Pamekasan, mediajatim.com — “Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing,” kata Chairil Anwar dalam puisinya, Pemberian Tahu, 1946.
Pun demikian bagi Novi Kamalia. Perempuan asal Kabupaten Pamekasan, Madura itu sempat menutup diri dan mematikan handphone-nya.
Dia tidak mau berbagi nasib pilunya. Karena baginya, nasib adalah kesunyian masing-masing. Hanya dirinya yang menanggung nasib itu dan tidak akan ada orang yang akan peduli itu.
Tetapi kemudian dia memilih untuk berbicara ke publik. Bahwa pada suatu hari di bulan September 2022, dia kaget dan drop saat mengetahui ada sebuah benjolan di payudara kirinya.
“Seketika itu mental saya langsung drop. Gak mau buka handphone, gak mau ketemu orang, dan hanya berpikir bahwa saya bakal mati,” ungkapnya kepada mediajatim.com, Kamis (29/6/2023).
Keesokan harinya, dia mencoba bangkit dan tidak ingin larut dalam kubangan kesedihan dan ketakutan. Dia mencoba menenangkan diri dan berpikir positif.
“Jika saya bakal mati karena sakit ini, bukankah saya masih beruntung karena masih bisa mempersiapkan hari kematian saya? Daripada mati dadakan?” tuturnya, berusaha membalikkan kesedihannya.
Doktor ilmu sosial jebolan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu akhirnya benar-benar berkompromi dan menganggap penyakitnya adalah jalan untuk menyiapkan seperangkat bekal kematian.
“Jika sakit ini akan menyebabkan saya mati, berarti saya masih punya waktu untuk mempersiapkan masa depan bisnis saya, juga kegiatan komunitas literasi, menyelesaikan buku-buku saya, menulis surat wasiat, bahkan mewujudkan mimpi saya yang belum terwujud,” jelasnya penuh positif.
Di tengah ketakutan dan rasa khawatir yang dia tepis secara positif itu, Novi memberanikan diri untuk periksa kesehatan dan melakukan ultrasonografi (USG).
“Alhamdulillah hasilnya hanya tumor jinak, dan dengan bantuan minuman herbal, benjolan tersebut semakin mengecil hingga saat ini. Kayaknya selama ini, saya hanya terjebak oleh pikiran dan ketakutan saya sendiri,” terang Novi.
Untuk merayakan rasa senang atas kekhawatiran yang akhirnya sirna itu dia pun berpikir untuk liburan ke Paris, mewujudkan mimpinya yang belum terwujud.
“Paris adalah salah satu mimpi saya. Dulu, setelah S1, saya pamit untuk kuliah ke Sorbonne University di Paris, tapi saat itu orang tua tidak merestui karena alasan jarak yang jauh,” ceritanya.
Setelah S2, Novi kembali pamit untuk menempuh studi doktoral ke Paris namun lagi-lagi tidak terwujud karena dia justru diminta pulang ke Pamekasan, dan tidak lama kemudian ayahnya meninggal.
“Dan setelah S3, saya ingin mengambil postdoctoral ke Paris, tapi kali ini kendalanya datang dari saya sendiri, selain karena tidak bisa meninggalkan ibu sendirian terlalu lama juga karena berkaitan dengan tanggung jawab pekerjaan, yaitu travel umrah saya,” paparnya.
Benjolan itu, lanjut Novi, sudah semakin mengecil dan nyaris hilang. Kendatipun tidak menghilang, dia juga mengaku sudah menerima dengan ikhlas atas apa pun yang bakal terjadi nanti.
“Peristiwa ‘sakit’ yang saya alami ini menyadarkan saya bahwa kematian itu begitu dekat dan tidak ada yang tahu, maka sebelum mati, mari kita wujudkan mimpi,” kata perempuan yang tinggal di Kelurahan Barurambat Timur, Kecamatan Pademawu itu.
Mewujudkan mimpi sebelum mati, imbuh Novi, adalah satu-satunya alasan dirinya pergi ke Paris.
“Meskipun tidak kuliah, tapi setidaknya saya menikmati momen baca buku di pinggir jalan kota Paris. Makasih semesta, makasih Tuhan, love You,” pungkasnya.(*/ky)