Bagaimana Berita Diterbitkan: Sebuah Cara Mengenali dan Mempercayai Media Massa

Media Jatim
Berita Media Jatim
Ongky Arista UA

Membayangkan Hari Tanpa Berita

John McCain, senator Amerika Serikat, sempat menjadi tawanan perang selama 5,5 tahun di Hanoi, Vietnam.

Dalam biografinya dia menulis, selama berada di dalam tawanan, yang paling dia rindukan bukan hiburan, makanan, kebebasan atau bahkan keluarga dan teman.

“Hal yang paling saya rindukan adalah informasi, bebas sensor, tak terdistorsi, dan jumlahnya melimpah,” kata McCain dalam bukunya, Faith of My Father, 1999.

Lalu, Mitchell Stephens, dalam bukunya, History of News, 1988, menegaskan bahwa ketika berita lenyap dari dunia ini, aliran berita tersumbat, maka kegelapan akan datang dan kecemasan akan berkembang menggerogoti masyarakat.

Saya mengutip McCain dan Stephens untuk menjelaskan fungsi berita untuk kita. Bahwa berita, hadir untuk memenuhi kebutuhan manusia agar tidak ada kegelapan dan kecemasan.

Manusia, kata Harvey Molotch, dalam bukunya, News as Purposive Behavior, 1974, pada dasarnya memiliki kebutuhan naluriah untuk mengetahui apa yang terjadi di luar pengalaman dirinya (kepo dalam bahasa kekinian) untuk menghadirkan rasa aman, kontrol diri dan percaya diri.

Hal itu bisa Anda bayangkan langsung saat suatu pagi Anda duduk di kursi depan rumah sambil menyeruput kopi, lalu, tiba-tiba muncul sebuah berita bahwa 20 kilometer dari tempat Anda tinggal terjadi perampokan dan 10 orang tewas dalam insiden tersebut.

Maka Anda secara naluriah akan menelepon sanak saudara yang ada di lokasi untuk mengamankan diri, dan mengontrol sanak famili lain untuk berhati-hati agar tidak melintasi daerah tersebut dan menjadi korban.

Tetapi bayangkan jika Anda tidak membaca berita itu? Anda barangkali tidak akan mampu menakar rasa aman untuk diri Anda sendiri, keluarga Anda dan orang-orang di sekitar Anda.

Begitulah berita itu dibutuhkan; berita yang akurat; berita yang benar; dan yang tidak terdistorsi, untuk memetakan rasa aman, sikap, dan jalan kita ke depan.

Bagaimana Berita Diperoleh

Anda yang tidak pernah mengetahui bagaimana wartawan bekerja mungkin akan berpikir bahwa menerbitkan berita itu seperti mengunggah foto story WhatsApp; tinggal nyalakan kamera, ambil obyek gambar, lalu unggah ke story dan orang-orang akan membacanya selang beberapa detik sejak Anda mengambil gambar kamera.

Namun, sayang sekali, berita tidak diproduksi dengan cara sedemikian remeh, mudah dan supercepat.

Saya ingin menjelaskan secara garis besar bagaimana berita diperoleh dan diterbitkan.

1] Pengumpulan Data dan Wawancara

Pada 4 April 2023 kemarin, Bea Cukai Madura mengamankan satu truk tronton diduga berisi 720 bal rokok ilegal.

Informasi pengamanan ini semula beredar dari grup WhatsApp ke grup WhatsApp. Sumber informasi ini tidak jelas dari mana dan dari siapa, dan tentu, tidak bisa dipastikan kebenarannya–apalagi tugas wartawan adalah meragukan data jauh sebelum membenarkannya.

Maka, wartawan tidak bisa langsung menulis berita dengan data sekilas yang tidak jelas. Wartawan perlu turun ke lapangan untuk mengumpulkan data.

Wartawan yang berasal dari desa yang jauh harus segera memakai sepatu, mengambil tas, membawa peralatan liputan dan menaiki kendaraan untuk menuju ke kantor bea cukai di Kota Pamekasan.

Dia turun ke lokasi untuk memastikan keberadaan truk, dan untuk menvalidasi pengamanan rokok dimaksud.

Sampai di lokasi, ternyata Bea Cukai Madura menutup diri. Gerbang kantor ditutup rapat. Pegawai tidak satu pun kelihatan batang hidungnya. Hanya ada Satpam yang berjaga dan seolah-olah tidak tahu apa-apa.

Belasan wartawan bergeming di depan kantor bea cukai sambil lalu menelepon berkali-kali petugas bea cukai terkait. Namun, upaya demi upaya menelepon gagal, narasumber dari cukai tidak mengangkat. Pun akhirnya cara lain dilakukan.

Baca Juga:  Mayat di Bawah Jembatan Gegerkan Warga Bangkalan Madura

Karena penangkapanya di Bangkalan, wartawan di Pamekasan menghubungi Kapolres Bangkalan. Mencari nomornya terlebih dahulu. Pun tidak diangkat. Chat juga tidak dibalas.

Wartawan masih menunggu hingga dua jam kemudian di depan Kantor Bea Cukai Madura yang berada di sisi timur Taman Arek Lancor Pamekasan. Belum juga ada konfirmasi. Belum pula ada keterangan. Belum ada rilis dan belum ada informasi lengkap.

Wartawan hanya bisa termangu–walau masih ada seribu cara lain yang lebih rumit yang bisa dilakukan.

Saat itu kita berharap petugas bea cukai keluar dan telepon kepada narasumber dari cukai ini diangkat dan bisa segera wawancara.

Sementara di sisi lain, redaktur menelepon terus-menerus agar berita harus segera lengkap dan segera tayang dan dibaca masyarakat.

Pikiran wartawan pun menjadi sedikit kacau. Data belum lengkap. Segala cara tak berhasil. Redaktur menelepon dan masyarakat harus mendapat informasi yang akurat dan valid secara cepat.

Sampai di sini, Anda bisa membayangkan, bahwa ini hanya untuk menerbitkan satu berita. Satu tema liputan. Satu kejadian saja.

Betapa wartawan harus menghabiskan waktu di lokasi, menelepon bolak-balik narasumber dan berdiam seperti patung–mengambil gambaran kisah dalam Cerpen berjudul “Patung” karya Seno Gumira Ajidarma–di depan kantor bea cukai.

Dan jika data tidak valid, maka berita tidak bisa terbit. Maka tenaga yang dihabiskan, pikiran dan waktu yang tersita menjadi seolah-olah sia-sia dan gagal menerbitkan berita untuk masyarakat.

2] Data Dasar dan Tata Bahasa

Begitu data lengkap, maka wartawan harus menulis data yang diperolehnya menjadi berita.

Banner Iklan Media Jatim

Wartawan wajib menulis secara benar data-data dasar seperti; jenis truk yang membawa rokok ilegal, dari mana mau ke mana, ditangkap jam berapa, siapa nama sopirnya, apa merek rokok ilegalnya, berapa bal, berapa kardus, berapa batang, berapa nilainya dan seterusnya.

Kemudian ditangkap di mana. Di desa mana. Di kecamatan mana, dan siapa saja yang terlibat dalam penangkapan tersebut dan seterusnya.

Semua data dasar harus benar. Siapa nama narasumber dari bea cukai. Apa jabatan lengkapnya sesuai dengan SK kantor bea cukai.

Jika namanya adalah Ahmad, bagaimana cara menulis Ahmad? Apakah Akhmad, Achmad, Ahmad atau atau hanya ditulis Ach. dalam SK-nya?

Ketika data dasar ini lengkap, tugas wartawan tidak lantas selesai. Sebab, mereka harus menyusunnya menjadi berita dengan data dasar yang benar dan redaksi bahasa yang benar.

Redaksi bahasa yang benar dimulai dari tata bahasa yang benar; mengetahui sintaksis dan seterusnya.

Maka idealnya wartawan harus menguasai cara menulis berita dengan Bahasa Indonesia yang baku dan benar.

Menguasai cara meletakkan kata “di” di judul, penulisan kata “yang” di judul dan bagaimana paragraf demi paragraf disusun menjadi berita yang bisa dipahami dengan baik oleh khalayak.

Di sinilah wartawan sesungguhnya juga wajib memiliki kepiawaian menulis dan memiliki hubungan intim dengan KBBI Kemendikbud Ristek RI dan buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI)–belum lagi harus memahami kode etik pers.

Semua sesuatu ini adalah mutlak harus dilakukan dan dimiliki wartawan. Jika tidak, maka wartawan pertama-tama akan “kena semprot” oleh jajaran redaktur.

3] Koreksi dari Redaksi

Begitu data lengkap dan ditulis menjadi sebuah berita, maka wartawan harus stand by dengan teleponnya.

Baca Juga:  Meretas Benturan Agama dan Logika Menghadapi Corona

Redaktur atau orang yang bertanggung jawab penuh atas penerbitan berita di media, akan mengoreksi berita melalui telepon jika si wartawan tidak sedang menulis di dalam kantor.

Redaktur akan mengajukan segala pertanyaan atas data dan berita yang sudah ditulis dan tampak kurang valid. Mulai dari nama narasumber yang mungkin salah ketik. Nama lokasi penangkapan. Jumlah rokok. Jam berapa wawancara. Bagaimana isi wawancaranya.

Kemudian, mengecek validasi data demi data. Mengecek merek rokoknya. Mengecek kapasitas muatan truknya. Kemudian pelat nomor truk tronton tersebut. Bahkan, warna truk dan ada tulisan apa saja di badan truknya.

Wartawan harus mampu menjawab segala pertanyaan dan keragu-raguan yang diajukan redaktur. Mulai dari data dasar hingga tata bahasa yang dipakai.

Mengapa redaktur harus mengoreksi ketat tulisan wartawan? Karena tugas redaktur adalah meragukan (disiplin verifikasi) data wartawan hingga muncul sesuatu yang tidak mendatangkan keraguan daripadanya.

Tahapan koreksi ini memakan waktu relatif lama hingga akhirnya diterbitkan, link berita di-share dan berita Anda baca, Anda nikmati dan Anda mampu menakar rasa aman Anda.

Jadi, apakah Anda masih berpikir bahwa menerbitkan berita itu seperti mengunggah status WhatsApp? Anda sudah tahu jawabannya!

Tahapan-tahapan yang saya jelaskan di atas, adalah tahapan yang dilakukan media profesional dalam menerbitkan berita, termasuk, ini saya terapkan di mediajatim.com, karena saya berposisi sebagai redaktur di media ini.

Cara Mengenali dan Mempercayai Media Massa

“Orang yang pengetahuannya luas tidak akan menganggap sesuatu yang mirip itu adalah sama sebab yang berpengetahuan luas selalu tertarik untuk menelusuri hal-hal secara detail dan terperinci.”

Mengenali dan mempercayai media harus dimulai dari penelusuran secara terperinci.

Masyarakat utamanya pejabat yang kerap berurusan dan ingin bekerja sama dengan media harus menelusuri secara terperinci bagaimana media tersebut menerbitkan berita.

Bagaimana tahap demi tahap berita diproduksi. Bagaimana kerja wartawannya. Bagaimana kejujuran wartawannya. Bagaimana kemampuan si wartawan dalam berbahasa melalui tulisan.

Kemudian, bagaimana dapur redaksinya. Bagaimana redakturnya. Bagaimana ketajaman liputannya. Bagaimana tingkat disiplin verifikasinya.

Lalu, bagaimana kompetensi wartawan dan redakturnya. Bagaimana tingkat kepatuhan redaksi terhadap kode etiks persnya.

Juga bagaimana profesionalisme pengelolaan perusahannya–karena media pasti berada di bawah naungan PT atau perusahaan. Bagaimana kesehatan keuangan, manajemen SDM dan seterusnya.

Yang terjadi selama ini, masyarakat cenderung menganggap bahwa semua media sama, utamanya media online. Sehingga, mereka akhirnya tidak percaya pada media yang sebenarnya terpercaya.

Beberapa kali saya bertemu dengan rektor, kepala dinas, kepala sekolah, pejabat, dan masyarakat yang tidak percaya media online karena dianggap tidak kredibel sebagaimana kebanyakan.

Padahal, rektor atau kepala dinas, seharusnya memposisikan diri sebagai orang yang berpengetahuan luas yang memiliki metode berpikir lebih detail dan terperinci.

Sehingga, mereka tidak mudah memasang semacam klaim bahwa media itu sama. Sebab, menyamakan sesuatu yang tidak sama atau yang mirip adalah bukti bahwa mereka tidak sedang berpikir serius atas hal itu.

Seseorang yang tidak berpikir serius pada umumnya akan mudah dikibuli dan mengonsumsi kabar bohong.

Seba itulah masyarakat harus berupaya kenal dan tahu bagaimana media-media ini bekerja sebelum menaruh rasa tidak percaya mati-matian dan sebelum menaruh rasa percaya mati-matian.(*)


*Ongky Arista UA, Pemimpin Redaksi Media Jatim dan Ketua Forum Wartawan Pamekasan.