Perjalanan Bisnis Tok Patok: Dari Diserobot dan Dimonopoli Kepemilikannya hingga Berhasil Buka 42 Outlet di Madura

Media Jatim
Tok Patok Madura
(Ongky Arista UA/Media Jatim) Pemilik Tok Patok Agus Pranajaya (kiri) didampingi rekan bisnisnya menunjukkan sertifikat merek dan etiket dari Kemenkumham RI di outlet Pademawu Barat, Kecamatan Pademawu, Senin (16/10/2023).

Pamekasan, mediajatim.com — Beberapa orang bertanya, siapa pemilik Tok Patok? Jawabannya adalah Agus Pranajaya, warga asli Sumenep yang kini tinggal di Sidoarjo.

InShot_20241111_121036630
InShot_20241111_154314461

Jawaban ini didasarkan kepada sertifikat merek yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada 18 Desember 2017 dengan nomor pendaftaran IDM000758698.

mediajatim.com bertemu dengan Agus di pembukaan outlet terbaru Tok Patok di Desa Pademawu Barat, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan, Senin (16/10/2023).

Kepada mediajatim.com, Agus tidak hanya menunjukkan sejumlah sertifikat merek, tetapi, juga menceritakan perjalanan Tok Patok.

“Tok Patok pertama di Jember pada 2017, dan nama Tok Patok muncul di Jember,” kata Agus, membuka rentetan cerita perjalanan bisnis ayam goreng krispi siap saji itu.

Tok Patok kedua di Papua. Agus membuka di Manokwari, Papua Barat, karena ada temannya di sana.

“Ketiga dan keempat di Sidoarjo, satu kota hanya beda tempat,” ujarnya.

Lalu, pada awal 2020, Covid-19 menerjang Indonesia. Bisnis ayam siap sajinya pun lumpuh perlahan. Terutama Tok Patok yang ada di Jember karena pangsa pasarnya adalah mahasiswa.

Dia mengaku gelisah. Bisnis Tok Patoknya di semua tempat di Jawa itu terkena imbas Covid-19. Lalu, dia berpikir tentang Madura tempatnya lahir.

Sebagai orang asli Madura, dia memikirkan untuk membuka Tok Patok di Madura. Namun, dia sedikit pesimis karena melihat catatan omzet bisnis ayam cukup kecil di Madura.

“Karena awalnya, kan, saya jual ayam ke resto-resto di Madura, karena basic kita ayam jago, pemotongan ayam, dan kecil omzetnya kita lihat di Madura. Namun, satu yang tetap mengganjal, saya merasa ingin pulang kampung, pikiran saya begitu,” terangnya.

Lalu, akhirnya Agus berusaha membaca peluang dan membuka Tok Patok untuk pertama kalinya di Desa Blumbungan, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan pada 2020 di tengah situasi pandemi.

Baca Juga:  Rayakan HUT ke-24, Sanggar Seni Makan Ati Gelar Pementasan Empat Kabupaten di Madura

Agus menggandeng seorang anak muda berinisial NH. Dia berkenalan dengan NH melalui adiknya yang juga bagian dari penggagas Tok Patok.

“Sebagai pemilik merek, franchiser, saya tidak memungut serupiah pun dari mereka pemilik outlet, dan dengan itulah Tok Patok berkembang pesat,” akunya.

Pria berkacamata itu melanjutkan, karena franchise ini tidak dipungut biaya, maka pihaknya membuat kesepakatan bahwa pemasok ayam mentah Tok Patok wajib dari dirinya, sebagai penjual ayam dan timbal balik bisnis.

“Saya dan adik saya yang punya pengalaman kuliner, saya bagikan cuma-cuma pengalaman kepada owner dan pekerja outlet Tok Patok Blumbungan. Mereka dilatih, di-training secara gratis,” jelasnya.

Dinas lingkungan hidup kabupaten sumenep_20241112_113109_0000

Dalam perjalannya, berbekal ilmu dari Tok Patok, NH ini berhasil menambah outlet-nya. Tetapi kemudian ada klaim-klaim yang diduga dilakukan NH bahwa Tok Patok adalah miliknya lalu ada klaim ada Tok Patok orisinal dan tidak.

Selain itu, Agus menyebut, NH mencoba melakukan monopoli bisnis Tok Patok. Kemudian, NH juga melanggar kesepakatan. NH mengambil bahan mentah ayam tidak kepada Agus sebagaimana agreement di awal.

“Maka dalam perjalannya, outlet ini kami stop. Karena outlet melenceng dari kesepakatan. Ambil ayam di luar kami. Mereka juga tak membolehkan ada orang buka Tok Patok lagi di Pamekasan, padahal, kalau zonanya layak ya gak apa-apa. Makanya Pamekasan ini agak lambat berkembangnya,” sebutnya.

Lalu, outlet pertama Tok Patok di Blumbungan ini berubah merek, dari nama Tok Patok ke NFC–sekitar empat bulan lalu.

“Kami sudah membuat surat somasi berdasarkan hak merek saya ini. Saya berhak. Tapi temen-temen berpikir dua kali. Somasi kita gagalkan. Kita ingin tunjukkan prestasi saja, dan kita fokus ke bisnis kita Tok Patok ini,” sambungnya.

Baca Juga:  KBIHU dan Pengasuh Pesantren se-Madura Tolak Penghapusan Jemaah Haji Reguler Pendamping Lansia 2023

Tidak hanya di Pamekasan ada kasus demikian, kata Agus. Di Sumenep juga ada outlet yang ketika sudah pandai memasak lalu membuka outlet baru dengan berubah nama dan keluar dari grup Tok Patok.

“Kita ajari memasak, kita ajari buat sambel, ya, kita ikhlaskan, tapi bagaimana pun, kami anggap mereka bukan kompetitor, karena kami yang orisinal Tok Patok,” tegasnya.

Ada 8 outlet yang semula bagian dari Tok Patok di Pamekasan. Namun, oleh Agus diputus dan bukan lagi bagian dari Tok Patok karena merupakan jaringan dari monopoli NFC.

“Kami gak menarik apa pun kepada outlet. Sistemnya begitu. Hanya ayam dan bumbu dari kami sebagai pemilik,” tuturnya.

Saat ini, ada 42 outlet Tok Patok di Madura. Setelah 100 outlet, Agus mengaku akan ekspansi ke Jawa dan saat ini, ayam yang dikonsumsi untuk Tok Patok sekitar 70 sampai 100 ton per bulan dan itu disuplai dari Ayam Jago Mojokerto.

“Rata-rata omzet per hari dari Rp1,5 juta hingga Rp12 juta per hari. Dari outlet paling kecil hingga yang paling besar,” ungkapnya.

Selebihnya, Agus percaya bahwa rezeki sudah tertakar dan tidak pernah tertukar. Sebab itulah, dia mengatakan bahwa siapa pun yang dulunya belajar di Tok Patok secara gratis, membuka outlet bermerek Tok Patok tanpa mahar franchise dan akhirnya keluar dari grup Tok Patok, tidak pernah dia anggap sebagai musuh.

Dia mengaku ikhlas dan akan fokus ke pengembangan jejaring bisnis ayam Tok Patok . Cita-cita terbesar yang dia inginkan adalah pemerataan bisnis ayam ini di Madura.

“Saya ingin sharing, bagaimana bisa menciptakan 100 pengusaha Tok Patok di Madura, ingin menjadi tuan rumah di negeri sendiri, karena, sudah saya cek, puluhan merek bisnis serupa dari luar mau masuk ke Madura,” pungkasnya.(*/ky)