya yang paling “ideologis”, yakni menulis sebagai medium perjuangan. Sebagai bagian dari perjuangan, menulis tentu saja tidak cukup hanya berdasarkan tata cara menyusun kalimat yang benar, serta pemilihan diksi yang cantik, lebih dari itu, ia harus punya keberpihakan, disusun dengan kerangka dan logika yang matang, dan tidak berjarak dari realitas. Dengan kerangka seperti ini, maka apa yang selama ini kita sebut sebagai “pentingnya literasi”, bukan sekedar menyangkut dorongan membaca-menulis; lalu selesai!
Pada level itu mungkin kita sudah sukses. Semua orang sudah melek bacaan. Setiap hari kita menerima dan membaca informasi dari berbagai sumber berita. Sesekali kita juga kadang menuliskan komentar. Namun tentu saja semua itu tak cukup.
Dorongan untuk membangun literasi tidak boleh dipisahkan dari dorongan untuk selalu membangun intelektual. Oleh karenanya, ia juga mensyaratkan nalar kritis, kajian mendalam, dan berani melakukan lompatan-lompatan pemikiran (thought experiment). Karena aktivitas membaca dan menulis tanpa itu semua akan ompong. Artinya, meski kita dibanjiri oleh banyak tulisan dan riset-riset ilmiah setiap hari, tak akan ada perubahan: dunia intelektual kita akan tetap gelap-gulita dan kita tetap terpuruk dalam problem struktural yang keji.**
Moh. Roychan Fajar, Redaktur Media Jatim, sekaligus penulis buku, “Menuju Aswaja-Materialis: Aswaja, Sains-Marxisme dan Post-Moderatisme Islam” (2021).
**) Tulisan ini adalah versi revisi dari artikel yang sebelumnya sudah terbit di Majalah Fajar (2022).